tirto.id - “Jangankan saya, Obama saja mengaku pernah nyimeng,” ungkap Pandji Pragiwaksono, komedian stand-up, dalam peluncuran buku Hikayat Pohon Ganja, Desember 2011 silam. “Bahkan saya yakin, SBY itu pasti juga pernah menghisap ganja,” lanjutnya.
Pandji jelas tak serius dengan ucapannya. Ia tengah bercanda. Sialnya, bercanda dengan mengutip nama orang nomor satu di Indonesia--kala itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tengah menjabat Presiden Indonesia--membuatnya kerepotan. Sebab, media menggaungkan pernyataan Pandji. Detik, misalnya, menurunkan berita berjudul “Pandji: Semua Orang Pernah Nyimeng, Saya Yakin SBY Juga.”
Melalui blog pribadinya, Pandji lalu meminta maaf. “Ucapan itu tidak serius, maka sebaiknya jangan ditanggapi serius,” katanya.
Tentu saja, tidak semua orang pernah nyimeng, kata populer untuk “menghisap ganja”. Namun, andai saja semua orang pernah nyimeng sekali saja dalam hidup, tanggal 20 April tepat pukul 4.20 sore kemungkinan adalah waktunya.
“420” Kuy Nyimeng!
Di Amerika Serikat, menurut penelitian yang dilakukan University of British Columbia, dan dipublikasikan di JAMA Internal Medicine, tanggal 20 April setiap tahunnya, khususnya selepas pukul 4.20, adalah saat yang mengerikan. Dalam penelitian itu, jika ada kecelakaan kendaraan yang terjadi dalam rentang waktu tersebut, 12 persen korbannya kemungkinan akan tewas mengenaskan.
John Staples, peneliti pada University of British Columbia, mengungkapkan: “Kami melihat jumlah kecelakaan meningkat tiap 20 April. Umumnya, kecelakaan yang terjadi di tanggal tersebut berhubungan dengan penyalahgunaan obat-obatan.”
Mengapa kecelakaan meningkat pada 20 April? Jawabannya, itulah hari yang dirayakan kaum nyimeng sebagai Hari Ganja Internasional.
Dalam laporannya di Time, Olivia B. Waxman mengungkapkan ada kesimpangsiuran soal mengapa 20 April ditetapkan sebagai Hari Ganja Internasional. Beberapa percaya, 20 April alias 420 (sistem tanggal di AS mengurutkan bulan-hari-tahun, sementara Indonesia hari-bulan-tahun) adalah kode aparat kepolisian untuk “target sedang menghisap ganja.”
Spekulasi lainnya: 20 April adalah tanggal ulang tahun Adolf Hitler. Namun, ada juga yang mengaitkan penetapan 20 April sebagai Hari Ganja dengan lagu Bob Dylan: “Rainy Day Women #12 & 35,” karena 12 dikali 35 sama dengan 420.
Waxman yakin kisah penetapan 20 April sebagai Hari Ganja Internasional merujuk pada kelakuan lima remaja di California: Steve Capper, Dave Reddix, Jeffrey Noel, Larry Schwartz, dan Mark Gravich, yang dikenal sebagai geng “Waldos” di sekolah. Sebab, kelima remaja yang bersekolah di SMA San Rafael pada 1970-an itu menggunakan kode “420” sebagai ajakan nyimeng.
Biasanya, selepas lelah belajar dan melakukan berbagai kegiatan ekstrakurikuler, anggota geng Waldos berkumpul di sekitaran patung kimiawan legendaris Louis Pasteur yang dibangun di sekolah. Acara kumpul-kumpul sambil nyimeng itu dilakukan selepas pukul 4.20 sore. Alasannya, itulah saat di mana hampir segala kegiatan di sekolah berakhir. Lambat laun, mereka kemudian menggaungkan kode “420” sebagai ajakan kumpul sambil menghisap ganja.
Selepas lulus, salah satu anggota geng Waldos, Reddix, kemudian sering kongkow bersama band bernama Grateful Dead. Band itu lalu ikut-ikutan menggunakan kode 420 untuk ajakan nyimeng. Band lain, Deadheads, ikutan dan bahkan mencetak selebaran khusus untuk mengajak para penggemarnya nyimeng pada 20 April, pukul 4.20. Majalah di AS High Times pada 1991 mematri 420 sebagai kode nyimeng melalui salah satu edisinya.
Singkat cerita, hari ini, 20 April 2020 adalah Hari Ganja Internasional. Hari yang jelas hampir mustahil dirayakan--secara legal--di Indonesia.
Ganja: Kontroversi yang Sukar Berakhir
Di Indonesia, Undang-Undang Narkotika mengklasifikasikan ganja sebagai zat yang masuk “Golongan I” karena, menurut laman resmi Badan Narkotika Nasional (BNN), “sangat berbahaya jika dikonsumsi karena beresiko tinggi menimbulkan efek kecanduan”.
Di AS, ganja masuk kelompok “Schedule I" sesuai Controlled Substance Act yang ditandatangani Richard Nixon, Presiden AS ke-37.
Ada banyak alasan mengapa ganja dicap buruk dan ilegal dikonsumsi. Di AS, sebagai ditulis David Bowns untuk Scientific American, salah satu sebabnya adalah anggapan bahwa ganja "membuat wanita kulit putih dan pria kulit hitam berhubungan seks".
Selain alasan berbau rasis itu, ada pula alasan ilmiah. Raphael Mechoulam, peneliti pada Weizmann Institute of Science, Tel Aviv, menemukan ganja mengandung tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD). Dua zat itu, sebagaimana ditulis Hampton Sides untuk National Geographic, bisa "mengubah pikiran, hal-hal yang membuat Anda teler.”
Pada 1992, Mechoulam meneliti ganja dengan memanfaatkan barang sitaan aparat kepolisian Israel. Ia mengekstrak dan menyuntikkan ekstrak ganja kepada monyet rhesus (Macaca mulatta). Sehari-harinya, monyet rhesus berperilaku agresif. Namun, perilakunya berubah setelah disuntik ekstrak ganja. Monyet menjadi tenang bagai seorang pertapa.
Menurut Judith Grisel dalam laporannya di Washington Post, ketika seseorang menghisap ganja, zat bernama delta-9-THC muncul di otak. Zat itu berperan mirip endocannabinoid yang ada secara alami di otak dan meniru efeknya: mengubah laju kerja otak. Menurutnya, ketika delta-9-THC masuk, orang akan merasakan efek melambat, tenang, dan yang terburuk “ganja dapat membuat segalanya, termasuk aktivitas yang paling membosankan, menjadi asyik”.
Karena dasar-dasar itulah ganja ilegal dikonsumsi. Namun, kenyataannya ada banyak negara di dunia yang melegalkan ganja. Kanada, misalnya, melegalkan ganja. Bahkan, di banyak negara bagian AS pun ganja legal dikonsumsi.
Mengapa?
Donald Abrams, peneliti pada University of California, sebagaimana diungkapkannya pada Saintific American, menegaskan bahwa ganja memiliki manfaat medis. “Bukti-bukti antropologis dan arkeologis menunjukkan ganja telah dikonsumsi untuk kebutuhan medis, bahkan di AS, hingga tahun 1942,” tulisnya. Kembali merujuk tulisan Sides, arkeologis menyatakan biji ganja ditemukan terkubur dalam gundukan makam di Siberia yang berumur 3000 SM. Orang Cina pun telah memanfaatkan ganja untuk kesehatan ribuan tahun silam.
Masalahnya, sejak awal dekade 1970-an, ketika ganja mulai dikait-kaitkan dengan kematian dan tindak kejahatan, penelitian-penelitian mendalam soal ganja berakhir.
Di sisi lain, Manuel Guzmán, ahli biokimia asal Complutense University, Madrid, menegaskan bahwa ganja tentu saja memiliki manfaat. Dalam sebuah penelitiannya, ia menyuntikkan ekstrak ganja ke tikus yang memiliki tumor. Zat dari ganja sukses bukan hanya menyusutkan tumor, melainkan juga menghilangkan.
Masalahnya, tegas Guzmán kemudian, “tikus bukanlah manusia. Kami belum tahu apakah ini dapat diterapkan pada manusia.”
Editor: Windu Jusuf