Menuju konten utama

Pencabutan Aturan 'Ganja Tanaman Obat' oleh Mentan SYL Tidak Tepat

Masyarakat sipil protes terhadap Kementerian Pertanian yang mencabut regulasi soal ganja tanaman obat. 

Pencabutan Aturan 'Ganja Tanaman Obat' oleh Mentan SYL Tidak Tepat
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (kiri) berbincang dengan Direktur Utama Pupuk Kujang Bambang Eka Cahyana pada Pupuk Kujang Festival di Karawang, Jawa Barat, Sabtu (7/3/2020). ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/ama.

tirto.id - Langkah Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) mencabut Keputusan Menteri Pertanian 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 yang diteken pada 3 Februari lalu menuai kritik dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Kebijakan tersebut dianggap tidak tepat.

Dalam peraturan itu ganja atau cannabis sativa dikategorikan sebagai tanaman obat komoditas binaan Kementan. Total, ada 66 komoditas yang tercantum dalam daftar tanaman obat di bawah binaan Ditjen Hortikultura Kementan. Selain ganja, jenis tanaman obat lain di antaranya akar kucing, mahkota dewa, tapkliman, senggugu, hingga brotowali.

Dalam rilis yang diterima wartawan Tirto, Sabtu (29/8/2020) sore, masyarakat sipil yang terdiri dari Aksi Keadilan Indonesia (AKSI), Drug Policy Reform Banten (DPR), Forum Akar Rumput Indonesia (FARI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Menteng Matraman Community (MMC), Persaudaraan Korban Napza Kepularan Riau (PKN Kepri), Persaudaran Korban Napza Makassar (PKNM), dan Women Voice mengatakan "amat menyesalkan sikap Kementerian Pertanian yang akhirnya mencabut Kepmentan tersebut."

Mereka juga mengatakan "inkonsistensi kebijakan ini tidak baik mengingat kementerian atau lembaga ini adalah wujud kekuasaan pilihan masyarakat."

Kepmentan yang baru dicabut itu menurut mereka sebenarnya "angin segar bagi perubahan kebijakan narkotika di Indonesia" karena Kementan memberikan "perspektif otoritatif bahwa ganja memang memiliki potensi pemanfaatan secara medis dan dapat menjadi komoditas agrikultur yang patut diperhitungkan."

"Kepmentan ini justru memberi kesempatan pada pemerintah untuk melakukan penelitan dan menyiapkan regulasi pasar yang tepat untuk kebijakan ganja medis Indonesia di masa depan," Koordinator Advokasi dan Kampanye AKSI Yohan Misero menambahkan.

Ia menegaskan bahwa sikap awal Kementan terhadap ganja sama sekali bukan langkah mundur dalam upaya meregulasi narkotika di negeri ini. Sebaliknya, kata dia, langkah ini harus dipandang sebagai upaya untuk mengarahkan kebijakan narkotika, terkhusus ganja, ke arah yang lebih mengakomodasi kebutuhan masyarakat.

"Kepmentan itu seharusnya menjadi bel pengingat bagi Kementerian Kesehatan untuk melakukan riset mendalam tentang ganja dan membuatnya dapat diakses oleh pasien yang membutuhkan," katanya.

"Bagi BNN dan Polri untuk tidak melanjutkan proses hukum bagi orang yang memanfaatkan narkotika untuk kebutuhan medis; bagi Pemerintah secara umum untuk menyikapi dengan lebih terbuka rekomendasi WHO terkait reklasifikasi ganja dalam sistem hukum narkotika internasional; dan bagi Parlemen untuk segera merevisi UU Narkotika yang berlaku saat ini," tambahnya.

Yohan menjelaskan kegagalan Indonesia untuk memiliki kebijakan tepat soal ganja medis hanya akan merugikan pasien yang membutuhkan, membuat banyak orang lebih memilih negara tetangga untuk turisme medis, serta menghilangkan kesempatan untuk membuka lapangan kerja lebih luas.

Baca juga artikel terkait GANJA MEDIS atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino