tirto.id -
"Ini kebijakan ngawur. Istilahnya orang sakit kepala dikasih obat diare," ujarnya kepada Tirto, Senin (15/7/2019).
Menurutnya, jika Pemkot Depok menerapkan kebijakan tersebut, berarti tidak memiliki ukuran yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan kemacetan yang menjadi sumber masalah. Tetapi, solusinya malah menyajikan lagu untuk para pengendara untuk mengurangi stres.
Apalagi, kata dia, Dishub juga tidak memiliki terobosan yang jelas dengan membuat kebijakan tersebut. Sehingga Wali Kota Depok pun ikut-ikutan kebingungan.
"Kalau mengurangi tingkat kejenuhan jalan, jelas tak mungkin. Apa urusannya lagu dipasang di lampu merah dengan mengurangi kemacetan? Nggak ilmiah mereka ini," tegasnya.
Menurutnya, permasalahan kemacetan di Depok solusinya bukan menyajikan lagu di lampu merah dengan speaker agar dapat mengurangi tingkat stres saat macet.
Solusi untuk mengatasi kemacetan di Depok, kata dia, sudah jelas dengan membangun transportasi massal yang aman, nyaman, dan terjangkau.
Namun, beberapa tahun terakhir, Wali Kota Depok lebih suka memakai rekayasa lalu lintas. Seperti pemasangan separator jalur cepat dan lambat di Margonda, dimana motor dan kendaraan umum berada di jalur lambat.
"Tapi motor ambil jalur cepat, angkot tak jarang juga masuk jalur cepat. [aparat] Minim penegakan hukum, yang terpenting macet tidak berkurang," pungkasnya.
Menurut Yurgen, Jalan Arif Rahman Hakim, Jalan Nusantara dan Jalan Dewi Sartika, memang harus diakui kemacetan agak berkurang karena diterapkan sistem satu arah (SSA).
Namun, ia tak yakin kemacetan di Depok akan semakin berkurang sebab, menurut data BPS (2018), jumlah kendaraan pribadi seperti motor dan mobil di Depok sudah mencapai 1,2 juta unit.
"Ini nggak sustainable. Dalam beberapa tahun ke depan, pasti macet lagi meski sudah SSA. Belum lagi protes warga karena omset dagangan mereka berkurang akibat SSA," terangnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri