tirto.id - Setelah kasus pemerkosa anak oleh Amri Tanjung, anak seorang anggota DPRD, Kota Bekasi juga menjadi sorotan karena terjadi kasus serupa di Bintara. Tak hanya diperkosa, seorang bocah juga rumahnya dirampok oleh pelaku bernama Rangga Tias Saputra dan komplotan.
Pemuda 27 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai juru parkir dan 'polisi cepek' ini dinilai dapat dijerat pidana hukuman seumur hidup hingga kebiri.
Perampokan terjadi pada 15 Mei lalu sekira pukul 5 pagi. Rangga diduga sebagai otak perampokan; ia bersama dua pelaku lain yakni AH (35) dan RP (29).
Gerombolan maling masuk ke dalam rumah korban dengan cara loncat pagar. Ketika itu Rangga melihat korban bermain ponsel di ruang keluarga dan timbul niat untuk memerkosa. Rangga menyekap korban agar tak teriak. Bila korban teriak, dia mengancam akan membunuhnya.
Usai memerkosa Rangga mengambil ponsel korban dan sebuah ponsel lain di sekitar televisi lalu kabur. Uang hasil rampokan mereka gunakan untuk membeli narkoba.
"Ini keterangan awal [dari pelaku]," jelas Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus, di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (20/5/2021) kemarin.
Rangga dan dua kawannya yang lain telah ditangkap dan positif mengkonsumsi narkoba. Rangga ditangkap polisi di kediaman saudaranya di Desa Nanggung, Bogor, Jawa Barat, setelah sempat buron. "DPO yang menjadi aktor dalam kasus itu sudah kami amankan tadi malam," ujar Yusri.
Rangga dijerat Pasal 365 KUHP, Pasal 285 KUHP, Pasal 76d juncto Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. "Ancaman 12 tahun penjara," imbuh Yusri.
Sementara kedua rekan Rangga dijerat Pasal 365 ayat (2) KUHP dan Pasal 76b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Mereka terancam hukuman di atas 5 tahun penjara.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar, mengatakan instansi berharap kasus ini diusut tuntas dan pelaku "dapat diberikan hukuman seadil-adilnya."
Kepada reporter Tirto, Kamis, menurutnya pelaku dapat dijatuhi penjara seumur hidup hingga kebiri.
Nahar menyatakan pelaku dapat dijerat dua hukuman itu berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 81 ayat 5 UU 17/2016 menegaskan bahwa jika menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Sementara pada ayat 7 disebutkan bahwa kebiri adalah hukuman tambahan dengan syarat yang sama seperti ayat 5.
"Pelaku dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik," katanya.
Kebiri kimia dilakukan dengan memasukkan zat tertentu ke tubuh untuk memanipulasi atau menghambat hormon seksual. Masalahnya efektivitas hukumannya masih dipertanyakan. Selain itu sanksi ini juga dianggap kejam meski tentu saja perbuatan pelaku lebih jahat.
Nahar juga mengatakan Kemen PPPA akan terus memastikan perlindungan dan pendampingan psikologis, selain pendampingan hukum hingga sidang.
Selain itu, "kami merekomendasikan agar dilakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi korban, termasuk tes kehamilan dan penyakit infeksi menular seksual, dan berkoordinasi dengan LPSK terkait hak restitusi dan pemulihan psikososialnya."
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Aprillia L. Tengker mengatakan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020, kebiri diperkenankan apabila putusan hakim memang menyatakan pelaku terbukti melakukan tindak pidana sesuai pasal UU 35/2014.
Menurutnya, hukuman untuk pelaku pemerkosaan baik di UU Perlindungan Anak maupun KUHP masih terlalu ringan. Selain itu belum ada peraturan yang mengatur perlindungan bagi korban-korban kekerasan seksual seperti ini. UU yang ada hanya fokus untuk menghukum pelaku, sedangkan perlindungan buat korban dalam hal pemulihan masih minim dilakukan.
"Maka dari itu, pendampingan korban dan pemulihan korban juga seharusnya diatur secara tegas dalam peraturan setingkat UU dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual jadi salah satu solusinya," kata Prili kepada reporter Tirto, Kamis.
Selain mengurus masalah hukum, LBH Jakarta juga mendesak polisi untuk menggandeng beberapa lembaga pendampingan korban yang dapat membantu memulihkan seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TPA), dan lainnya.
Selain itu, hal lain yang dijadikan catatan LBH Jakarta adalah di satu sisi kasus ini tampak begitu cepat ditangani, sementara di sisi lain pemerkosa yang berstatus anak anggota DPRD Kota Bekasi bahkan belum diketahui keberadaannya.
"Hukum tidak dapat tebang pilih. Ketegasan seperti ini yang harusnya ditunjukkan agar kasus-kasus pemerkosaan semakin berkurang," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino