Menuju konten utama

Pemerintah Cina Giat Menciduk Komunis Muda

Aliansi langka buruh-mahasiswa sedang subur di Cina. Rezim Xi Jinping merepresi mereka—aktivis muda yang kenyang menggasak pemikiran Karl Marx, Vladimir Lenin, hingga Mao Zedong.

Ilustrasi protes Cina. AP Photo/Kin Cheung

tirto.id - Usai lulus dari jurusan filsafat Peking University, Zhang Yunfan (25) memantapkan diri untuk menjadi aktivis sayap kiri. Lebih tepatnya seorang Maois: varian Marxisme-Leninisme yang didasarkan pada konteks agraris masyarakat Cina dan ajaran sang “founding father” Republik Rakyat Cina, Mao Zedong (1893-1976).

Pada 2014, misalnya, Zhang mengajak serombongan mahasiswa Peking University berkunjung ke Shaoshan, sebuah kota di Provinsi Hunan yang dikenal sebagai tempat kelahiran Mao. Situasi ini sukses mendorong perekonomian lokal sebab tiap tahun didatangi oleh para penggemar Mao yang berniat ziarah.

Tapi Zhang tak memuja Mao sebagai kultus. Ia berusaha merealisasikan idealisme Mao dalam aktivisme pro-rakyat. Ia, misalnya, peduli dengan nasib para pekerja migran asal Cina. Di masa lalu Yunfan juga berpartisipasi dalam program relawan mengajar untuk anak-anak di daerah terlantar.

Ia kritis terhadap berbagai masalah sosial yang sehari-hari dihadapi oleh golongan marjinal. Ia tak ragu menunjuk sistem politik dan ekonomi yang telah menyimpang dari visi Mao Zedong sebagai biang kerok ketimpangan ekonomi hingga merajalalelanya korupsi.

Posisi Yunfan seharusnya aman. Meski yang ia sasar adalah dampak dari kebijakan Deng Xiaoping yang berorientasi ekonomi pasar dengan “sosialisme berwatak Cina”, tapi pemikiran Mao masih menjadi bagian dalam doktrin resmi Partai Komunis Cina.

Tapi, laporan South China Morning Post menyebutkan Yunfan ditangkap oleh kepolisian saat sedang menghadiri diskusi buku di sebuah kampus pada 15 November 2017. Ia didakwa “mengumpulkan kerumunan orang untuk mengganggu ketertiban umum” usai menyuarakan pandangan tentang “peristiwa sejarah yang spesifik”.

Yunfan ditahan selama enam bulan di sebuah lokasi tersembunyi. Tidak ada kejelasan atau penjelasan terkait alasan penangkapannya. Rekan-rekannya sesama intelektual Maois gerah, lalu membuat petisi agar Yunfan segera dibebaskan.

Penangkapan Yunan hanyalah permulaan. Ben Westcott dan Yong Xiong melaporkan untuk CNN World bahwa sejak bulan Agustus lalu pemerintah Cina sedang giat menangkapi aktivis sayap kiri, terutama di kampus-kampus elite, yang selama ini mengampanyekan perlindungan hak-hak buruh.

Westcott dan Xiong mencatat setidaknya masih ada sembilan akvitis muda yang masih ditahan di beberapa kota besar di Cina daratan. Ada pula yang mendapat serangan dari sekelompok orang tak dikenal, yang dimaknai sebagai bagian dari teror terhadap aktivis.

Zhang Shengye adalah satu korbannya. Menurut surat terbuka yang beredar luas, pada Jumat (9/11/2018) aktivis yang mendaku sebagai seorang Marxis itu diserang oleh sejumlah laki-laki asing berpakaian serba hitam. Ia diseret ke sebuah mobil di dekat Beijing University.

“Seorang pelaku menggunakan lengannya untuk mengunci leherku dan mendorong ke arah depan.. Kacamataku hilang di tengah kekacauan, lalu aku ditindih ke tanah,” kata Shengye.

“Aku mencoba bertanya ‘Siapa kalian? Kenapa kalian melakukan hal ini?’ Seorang pelaku menunjuk jarinya ke mukaku dan berteriak ‘Diam atau aku hajar kau’,” imbuhnya.

Represi itu ditengarai bermula dari pembelaan mahasiswa terhadap buruh perusahaan Jasic Technology di Shenzhen, Cina bagian tenggara. Asisten profesor di The Hong Kong Polytechnic University, Jenny Chan, menuliskannya di Hong Kong Free Press sebagai kelahiran koalisi buruh dan mahasiswa di Cina.

Pada Juni lalu para buruh ingin membentuk serikat, tapi pemerintah Cina tidak mengijinkannya. Buruh kemudian menggelar aksi protes selama satu bulan. Pada bulan Juli lusinan buruh ditangkap oleh aparat kepolisian. Lainnya mengaku dipukuli oleh personil keamanan saat menggelar protes.

Sekelompok mahasiswa sayap kiri yang mendaku sebagai Maois turun gunung. Mereka menggelar aksi di beberapa kota hingga menjadi perhatian nasional. Namun, semakin besar perhatian publik, semakin keras juga represi pemerintah.

Shen Mengyu adalah aktivis lulusan Sun Yat-sen University, salah satu kampus elite di Cina bagian tenggara. Reputasinya cukup baik sebagai salah satu koordinator aksi protes. Pada 11 Agustus 2018, ia diciduk oleh sekelompok pria tak dikenal. Untungnya ia dilepas tak lama kemudian.

Nasib yang lebih buruk menimpa Yue Xin, aktivis lulusan Peking University. Ia bertugas mempublikasikan surat terbuka yang menyerukan agar mahasiswa lintas-kampus di Cina bersolidaritas untuk buruh dengan cara menandatangani petisi.

Pada tanggal 24 Agustus 2018 Xin menghilang. Demikian juga beberapa rekan seperjuangannya. Tidak ada laporan penangkapan resmi yang diumumkan oleh kepolisian. Xin dan kawan-kawan masih tidak diketahui keberadaannya hingga kini.

Tiada yang lebih ironis dari pemerintahan yang dikuasai partai komunis namun berupaya membungkam gerakan yang diinisiasi generasi muda komunis.

Apalagi jika bersandar pada fakta bahwa pemerintah Cina-lah yang mendorong secara kuat agar ajaran Marxisme dipelajari di kampus-kampus. Mereka juga melarang ideologi-ideologi Barat lain seperti liberalisme dan demokrasi yang dianggap "membahayakan" negara.

“Sekarang mereka sudah mengamalkannya sepenuh hati, tapi justru pemerintah merepresi mereka. Ini adalah buah dari apa yang dilakukan pemerintah Cina sendiri,” kata Elie Friedman, profesor bidang dunia perburuhan internasional di Cornell University, Amerika Serikat, kepada Westcott dan Xiong.

Friedman selama ini telah sejak lama menjalin relasi dengan para aktivis pembela buruh Cina. Idealisme yang dipegang oleh para aktivis melahirkan pandangan negatif terhadap Partai Komunis Cina. Represi itu, jelasnya, justru membuat pandangan negatif tersebut kian menebal.

“Apalah artinya sosialisme jika tak membela kaum pekerja?” imbuhnya.

Situasi di luar kampus juga tak kalah paradoksial. Presiden Xi Jinping sangat antusias untuk mendorong rakyatnya agar mempelajari Marxisme sejak diangkat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina pada 2012.

Dua tahun lalu Financial Times mempublikasikan laporan panjang Jamil Anderlini perihal popularitas Mao yang sedang naik-naiknya. Hal ini mampu dicapai melalui propaganda sekaligus pemblokiran akses terhadap sejarah kelam sang tokoh, salah satunya bencana kelaparann usai Mao meluncurkan program "Loncatan Jauh ke Depan".

“Sang diktator kini lebih populer ketimbang masa-masa lain sejak kematiannya. Tahun lalu hampir 17 juta orang yang berziarah ke kota kelahirannya, Shaoshan, di pedesaan Cina tengah. Pada pertengahan 1980-an, hanya 60.000 orang yang berziarah,” tulis Anderlini.

Para analis politik mengkritik popularitas itu hanya jalan untuk mengawetkan kekuasaan Jinping. Pada Oktober 2017 Partai Komunis Cina merevisi konstitusi negara, dan secara formal mengangkat status Jinping menjadi sejajar dengan Mao Zedong dan Deng Xiaoping.

Mao pada akhirnya hanya dikultuskan secara simbol, bukan ide, apalagi praktiknya. Pemerintah Cina justru ketakutan saat anak-anak muda yang mendaku sebagai pejuang sosialisme ala Mao dan getol menyuarakan kesenjangan ekonomi yang kian dalam, budaya korupsi, atau materialisme yang membelit masyarakat Cina hari ini.

Huizhou, Provinsi Guangdong, adalah bagian dari megalopolis Delta Sungai Mutiara di Cina bagian Tenggara. Kota ini tumbuh berkat industri elektronik. Imigran datang dari berbagai penjuru, dan pada akhirnya muncul masalah-masalah perburuhan.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/11/17/represi--rezim--cina--nauval.jpg" width="860" alt="infografik represi rezim cina" /

Buruh-buruh yang memperjuangkan haknya tidak sendirian. Mereka ditemani oleh mahasiswa-mahasiswa kiri yang kenyang melahap buku pemikiran Marx, Lenin, dan Mao. Mereka saling memanggil “kamerad” dan mengenakan kaos bertuliskan “persatuan adalah kekuatan.”

Mereka turun ke jalan, sejajar dengan para buruh, sambil memegang spanduk yang berbunyi “membentuk serikat buruh bukanlah kejahatan”. Mereka membuat reka ulang adegan buruh yang tertindas, lalu berkata bahwa situasi tersebut adalah yang sedang terjadi di pabrik-pabrik.

Gelombang demonstrasi di Huizhou pada pertengahan tahun ini lagi-lagi tercatat sebagai aliansi langka antara buruh dan mahasiswa.

Javier C. Hernandez, yang melaporkan untuk New York Times, mengutip salah satu demonstran bernama Chen Kexin. Kexin adalah seorang mahasiswa senior di Renmin University, Beijing. Dengan percaya diri ia bilang “pemerintah tidak bisa menarget kami, para Marxis, pemuja sosialisme, pembela buruh”.

Kexin keliru. Pada pagi hari, tertanggal 24 Agustus 2018, aparat kepolisian menggrebek kamar apartemen para aktivis di Huizhou dan menahan 50-an di antaranya. Saat polisi merangsek masuk, para aktivis bergandengan tangan dan menyanyikan mars buruh sedunia “Internationale”.

Akhir September kemarin, saat berita dipublikasikan, beberapa orang di antaranya sudah dibebaskan. Tapi masih ada 14 aktivis dan buruh lain yang jadi tahanan rumah. Tuduhan polisi: aktivis dan buruh bertindak atas provokasi LSM asing.

Eksistensi aktivis sayap kiri otomatis membantah stereotip bahwa generasi muda Cina itu apolitis, egois, dan terobsesi pada uang semata.

Hernandez meminta pendapat Eric Fish, penulis yang fokus mendedah karakteristik generasi milenial Cina. Fish bilang bahwa generasi yang lahir setelah tragedi pembantaian di Lapangan Tiananmen (1989) tidak memiliki ketakutan naluriah terhadap otoritas yang dipegang kaum tua.

“Mereka lebih bersedia untuk turun ke jalan dan menyuarakan aspirasinya keras-keras. Mereka tidak terlalu memikirkan apa risikonya,” kata Fish.

Baca juga artikel terkait PENANGKAPAN AKTIVIS atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf