Menuju konten utama

Pemerintah Bakal Revisi UU Sistem Peradilan Pidana Anak

Urgensi revisi UU SPPA ini berkaitan dengan tren peningkatan anak berkonflik dengan hukum (ABH) di tanah air.

Pemerintah Bakal Revisi UU Sistem Peradilan Pidana Anak
Tangkapan layar - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM RI Dhahana Putra dalam podcast bertajuk "Pengarusutamaan HAM dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan" dipantau secara daring melalui kanal YouTube DJHAM, Jakarta, Rabu (28/8/2024). ANTARA/Putu Indah Savitri/am

tirto.id - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menggulirkan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Perubahan beleid ini perlu untuk memperjelas aturan bagi anak yang berkonflik dengan hukum (ABH).

Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kemenkumham, Dhahana Putra, menyebut perubahan aturan ini diharapkan memberi kesempatan rehabilitasi yang efektif bagi ABH. Sejurus dengan itu, hak-hak korban dapat tetap terjaga.

Dhahana menjelaskan, urgensi revisi UU SPPA ini berkaitan dengan tren peningkatan ABH di tanah air.

“Harus diakui, meningkatnya kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual yang melibatkan anak belakangan menimbulkan pertanyaan bagaimana agar pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) kepada ABH ini dapat berjalan dengan efektif,” kata dia dikutip dari Antara, Minggu (15/9/2024).

Dhahana menambahkan, sejatinya keadilan restoratif telah diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) UU SPPA. Selain itu, UU SPPA juga mengatur konsep diversi sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak, dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Pasal 7 Ayat (1) UU SPPA mengatur, ABH pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi apabila tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Namun, kata Dhahana, belakangan terdapat peningkatan kasus kejahatan oleh anak yang diancam dengan pidana di atas 7 tahun penjara, sementara aturan diversi dalam UU SPPA tidak berlaku untuk kasus dengan ancaman pidana di atas 7 tahun.

Oleh karena itu, menurut dia, UU SPPA perlu disesuaikan. Dia berharap, revisi UU SPPA dapat membuat proses hukum lebih adil dan sesuai dengan dinamika tindak kriminal yang berkembang.

“Penyesuaian ini harus memperjelas kapan rehabilitasi dapat diberikan dan kapan proses hukum formal lebih sesuai, dengan juga mempertimbangkan keadilan bagi korban, dan di sisi lain tentu tanpa mengabaikan hak anak,” terang dia.

Diwartakan sebelumnya, kasus pembunuhan seorang anak perempuan di Palembang baru-baru ini menggemparkan publik. AA, korban yang baru berumur 14 tahun, diperkosa dan dibunuh oleh anak-anak seumurannya.

Korban yang masih duduk di bangku SMP kelas VIII itu ditemukan tewas awal September lalu di Tempat Pemakaman Umum Tionghoa, Palembang. Polisi menyebut ada empat orang pelaku dalam kasus ini, yakni pelaku utama berinisial IS (16), serta MZ (13), NS (12), dan AS (12).

Polisi menduga perbuatan keempat pelaku pemerkosaan dan pembunuhan ini dipicu akibat tontonan pornografi. Pasalnya, ditemukan konten pornografi di ponsel para pelaku.

Baca juga artikel terkait UU SISTEM PERADILAN ANAK

tirto.id - Hukum
Sumber: Antara
Editor: Fahreza Rizky