tirto.id - Tiap zaman politik punya pengkhianatnya masing-masing.
Pada zaman Romawi, Marcus Junius Brutus Caepio—lebih dikenal sebagai Brutus—seorang Senator Kota Roma yang pada akhir Republik mengkhianati dan membunuh Gaius Julius Caesar. Bersama beberapa rekan senatornya yang lain, Brutus membunuh Caesar pada 15 Maret 44 SM. Kelak pembunuhan tersebut mencetuskan perang saudara di Republik Roma.
Pengkhianatan Brutus bersama senator yang lain terjadi karena mereka merasa tidak puas melihat situasi dan kondisi Republik Roma di bawah kepemimpinan Caesar. Ia dianggap telah menjadi diktator yang sewenang-wenang dan acap menerbitkan sejumlah undang-undang yang mengukuhkan kedudukan dan kekuasaannya dalam pemerintahan Monarki Absolut. Padahal, Brutus pada mulanya merupakan sahabat Caesar dan rekan seperjuangan.
Ide untuk mengkhianati Caesar sebetulnya berasal dari provokasi Cassius dan Casca. Mereka adalah dua senator yang menggalang kekuatan politik untuk menjungkalkan Caesar dari kursinya. Untuk itu, kedua orang tersebut kemudian menghasut Brutus agar memimpin tim konspirator yang disebut sebagai Liberatores (pembebas). Setelah semua bersepakat, disusunlah rencana busuk untuk menggelar sidang Senator. Nantinya, di sana Caesar akan dipaksa membacakan sebuah petisi palsu yang mereka bikin sendiri.
Brutus bertugas untuk membujuk Caesar. Meski sempat beredar desas-desus yang tidak baik, Caesar akhirnya memutuskan datang. Sebelumnya, seorang senator lain bernama Marcus Antonius mencoba menghalau di tangga forum dengan maksud agar Sang Kaisar kembali pulang dan mengabaikan tuntutan para senator pembelot tersebut. Namun, ketika hendak melewati Teater Pompey, para senator lain berhasil menggiringnya ke sudut ruangan yang bersebelahan dengan porsio timur.
Di dalam ruang sidang, Caesar segera dikelilingi sekitar 60 orang senator yang masing-masing telah membawa belati di balik jubah mereka. Para senator lalu dipaksa membacakan petisi palsu tadi yang isinya meminta ia mengembalikan mandat kekuasaan. Ketika kemudian Caesar tengah membaca petisi tersebut di atas mimbar, salah seorang senator bernama Publius Servilius Casca menarik lengan sang kaisar, lalu menikam lehernya dengan sebilah belati.
Sejurus kemudian, 23 senator lain ikut menikamnya. Terus dan terus.
Caesar yang masih bertahan mencoba melarikan diri. Namun, dengan energi yang sudah nyaris habis dan darah yang bercucuran, upaya tersebut tak ada gunanya. Tikaman masih tak berhenti hingga akhirnya Sang Kaisar tersebut ambruk di lantai ruang majelis perundingan kerajaan, tepat di bawah patung Pompey. Persis sebelum napas terakhirnya, Caesar sempat menatap Brutus, lalu berkata:
“Tu quoque, Brute, fili mi?” yang artinya kurang lebih: “Kau juga, oh Brutus, anakku?”
Pengkhianatan Sarkozy terhadap Khadafi, Persengkokolan Trump dengan Putin
Di alam politik modern, kisah pengkhianatan lain yang juga sempat mengguncang publik menyangkut relasi antara mantan pemimpin Libya, Muammar Khadafi, dengan eks Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy. Semula hubungan antara keduanya sangat akrab. Tak lama setelah menjabat sebagai presiden pada 2007, Sarkozy beberapa kali mengundang Khadafi dan menyambutnya.
Namun, hubungan mesra antara Khadafi dan Sarkozy hanya berlangsung empat tahun. Ketika terjadi reformasi politik Arab Spring pada 2011, Prancis menjadi penggawa terdepan NATO dalam menyerang Libya yang berujung dengan kematian Khadafi sekaligus mengakhiri 41 tahun kepemimpinannya. Mengetahui hal tersebut, Putra Khadafi, Saif al-Islam, murka betul kepada Sarkozy hingga mengungkapkan suatu hal yang selama ini hanya menjadi desas-desus:
"Sarkozy harus mengembalikan uang yang dia terima dari Libya untuk dana kampanye pemilu. Kami mendanainya ketika pemilu dan kami punya bukti. Hal pertama yang kami minta adalah agar badut itu mengembalikan uang rakyat Libya," kata Saif al-Islam kepada Guardian kala itu.
Pihak Sarkozy selalu membantah tuduhan tersebut. Namun, ketika ia telah lengser dari kursi presiden, sederet kasus--mulai dari dugaan korupsi, pemalsuan, penyalahgunaan dana publik dan pencucian uang, hingga tuduhan dana haram pada pemilu 2012--terus menimpanya.
Hingga akhirnya tahun 2018, situs berita investigasi Mediapart memublikasikan dokumen yang ditandatangani oleh pejabat tinggi Libya terkait dana kampanye Sarkozy sebesar 50 juta euro. Dan berbekal dokumen tersebut, kepolisian pun menangkap Sarkozy.
Di Amerika Serikat, kasusnya lain lagi. Donald Trump tidak hanya dianggap menyebalkan karena kerap melontarkan kalimat provokatif dan membuat kebijakan yang kontroversial.
Bagi banyak orang lainnya, ia juga dianggap sebagai—meminjam judul berita Washington Times—”political traitor” atau pengkhianat politik. Hal itu setidaknya dapat dilihat dari dua hal; bagaimana ia berpindah haluan dari seorang Demokrat menjadi Republikan dan persekongkolannya dengan Rusia dalam pemilu AS 2016.
Dari dokumen New York City Board of Elections (NYCBOE), Trump diketahui telah terdaftar sebagai anggota Partai Demokrat sejak 2001. Hal tersebut juga telah ia konfirmasi pada 2004 ketika diwawancara CNN. Trump dengan jelas mengatakan bahwa ia “mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Demokrat”. Bahkan, sepanjang 1989-2010, donasi Trump kepada Demokrat juga lebih besar ketimbang ke Partai Republikan.
Sementara itu, persekongkolan Trump dengan negara Vladimir Putin diketahui sejak Komite Intelijen Senat Amerika Serikat merilis laporan mengenai agen-agen Rusia yang memanfaatkan media sosial untuk membantunya memenangi pemilu.
Isu tersebut membuat Trump menuai kecaman. Senator John McCain, sesama politikus Republikan, bahkan menyebut sikap Trump "memalukan" karena dalam pertemuannya dengan Putin pada Juli 2018, Trump menegaskan bahwa pemimpin Rusia tersebut tidak mengintervensi pemilihan Presiden AS.
Akhirnya, pada Maret 2019, hasil investigasi yang dilakukan sepanjang tahun dan dipimpin penyelidik khusus, Robert Mueller, menyatakan bahwa tudingan tersebut tidak terbukti, Trump kadung mendapat banyak kecaman dan sikapnya dianggap sebagai pengkhianatan terbesarnya.
==========
Artikel ini terbit pertama kali pada 10 Juni 2019. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Irfan Teguh Pribadi