tirto.id - Bekas Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte menjalani sidang eksepsi (pembelaan). Ia menyebut dizalimi dalam kasus penghapusan red notice Djoko Seogiarto Tjandra.
"Dari bulan Juli sampai hari ini, saya merasa dizalimi melalui teks oleh pemberitaan pemberitaan 'statement' pejabat negara yang salah tentang tuduhan menghapus 'red notice'," kata Napoleon dalam sidang dengan agenda pembacaan nota keberatan (eksepsi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (9/11/2020).
Jaksa membeberkan, Napoleon menerima uang dari Djoko Tjandra total Rp6,3 miliar, rinciannya 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS selama April-Mei 2020 agar menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) di Direktorat Jenderal Imigrasi.
"Kesempatan hari ini sudah lama saya tunggu-tunggu Yang Mulia, karena sebagai Kadivhubinter Polri yang dulu juga mantan Sekretaris NCB (National Central Bureau) Interpol Indonesia. Kami yang paling tahu kerja Interpol," kata Napoleon.
Ia menyebut, dakwaan pemberian uang dari Djoko Tjandra tan didasari bukti, sehingga disebut upaya "menzalimi kami sebagai pejabat negara".
Keterangan pemberian uang berasal dari terdakwa lain yakni Tommy Sumardy, kolega Djoko Tjandra. Tommy merupakan perantara Djoko dalam gratifikasi tersebut. Namun pengacara Napoleon, Sastrawan membantah tidak ada keterangan saksi yang termuat di dalam keseluruhan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Djoko Tjandra yang menerangkan keterlibatan langsung maupun tidak langsung dari Napoleon.
"Terhadap penyerahan dan penerimaan uang sebagaimana kuitansi kuitansi tanda terima uang tanggal 27 April 2020, 28 April 2020, 29 April 2020, 4 Mei 2020, 12 Mei 2020 dan 22 Mei 2020," kata Sastrawan.
Reporter: Antara
Editor: Zakki Amali