tirto.id - Pada sebuah sore akhir April lalu, Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo semobil dengan pengusaha Tommy Sumardi menuju kantor pusat penanganan kejahatan internasional di bilangan Pattimura, Jakarta Selatan. Perjalanan keduanya kurang lebih memakan waktu satu jam.
Saat itu, pandangan Prasetijo tertuju pada tumpukan dolar AS dalam kantong kertas gelap.
“Banyak banget ini, ji, buat beliau? Buat gua mana?” Prasetijo bertanya. Ji merujuk kepada Tommy yang sudah naik haji.
Tanpa menunggu jawaban Tommy, Prasetijo mengambil duit tersebut. “Ini buat gua. Nah ini buat beliau.”
“Ya udah, lo aja yang nyerahin semua.”
Duit 100 ribu dolar AS--setara Rp1,4 miliar--sudah dibagi rata oleh Prasetijo.
Sesampainya di kantor Trans National Crime Center (TNCC) Polri, keduanya menuju ruangan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, kepala divisi hubungan internasional. Napoleon menolak mentah-mentah 50 ribu dolar AS. Bukan karena tak mau duit, tapi sebab dianggap kurang banyak.
“Ini apaan nih segini? Enggak mau saya. Naik ji jadi 7 ji. Soalnya, kan, buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau [...] petinggi kita ini.”
Penggalan percakapan ketiganya terungkap dalam surat dakwaan suap Djoko Tjandra kepada Napoleon dan Prasetijo. Tommy menjadi perantara suap.
Dua jenderal polisi itu kemarin duduk di kursi pesakitan setelah didakwa menerima suap dari Djoko Tjandra. Napoleon menerima total 270 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp6,3 miliar sepanjang April-Mei 2020, sedangkan Prasetijo didakwa menerima total 100 dolar AS atau setara Rp1,4 miliar.
Napoleon dan Prasetijo terungkap aktif meminta besel kepada Djoko Tjandra.
Jenderal polisi yang terakhir diadlili karena perilaku korup adalah Djoko Susilo. Jenderal bintang dua atau inspektur jenderal ini adalah terpidana kasus korupsi pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) pada 2013 silam. Hakim memvonisnya 18 tahun penjara.
Semua berawal dari permintaan Anna Boentaran, istri Djoko Tjandra, yang memohon penghapusan red notice dari di Divisi Hubungan Internasional Polri. Napoleon, dalam hal ini, punya kewenangan menghapus daftar pencarian orang.
Djoko berstatus buron internasional sejak 2009, setelah kabur dari Indonesia saat tersangkut kasus korupsi Bank Bali. Namanya masuk daftar red notice kepolisian internasional berbasis di Lyon, Perancis.
Setelah lima tahun, tepatnya 2014, nama Djoko Tjandra terhapus otomatis karena tak ada permintaan perpanjangan dari otoritas hukum Indonesia. Peran dua jenderal polisi yakni mengurus halangan administrasi di Indonesia. Singkatnya, terjadi penghapusan nama Djoko dari Enhanced Cekal System (ECS) dalam Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Ditjen Imigrasi Kemenkumham.
Setelah masuk ke Indonesia pada Juni, Djoko Tjandra mengajukan gugatan atas kasus hak penagihan (cessie) Bank Bali ke Mahkamah Agung. Gugatan ini macet setelah Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengumumkan Djoko berada di Indonesia secara ilegal. Ia akhirnya ditangkap pada 30 Juli di Kuala Lumpur, Malaysia.
Tjoko Tjandra, yang dijuluki ‘Joker’, mengakhiri pelariannya setelah 11 tahun.
Hanya Dijerat Pasal Gratifikasi
Jaksa mendakwa Napoleon dan Prasetijo dengan pasal tentang gratifikasi pegawai negeri sipil. Hukuman minimal hanya setahun dan maksimal lima tahun.
Napoleon membantah seluruh dakwaan jaksa. Ia berjanji akan mengungkap ‘kebenaran’ sesungguhnya dalam persidangan pekan depan, 9 November.
Dalam persidangan berbeda di hari dan tempat yang sama, Djoko Tjandra juga didakwa menyuap dua jenderal dan seorang Jaksa Kejagung bernama Pinangki Sirna Malasari. Dalam kasus ini, Pinangki berperan mengurus fatwa ke Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung agar Tjoko Tjandra bebas tanpa menjalani pidana.
Djoko Tjandra telah menggelontorkan duit sebanyak 500 ribu dolar AS--setara Rp7,3 miliar--kepada Pinangki dari janji 1 juta dolar AS.
Djoko merogok kocel total hingga sekitar Rp15 miliar untuk menyuap tiga aparat penegak hukum, tapi dalam dakwaan ia hanya dijerat pasal gratifikasi.
Saking masifnya suap, Ketua Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta Muhammad Damis bahkan memperingatkan Djoko Tjandra agar tidak “melakukan suap-menyuap” kepada para hakim.
“Siapa pun yang mengatakan menguruskan perkara saudara itu adalah kebohongan, itu tidak mungkin. Kalau ada yang mengatakan seperti itu, itu adalah orang yang menipu saudara karena itu tidak mungkin terjadi,” kata Damis, melansir Antara. “Karena itu kami peringatkan untuk tidak melakukan suap-menyuap.”
Editor: Rio Apinino