tirto.id - Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo ditahan di sel khusus selama 14 hari usai diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri kemarin, Rabu (15/6/2020). Prasetijo dinilai telah melanggar Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2003 tentang Disiplin Anggota Polri.
Hasil pemeriksaan sementara menyimpulkan Prasetijo berinisiatif menerbitkan surat jalan bagi buron terpidana korupsi Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra.
Kapolri Jenderal Idham Azis langsung mencopot Prasetijo dari posisinya sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Karo Korwas PPNS) Bareskrim Polri. Prasetijo dimutasi sebagai perwira tinggi pelayanan masyarakat (Pati Yanma) Polri dalam rangka pemeriksaan. Mutasi itu tercatat dalam Surat Telegram Nomor: ST/1980/VII/KEP./2020 bertanggal 15 Juli 2020, yang ditandatangani As SDM Kapolri Irjen Pol Sutrisno Yudi Hermawan, mewakili Kapolri Jenderal Idham Azis.
Tak berhenti di situ, kepolisian juga membentuk tim gabungan untuk mengusut siapa saja yang terlibat dalam penerbitan surat jalan untuk Djoko Tjandra. "Propam akan mendalami kira-kira apakah ada keterlibatan pihak lain," kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Irjen Argo Yuwono di Mabes Polri, Rabu (15/7/2020).
Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahkan akan menindak tegas semua yang terlibat dalam kasus tersebut. "Kalau terbukti," kata Listyo di Jakarta, Rabu (15/7/2020), seperti dikutip dari Antara.
Pengahapusan Red Notice Djoko Tjandra
Selain soal penerbitan surat tugas, Polri juga bakal mendalami penghapusan status red notice Djoko Tjandra di Interpol, organisasi yang dibentuk untuk mengoordinasi kerja sama antar kepolisian di seluruh dunia. Polri bakal menyelidiki apakah ada kesalahan prosedur dalam penghapusan status tersebut. Pengurusan red notice berada di Sekretariat NCB Interpol.
"Divisi Propam memeriksa personel Divisi Hubungan Internasional yang mewakili pembuatan red notice," kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Irjen Argo Yuwono, juga dikutip dari Antara.
Selain Divisi Hubungan Internasional, Polri juga bakal mendalami apakah ada peran Prasetijo dalam penghapusan status tersebut. Hal itu lantaran Prasetijo pernah menduduki jabatan Kepala Bagian Komunikasi Internasional (Kabag Kominter) Sekretariat National Central Bureaus (NCB) Interpol Divisi Hubungan Internasional (Hubinter) Polri. Prasetijo kemudian menjabat Kepala Bagian Pengembangan Kapasitas (Kabag Kembangtas) Biro Misi Internasional Divisi Hubinter Polri.
Usai menduduki dua jabatan tersebut, Prasetijo mendapat promosi pangkat brigadir jenderal (brigjen) atau bintang satu sebagai Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri.
Menurut Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Ham Arvin Gumilang, pada 5 Mei lalu ada pemberitahuan dari Sekretariat NCB Interpol bahwa red notice Djoko Tjandra telah dihapus dari sistem sejak 2014. Sebabnya karena tidak ada permintaan perpanjangan lagi dari Kejaksaan Agung. Ditjen Imigrasi kemudian menghapus nama Djoko dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. "Nama Djoko Soegiarto Tjandra alias Joe Chen tidak ditemukan dalam data perlintasan,” ungkap Arvin dalam keterangan tertulis.
Tak lama setelah kembali ke Indonesia, Kejaksaan Agung memasukkan kembali nama Djoko Tjanjdra dalam daftar DPO pada 27 Juni 2020.
Jerat Pidana
Penerbitan surat jalan bagi Djoko Soegiarto Tjandra sangat memalukan dan merusak citra Polri, kata Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti. "Bagaimana mana mungkin ada surat jalan pada orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan Polri? Apalagi digunakan untuk melindungi buron perkara besar," kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (15/7/2020).
Selain dicopot, Kompolnas mendesak Prasetijo dijerat pidana atas dugaan melindungi buronan koruptor.
"Kompolnas merekomendasikan diproses hukum untuk pertanggungjawaban perbuatan Prasetijo, baik secara hukum pidana maupun aturan internal terkait disiplin dan kode etik profesi Polri. Kami akan terus memantau proses ini, menjadi catatan khusus terkait integritas Perwira Tinggi Polri," kata Poengky.
Tindakan Prasetijo juga dinilai sebagai tindak pidana oleh pakar hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. "Surat yang dikeluarkan bukanlah kewenangan biro yang dipimpinnya, karena ini bukan kesalahan administratif, melainkan kesengajaan,” kata Fickar saat dihubungi reporter Tirto. "Sebagai aparat penegak hukum, seharusnya menangkap buronan, tetapi dia justru sengaja memberi bantuan. Artinya ia membantu kejahatan."
Fickar menilai Prasetijo melanggar Pasal 223 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja melepaskan atau memberi pertolongan ketika meloloskan diri kepada orang yang ditahan atas perintah penguasa umum, atas putusan atau ketetapan hakim, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan."
Sementara Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai kasus Prasetijo menunjukkan sistem administrasi di Polri amburadul. Hal itu juga mengindikasikan adanya dugaan suap dalam penerbitan surat jalan bagi Djoko Tjandra. Sebab, katanya ketika dihubungi reporter Tirto, "tanpa ada gratifikasi, rasanya aneh juga polisi berani ambil risiko mengeluarkan surat dengan cuma-cuma.”
Menurut Bambang, kasus ini menjadi ujian bagi Kapolri yang bakal pensiun Januari tahun depan. "Kepercayaan kepada Polri harus dibangun dengan transparansi dan konsistensi pada penegakan hukum bagi anggotanya juga," pungkasnya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Gilang Ramadhan