tirto.id - Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman terpidana kasus korupsi Djoko Soegiarto Tjandra menjadi 4,5 tahun penjara. Hukuman itu lebih tinggi dari putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada tingkat banding dengan pidana penjara selama 3,5 tahun.
“Menolak perbaikan kasasi terdakwa dan penuntut umum dengan perbaikan pidana menjadi pidana penjara selama 4 tahun bulan dan Rp100 juta atau 6 bulan kurungan,” kata Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro, Selasa (16/11/2021).
Dengan putusan MA tersebut, maka hukuman Djoko Tjandra dikembalikan seperti pengadilan tingkat pertama.
Dalam kasus ini, Djoko divonis melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) KUHP dan Pasal 15 juncto Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara 4 tahun dan denda Rp100 juta atau 6 bulan kurungan.
Majelis hakim MA menilai perbuatan Djoko Tjandra dalam perkara a quo adalah suap dengan tujuan untuk pengurusan fatwa Mahkamah Agung melalui adik iparnya dan diteruskan kepada Pinangki Sirna Malasari selaku jaksa/Penyelenggara Negara sebesar 500 dolar AS.
Guna pengurusan pengecekan status dan penghapusan red notice Terdakwa dengan mengeluarkan dana suap kepada Napoleon Bonaparte sebesar 370 ribu dolar As dan 200 ribu dolar Singapura serta kepada Prasetijo Utomo sebesar 100 ribu dolar AS. Djoko terbukti menyuap dua jenderal polisi itu perihal pengecekan status red notice dan penghapusan namanya dari DPO di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Djoko Tjandra meninggalkan Indonesia pada tahun 2009 saat Mahkamah Agung menjatuhkan vonis kepadanya terkait korupsi pengalihan (cessie) tagihan Bank Bali, 10 tahun sebelumnya. Sejak buron, kabarnya simpang siur. Ia dikabarkan lari Malaysia dan menjadi warga negara Papua Nugini.
Lika-liku pelarian Djoko Tjandra ke Indonesia bermula dari kandasnya permohonan bebas dari Mahkamah Agung. Posisi Djoko saat itu sudah divonis bersalah dan harus masuk penjara dua tahun, kena denda Rp15 juta, dan kewajiban mengganti kerugian negara Rp546.466.166.369. Dalam kasus itu, Djoko Tjandra merupakan direktur PT Era Giat Prima. Ia mengikat perjanjian pengalihan/cessie tagihan dengan PT Bank Bali pada 11 Januari 1999.
Saat itu, Bank Bali menjadi bank penyalur mengalihkan tagihan sekitar Rp798 miliar terhadap PT BDNI. Perjanjian tanpa diikuti penyerahan dokumen bukti transaksi. Djoko tak menyerahkan sepeser pun dana pembayaran atau jaminan pembayaran. Surat perjanjian pengalihan bersifat proforma atau formalitas, ia hanya menjanjikan penyerahan surat-surat berharga kepada Bank Bali, bank pemerintah, dan bank-bank BUMN senilai tagihan paling lama 6 bulan perjanjian. Tapi itu tidak dipenuhi Djoko.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Gilang Ramadhan