Menuju konten utama

Djoko Tjandra 'Gocek' Banyak Lembaga Negara, Dibeking Orang Kuat?

Djoko Tjandra 'menggocek' banyak lembaga negara. Dari mulai Imigrasi hingga Pemprov DKI. Muncul dugaan dia dibeking orang kuat.

Djoko Tjandra 'Gocek' Banyak Lembaga Negara, Dibeking Orang Kuat?
Terpidana kasus cessie Bank Bali yang sekarang buron dan memiliki kewarganegaraan Papua Nugini, Djoko Tjandra. (FOTO/istimewa)

tirto.id - Alangkah lihainya Djoko Soegiarto Tjandra. Dia 'menggocek' banyak lembaga negara dan tak ada satu pun yang bisa menghentikan.

Setelah lebih dari 11 tahun buron karena terlibat kasus korupsi Bank Bali pada 1999, tiba-tiba saja dia muncul di Kantor Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, untuk mengurus KTP-elektronik pada 8 Juni 2020. Dia bak warga biasa tanpa beban apalagi dosa.

Pencetakan identitas diri Djoko Tjandra kilat, tak sampai satu jam, berbeda dengan yang dialami banyak warga lain yang harus menunggu berbulan-bulan bahkan sampai hitungan tahun. Ini terjadi tahun lalu, di salah satu kelurahan di Riau yang aparatnya berjanji penerbitan KTP-elektronik selesai dua bulan.

Lurah Grogol Selatan Asep Subahan mengaku tak mengistimewakan Djoko Tjandra, apalagi tahu yang bersangkutan berstatus buron. Ia memperlakukan Djoko Tjandra sebagaimana warga lain. "Seluruh warga yang membutuhkan layanan KTP kami upayakan selesai dalam satu hari, kalau memungkinkan di bawah satu jam," katanya Senin (6/7/2020) kemarin, dikutip dari Antara.

Cepat atau tidaknya pelayanan tergantung kelengkapan syarat, jaringan internet, dan ketersediaan blanko.

Meski mengaku tak tahu apa-apa, Asep Subahan tetap diberi sanksi. Ia dinonaktifkan sementara per hari ini (10/7/2020).

Djoko Tjandra perlu KTP sebagai syarat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK). Ia mendaftarkan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya beberapa jam setelah mendapatkan KTP dari Grogol Selatan.

Sidang digelar Senin kemarin, tapi Djoko Tjandra tidak hadir. Pengacara bilang kliennya sedang dirawat di klinik di Malaysia, terhitung 1-8 Juli. Sidang ditunda dan dijadwalkan ulang pada 20 Juli nanti.

Dalam kasus ini negara rugi Rp904 miliar akibat pencairan tagihan tanpa prosedur jelas dari Bank Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ke Bank Bali. Rp546 miliar di antaranya mengalir ke kantong pribadi Djoko Tjandra dengan dalih kompensasi pengalihan tagihan dari Bank Bali.

Dia ditahan hampir setahun, tepatnya pada 29 September 1999 sampai Agustus 2000. Setahun kemudian, Kejaksaan Agung mengajukan kasasi tapi hakim menolaknya. Kejagung mengajukan peninjauan putusan kasasi delapan tahun kemudian. Hakim MA memenangkannya. Tapi sehari sebelum hakim mengetok palu, tepatnya pada 10 Juni 2009, Djoko Tjandra melarikan diri dari Indonesia.

'Kelihaian' Djoko Tjandra juga tampak dari cara dia 'mengelabui' Imigrasi sehingga bisa masuk Indonesia. Yasonna H Laoly, Menteri Hukum dan HAM, mengatakan Imigrasi tak mendeteksi orang masuk dengan nama Djoko Tjandra. Ada dugaan ia mengganti nama: dari Djoko Soegiarto Tjandra menjadi Joko Sugiarto Tjandra. Hal itu diketahui setidaknya dari berkas putusan perkara di Mahkamah Agung (MA) nomor 12 PK/Pid.Sus/2009.

Menurut Bonyamin Saiman dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), organisasi yang fokus pada isu pemberantasan korupsi, perubahan nama dilakukan di sebuah pengadilan negeri di Provinsi Papua.

Djoko Tjandra segera menjadi pusat perhatian orang-orang penting di Indonesia. Menkopolhukam Mahfud MD menggelar rapat khusus untuk membahas ini bersama Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh, Dirjen Imigrasi Kemenkumham Jhoni Ginting, Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi, Kabareskrim Polri Listyo Sigit Prabowo, dan Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP), Rabu (8/7/2020) malam.

"Malu negara ini kalau dipermainkan oleh Djoko Tjandra," kata Mahfud usai rapat.

Mahfud mengatakan Polri dan Kejagung akan mencari Djoko Tjandra. Mereka juga akan dibantu oleh Kemenkumham dan Kemendagri yang akan mensuplai dokumen keimigrasian dan kependudukan.

Kinerja Penegak Hukum Lemah atau Dibeking?

Komisi III DPR RI Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman menilai Djoko Tjandra membuat "penyelenggara negara dibuat seperti orang bodoh."

"Seharusnya Djoko Tjandra sudah tertangkap di pintu imigrasi. Kalau toh lolos, seharusnya dia ditangkap di Kelurahan Grogol Selatan. Kalau pun lolos lagi, seharusnya dia ditangkap di PN Jakarta Selatan," katanya saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (9/7/2020) siang.

Ia menilai masuknya Djoko Tjanjdra memalukan semua instansi itu. Ia pun mendesak semua yang semestinya bertanggung jawab dievaluasi. Dari mulai Dirjen Imigrasi, Pemprov DKI Jakarta, Pengadilan Negeri, Kejaksaan Agung, sampai Polri.

"Tidak mungkin Djoko Tjandra bisa terus lolos kalau semua instansi tersebut bekerja dengan baik," katanya menegaskan.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Nasdem Ahmad Sahroni menduga Djoko Tjandra dapat masuk ke Indonesia karena dibantu "oknum di luar lembaga penegakan hukum." "Kita enggak tahu tapi ini permainan oknum besar," kata Sahroni kepada reporter Tirto, Kamis.

Sahroni menduga Djoko Tjandra sudah merencanakan ini sejak lama sehingga semua semua berjalan mulus. Rencananya termasuk cepat-cepat pergi dari Indonesia segera setelah semua urusan administratif selesai dalam rangka "menghindar dari penangkapan," katanya.

Sebaliknya, pengamat keamanan sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Khairul Fahmi menduga memang ada oknum yang 'bermain' meloloskan Djoko Tjandra, tapi dia adalah bagian dari penegak hukum.

"Saya menilai ini bukan persoalan sistem, melainkan soal praktik buruk dan ketidakpedulian terkait kedisiplinan," katanya kepada reporter Tirto.

"Kalaupun dikatakan kecolongan, ini kecolongannya yang sistemik. Lembaga yang terkait ini, kan, bukan abal-abal. Kalau ini yang kecolongan adalah sistemnya, bagaimana mungkin kita ternyata juga bisa sangat ketat dalam kasus lainnya seperti jaringan teror?" katanya.

Baca juga artikel terkait KASUS BANK BALI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino