tirto.id - Kekerasan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran yang tidak bisa dibenarkan dan dinormalisasi. Akan tetapi, Israel masih saja melakukannya, bahkan diduga dengan sengaja melakukan serangan ke lokasi yang seharusnya jadi ruang aman para jurnalis, salah satunya rumah sakit.
Teranyar, lima jurnalis menjadi korban kekejian Israel dengan impunitasnya. Mereka meluncurkan serangan “double-tap” ke Rumah Sakit Nasser, Khan Younis (selatan Jalur Gaza) pada Senin (25/8/2025) pagi. Serangan brutal itu menewaskan sedikitnya 21 orang, termasuk jurnalis, petugas medis, dan regu selamat.
Serangan itu diduga khusus menargetkan jurnalis yang bekerja untuk Al Jazeera, Reuters,Associated Press (AP), serta kantor berita lain yang pro-Palestina. Itu merupakan salah satu serangan paling mematikan dari Israel, yang menghantam rumah sakit dengan target jurnalis dan warga sipil, selama genosida dua tahun terakhir.
Di antara wartawan yang tewas adalah Muhammad Salama dari Al Jazeera, Hussam al-Masri juru kamera Reuters, Maryam Abu Daqqa jurnalis lepas yang saat itu bekerja untuk The Independent Arabic dan AP, Ahmed Abu Aziz dari Quds Feed Network, serta Moaz Abu Taha yang jadi kontributor Independent Arabia dan Reuters.
Sepekan sebelumnya, Minggu (10/8), Israel telah membunuh enam jurnalis. Empat di antaranya bekerja untuk Al Jazeera, yakni Anas al-Sharif, Muhammad Qreiqeh, Ibrahim Zaher, dan Muhammad Noufal. Malam itu, Israel sengaja menyerbu kamp para jurnalis di gerbang Rumah Sakit al-Shifa.

Shireen.psmencatat, per 3 September 2025, setidak-tidaknya sudah ada 289 jurnalis dan pekerja media yang tewas dibunuh oleh Israel sejak 7 Oktober 2023.
Jumlah kematian jurnalis di Palestina jauh lebih banyak dibandingkan korban kategori yang sama di Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Vietnam, Revolusi Yugoslavia, serta pertempuran AS di Afganistan.
Seluruh publikasi media audiovisual telah memicu berbagai kemarahan massal dari seluruh dunia. Merespons insiden ini, Thameen Al-Kheetan, juru bicara kantor HAM PBB, mendesak keadilan dan menuntut Israel bertanggung jawab sembari terus menggemakan dukungan moral kepada para korban genosida di Palestina.
Kutukan untuk Israel
Masyarakat internasional mengutuk dan menuntut agar Israel diadili atas serangan yang “menormalisasi” impunitas pelanggaran hukum terhadap pers.
"Israel membunuh setidaknya lima wartawan di Rumah Sakit Nasser pada Senin pagi. Pembunuhan jurnalis yang disiarkan Israel di Gaza terus berlanjut sementara dunia menyaksikan dan gagal bertindak tegas atas serangan paling mengerikan yang pernah dihadapi pers dalam sejarah baru-baru ini," ungkap Direktur Regional Committee to Protect Journalists (CPJ), Sara Qudah.
CPJ telah mengirim surel ke IDF’s North America Media Desk guna meminta komentar terhadap penyerangan dan rincian lainnya, tetapi tak memperoleh tanggapan apa pun.
Beberapa hari kemudian, juru bicara bahasa Arab Israel Defense Forces (IDF), Avichay Adraee, mewakili kepala stafnya, Jenderal Eyal Zamir, mengklaim bahwa pihaknya telah memerintahkan penyelidikan sesegera mungkin.
“IDF menyatakan penyesalan atas korban yang tidak terlibat dalam konflik. IDF tidak menargetkan jurnalis secara khusus dan berupaya semaksimal mungkin untuk meminimalkan dampak terhadap mereka, sambil tetap menjaga keamanan pasukannya,” tulisnya di platform X pada 25 Agustus.
Pernyataan itu agak kontradiktif sebab terlampau banyak jurnalis yang tewas selama dua tahun terakhir. Bahkan, yang terakhir terjadi benar-benar tertuju pada bangunan sipil: rumah sakit.

Menurut data dari Shireen.ps, sejak agresi Oktober 2023 hingga Agustus 2025, sedikitnya ada 13 jurnalis yang tewas di Gaza setiap bulannya. Platform tersebut mencatat dengan saksama nama-nama korban, sebagai sebuah kecaman, bukan semata statistik dan angka.
Juni 2025 lalu, Reports Without Borders (RSF), CPJ, dan sejumlah kantor berita, melayangkan surat terbuka yang menyatakan bahwa jurnalis pro-Palestina yang bertugas di Gaza telah “menghadapi ancaman terus-menerus terhadap hidup mereka karena melakukan pekerjaan mereka: menjadi saksi.”
Jurnalis tetap dipersekusi, diburu, dan dibunuh, meski masyarakat internasional telah mengecam tindakan tersebut.
Al Jazeera mengutuk serangan itu sebagai “niat yang jelas untuk mengubur kebenaran.” Itu selaras dengan pernyataan Amnesty International yang menyatakan, “Israel tidak hanya membunuh jurnalis tetapi menyerang jurnalisme itu sendiri dengan mencegah pendokumentasian genosida.”
Genosida Jurnalis oleh Israel
Hussam al-Masri tewas saat pengeboman pertama, yang mengarah langsung ke gedung rumah sakit. Setelah itu, para jurnalis lain, petugas medis, dan regu selamat, berlarian ke lokasi pengeboman guna membantu korban-korban yang bergelimpangan. Sejurus selanjutnya, hanya berselang 15 menit, bom susulan melesat dan menghantam titik ledak yang sama.
Dalam insiden terpisah di Mawasi (Khan Younis), Senin (25/8) malam, Israel juga membunuh koresponden Palestina bernama Hassan Douhan, yang ketika itu bekerja untuk publikasi Al-Hayat al-Jadida.
Selain korban jiwa, serangan Israel membuat beberapa jurnalis mengalami luka berat, termasuk Jamal Baddah, jurnalis Palestine Today TV; Hatem Khaled, yang bekerja untuk Reuters; dan Muhammed Fayeq, seorang fotografer lepas.
"Rekan-rekan jurnalis menjadi martir ketika pendudukan Israel melakukan kejahatan mengerikan dengan mengebom sekelompok jurnalis yang sedang dalam misi liputan pers di Rumah Sakit Nasser di Gubernuran Khan Younis dan banyak martir menjadi korban kejahatan ini," tulis Al Jazeera lewat rilisan pernyataan sikap.
Reutersmerilis video rekaman detik-detik terakhir ketika Hussam al-Masri melangsungkan siaran langsung dari rumah sakit. Siaran itu mendadak berakhir saat pengeboman “double-tap” yang pertama.

Israel tak hanya membunuh para jurnalis secara fisik, melainkan juga ikatan emosional mereka dengan orang-orang sekitarnya.
Muhammad Salama, salah satu jurnalis Al Jazeera, gugur meninggalkan cinta yang telah mendekam lama bersama Hala Asfour, istrinya. Tanggal 11 November 2024, keduanya menikah. Namun, pernikahan itu belum benar-benar dirayakan dengan kemeriahan. Maka itu, keduanya berharap untuk merayakan pernikahan setelah gencatan senjata antara Israel dan Palestina berhasil diteken.
Sayangnya, kenyataan bertolak dari harapan. Keduanya dipertemukan lewat pertalian profesi, menebar romansa di antara reruntuhan Gaza yang porak-poranda. Hari demi hari, potret dari kamera Salama berbalas pena kabar dari Hana.
Salam pernah berkata kepada istrinya, “Selama kita bersama, kematian tidak bisa mengalahkan kita.”
Namun, penyerangan Israel ke Rumah Sakit Nasser membunuh asa cinta mereka. Perang menyatukan Salama dan Hala, tetapi sekaligus mengubur mimpi keduanya.
Kisah nahas lain datang dari kematian Abu Daqqa. Dia terpaksa meninggalkan seorang putra berusia 12 tahun. Bahkan, dia sudah dipisahkan dengan putranya yang dievakuasi dari Gaza sejak awal genosida oleh Israel.
“Saya pertama kali bertemu Maryam pada tahun 2015 selama kursus fotografi di pusat Italia di Kota Gaza, di mana dia adalah salah satu peserta latihan .... Awalnya, saya tidak tahu bahwa Maryam adalah seorang ibu. Suatu hari sebelum perang, ketika saya bekerja di Abasan, saya mendengar seorang anak laki-laki berteriak kepadanya: ‘Bu!’ Saya terkejut. Dia tertawa dan memperkenalkan saya kepada putranya. ‘Ini Ghaith,’ katanya bangga. ‘Dia adalah laki-lakiku, dan dia akan melindungiku ketika dia dewasa,’” kenang Ruwaida Amer dalam +972 Magazine.
Israel terus menampik bahwa serangannya tak mengarah ke jurnalis. Padahal, nyatanya, agresi yang mereka lancarkan pada dua insiden terakhir jelas-jelas mengarah ke tempat jurnalis bekerja; tempat yang seharusnya jadi ruang aman: rumah sakit.
Hind Khoudary, wartawan Al Jazeera menyayangkan sekaligus bertanya dengan konotasi retoris dan kesal, “Berapa kali kita akan terus melaporkan pembunuhan rekan-rekan kita atau pembunuhan jurnalis lain yang bekerja dengan Al Jazeera dan kantor berita lainnya?”
Investigasi Human Rights Watch (HRW) menemukan, Israel memang sengaja menargetkan “jurnalis dan fasilitas media” pada empat kesempatan terpisah di tahun 2012. Selama serangan itu, dua jurnalis tewas dan banyak korban terluka lainnya.
Penelusuran mereka bahkan tak menemukan indikasi bahwa serangan Israel itu menargetkan tujuan militer yang valid.
"Hanya karena Israel mengatakan seorang jurnalis adalah pejuang atau stasiun TV adalah pusat komando tidak membuatnya demikian," kata Sarah Leah Whitson, direktur Timur Tengah di HRW.
Pada 2019, komisi PBB berhasil mengusut kasus serupa dan menyatakan bahwa Israel “sengaja menembak” sepasang jurnalis Palestina pada 2018, menewaskan keduanya. Nama dua korban itu adalah Yaser Murtaja dan Ahmed Abu Hussein.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































