tirto.id - Persidangan dugaan makar yang menjerat aktivis Papua Surya Anta, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, Ambrosius Mulait, dan Arina Lokbere dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi pada Senin (3/1/2020) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pada sidang ini jaksa penuntut umum menghadirkan Ade Manurung, aktivis Laskar Merah Putih yang mengaku melaporkan Surya Anta dkk.
"Apakah saksi benar memberi laporan dugaan makar?" tanya penasehat hukum.
"Benar," jawab Ade.
Ade bercerita pada saat kejadian unjuk rasa yang diduga ada pengibaran bendera bintang kejora (28/8/2019), ia tidak di lokasi melainkan di kantor.
Namun ia mendapat laporan dari kawannya soal aksi tersebut. Pada petang hari, Ade lantas mengecek Youtube dan menemukan video dari Suara.com yang meliput aksi tersebut.
Ia menyebut dalam video berdurasi 1 menit 1 detik itu ia tidak bisa melihat jelas wajah-wajah peserta aksi, tapi ia melihat ada pengibaran 3 bendera bintang kejora dan mendengar seruan seruan menuntut referendum dan penarikan TNI/Polri dari tanah Papua.
"Kita tidak terima hal seperti itu dan itu jadi sejarah jelek bagi bangsa ini Kalau kita biarkan, kita tidak cinta pada NKRI. Kalau kita cinta pada NKRI kita laporkan agar jangan terulang kembali," kata Ade.
Ade kemudian merekam video Youtube itu dan langsung bertandang ke Polda Metro Jaya pada sekitar pukul 21.00 WIB untuk membuat laporan. Pada saat itu polisi hanya mengecek video yang dibawa Ade lalu segera meningkatkan perkara ke penyidikan.
Ade baru bisa pulang pada 29 Agustus 2019 dini hari. "Dikoordinasi dulu, dilihat bukti-buktinya dulu, benar langsung di-BAP," kata Ade.
Akhirnya Surya Anta, Carles Kossay, Dano Tabuni, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Ariana lokbere ditangkap pada 31 Agustus 2019.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa enam aktivis Papua, Surya Anta, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, Ambrosius Mulait, dan Arina Elopere melakukan makar dan pemufakatan jahat.
Atas hal itu jaksa mendakwa mereka dengan Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP atau mengenai makar dengan ancaman pidana seumur hidup.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Hendra Friana