tirto.id - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Agus Widodo menolak gugatan praperadilan yang diajukan enam tahanan politik (tapol) Papua. Perkara praperadilan ini terdaftar dengan Nomor: 133/PID.PRAP/2019/PN.JKT SEL.
"Satu, menyatakan permohonan praperadilan Pemohon tidak terpenuhi. Dua, membebankan biaya perkara kepada pihak Pemohon," ujar Agus dalam sidang pembacaan putusan di PN Jaksel, Selasa (10/12/2019).
Hakim menilai permohonan praperadilan tersebut cacat formil. Hakim menolak subjek praperadilan yaitu institusi Polri yang berwenang dengan menggunakan cq (casu quo).
Hakim juga menyatakan presiden tidak bisa didudukkan dalam konsep pertanggungjawaban perkara ini, meski Kapolri bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan Undang-undang Polri.
Menanggapi putusan itu, Kuasa Hukum Tim Advokasi Papua Muhammad Busyrol Fuad mempertanyakan alasan hakim menolak subjek praperadilan. Ia mengatakan banyak kasus dan putusan praperadilan yang menyertakan casu quo dalam gugatan
"Kami ingin menarik mata rantai tanggung jawab yang telah dijamin dalam undang-undang kepolisian, bahwa institusi kepolisian itu saling terkait," ujar dia.
Fuad menilai hakim tidak melihat fakta persidangan seperti proses penangkapan yang dianggap tidak sah karena tidak punya surat perintah penangkapan, dilanjutkan dengan penggeledahan, penyitaan, penetapan tersangka terhadap enam aktivis Papua.
"Hakim lebih banyak bicara aspek formil, itu yang kami sayangkan," kata Fuad.
Sementara, Kuasa Hukum Termohon AKBP Nova Irone Surentu menerima keputusan hakim. "Tentunya dengan penolakan praperadilan oleh hakim, sudah sesuai dengan Jawaban Termohon dalam eksepsi," ujar dia.
Dalam perkara ini, kepolisian menetapkan enam tersangka, yakni yakni Paulus Suryanta Ginting (39), Anes Tabuni alias Dano Anes Tabuni (31), Charles Kossay (26), Ambrosius Mulait (25), Isay Wenda (25) dan Arina Elopere alias Wenebita Gwijangge (20).
Lima nama pertama mendekam di Rutan Salemba, Jakarta Timur. Sedangkan Arina Elopere dikurung di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Polisi menangkap mereka pada 30-31 Agustus lalu, atas dugaan makar karena mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara, 28 Agustus, dalam aksi demonstrasi menolak antirasisme terhadap orang Papua.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Gilang Ramadhan