Menuju konten utama

Penundaan Pembebasan Tapol Papua Menguatkan Kejanggalan Kasus Makar

Vonis hakim terhadap tahanan politik Papua hampir bertepatan berakhirnya masa sidang di PN Jakpus.

Penundaan Pembebasan Tapol Papua Menguatkan Kejanggalan Kasus Makar
Dua terdakwa kasus dugaan makar, Dano Anes Tabuni dan Ambrosius Mulait kenakan koteka dalam sidang pembacaan eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (6/1/2020). (tirto.id/Adi Briantika)

tirto.id - Para tahanan politik Papua menunggu dengan cemas di ruang transit penjara ketika tiba pada hari pembebasan yang dijanjikan. Sehari sebelumnya, mereka telah menandatangani surat bebas di masing-masing penjara.

Sepanjang siang kemarin, mereka telah bersiap meninggalkan Rumah Tahanan Salemba dan Pondok Bambu, Jakarta. Barang-barang telah dikemas. Berkas-berkas telah ditandatangani. Rapid test Corona yang dijalani para tapol adalah non-reaktif. Seharusnya tak alasan menunda pembebasan.

Menjelang lepas dari tahanan, sekitar pukul 17.00, tiba-tiba petugas administrasi datang menemui para tapol. Ia membacakan keputusan bahwa pembebasan kelima tapol terganjal aturan pemerintah kendati vonis hakim telah berkekuatan hukum tetap dan sudah ada surat eksekusi.

Penundaan itu menyesakkan para tapol ketika hari pembebasan yang dijanjikan gagal. Kini, mereka menanti hari bebas murni pada 26 Mei 2020.

Kelima tapol yang gagal bebas yakni empat di antaranya di Rutan Salemba: Paulus Suryanta Ginting Surya, Ambrosius Mulait, Charles Kossay, Dano Anes Tabuni. Satu tapol, Ariana Elopere di Rutan Pondok Bambu.

Sebetulnya ada satu lagi tapol, Issay Wenda, sehingga totalnya ada enam—tim advokasi menyebutnya ‘Jakarta Six’—yang ditangkap tahun lalu. Issay telah bebas pada 28 April lewat mekanisme asimilasi. Anehnya, pembebasannya tak tertunda, sedangkan kelima tapol lain ditunda.

Pendamping tapol, Suarbudaya menyebut tindakan pemerintah menunda pembebasan bagi kelima tapol adalah bagian diskriminasi, “Kebijakan asimilasi untuk pencegahan COVID-19 tak berlaku bagi tahanan politik.”

Berdasar keputusan Menteri Hukum dan HAM, mereka seharusnya bebas kemarin karena telah menjalani 2/3 masa pidana. Tapi ada aturan yang bikin pembebasan tertunda yakni Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2012 berisi larangan narapidana yang ‘melakukan kejahatan terhadap negara’ menerima ‘diskon’ hukuman lewat mekanisme asimilasi.

Kebijakan asimilasi berlaku untuk merespons situasi pandemi global COVID-19 agar penularan virus SARS-CoV-2 tidak menjalar di lapas Indonesia yang dikenal menampung napi melebihi kapasitas penjara. Dengan kebijakan asimilasi itu, sudah lebih dari 30.000 narapidana di seluruh Indonesia bebas sejak April lalu.

Terkait batalnya pembebasan kelima tapol, tim advokasi Michael Himan mendesak kepada Menkumham agar konsisten.

“Untuk alasan kemanusiaan, kebijakan pembebasan kelima tahanan politik Papua ini harus diikuti dengan instruksi pembebasan seluruh tahanan politik di Indonesia,” ujarnya, kemarin.

Ia juga mendesak kepada Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya untuk melakukan tindakan proaktif memeriksa dugaan pelanggaran administratif dari pembebasan kelima tahanan politik papua.

Vonis Makar Janggal

Ada lebih banyak tahanan politik di Indonesia sejak 2019. Saat ini, ada 63 tahanan politik dengan dakwaan makar menghuni sel-sel penjara di Indonesia dari Papua hingga Jakarta.

Sekelompok pengacara hak asasi manusia membawa isu pembebasan 63 tapol untuk meminimalisasi risiko penularan Corona ke Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations). Namun permintaan mereka dimentahkan pejabat Indonesia yang menganggap data tapol itu ‘sampah’.

Para tapol didakwa Pasal 106 KUHP dan/atau Pasal 110 KUHP tentang perbuatan makar dengan sanksi pidana penjara maksimal 20 tahun.

Dakwaan yang sama terjadi kepada keenam tapol yang ditangkap aparat Indonesia pada 30-31 Agustus 2019 usai aksi damai dua hari sebelumnya di depan Istana Negara Jakarta. Dalam aksi damai itu, mereka mengutuk kasus rasialisme terhadap mahasiswa Papua di asrama Surabaya pada 16 Agustus 2019.

Mereka justru didakwa makar hanya karena saat protes membawa simbol kultural orang Papua: Bintang Kejora—di masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pengibaran bendera Bintang Kerjoa di Papua diperbolehkan.

Hakim akhirnya mengeluarkan vonis berbeda-beda terhadap keenam tapol. Jaksa menuntut Issay Wenda 10 bulan, sedangkan kelima tapol lainnya 17 bulan. Hakim kemudian memvonis lebih ringan para tapol pada 24 April lalu. Issay 8 bulan, sementara kelima lainnya 9 bulan. Vonis itu diterima para tapol.

Issay Wenda telah bebas sesuai program asimilasi pada 28 April, tapi masih ada lima tapol lainnya belum bebas. Berdasar hitungan masa tahanan sejak 1 September 2019, semestinya kelima tapol sudah bebas bila tidak terganjal peraturan pemerintah.

Vonis yang dijatuhkan jaksa memang sudah diterima para tapol dengan pertimbangan kemanusiaan tidak ada banding. Namun vonis itu terkesan janggal karena bertepatan dengan habisnya masa sidang tingkat pertama pada akhir April.

Sejak awal kasus, telah muncul desakan dari koalisi masyarakat sipil untuk membebaskan para tapol. Di antaranya Amnesty Internasional Indonesia yang bersuara penahanan para tapol menyalahi hak asasi manusia karena mereka hanya menyampaikan pendapat dengan damai.

Baca juga artikel terkait TAHANAN POLITIK atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Hukum
Penulis: Zakki Amali
Editor: Zakki Amali