tirto.id - Hari-hari karantina politik di Wisma Yasoo benar-benar meremukkan mental Sukarno. Dia yang dulu dikenal sebagai singa podium dan selalu jadi pusat perhatian, kini terbenam dalam depresi. Tak habis di situ, penahanan itu rupa-rupanya juga berefek buruk bagi kesehatan Si Bung Besar.
Sejak mandatnya sebagai presiden dicabut, tim dokter kepresidenan yang mengetahui kondisi medis Bung Karno secara detail ikut dibubarkan. Padahal, Sukarno diketahui sudah lama mengidap gangguan ginjal, sakit jantung, dan darah tinggi. Sejak ditahan, diagnosis baru muncul: rematik dan gejala katarak.
Menurut Asvi Warman Adam dalam Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?: Tragedi Bapak Bangsa, Tragedi Indonesia (2010, hlm. 183-86), Sukarno mengalami gangguan ginjal sejak sekira awal 1960-an. Pada 1961 dan 1964, dia pernah mengalami gangguan ginjal dan dirawat di Wina.
Dalam kunjungan pertamanya ke ibu kota Austria itu, dari ginjal Bung Karno dikeluarkan sebuah batu sebesar kacang tanah. Ginjal kiri Sukarno juga dilaporkan sudah tidak berfungsi. Prof. Dr. Fellinger yang ikut menangani Sukarno kala itu menyarankan agar ginjal kiri itu diangkat saja. Bung Karno menolak.
“Nanti saja, ik moet mijn taak afronde (saya harus menyelesaikan tugas saya),” jawabnya.
Tugas yang dimaksud Sukarno itu tidak lain adalah kampanye mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia.
Pada kunjungan keduanya, dilakukan operasi penyedotan batu kristal pada ginjal Sukarno. Seusai operasi, kepada ajudannya Maulwi Saelan, dokter memperlihatkan “satu botol kecil penuh kristal urat”. Setelah penanganan kedua itu, Bung Karno melanjutkan pengobatan dengan ramuan tradisional Cina dan teknik akupuntur yang diberikan oleh dokter dari Republik Rakyat Cina.
Titimangsa 4 Agustus 1965, Sukarno dikabarkan sakit. Yang bikin runyam keadaan, ada pihak-pihak tertentu yang menyebarkan desas-desus Sukarno jatuh pingsan dan kemudian mengalami koma. Elite-elite politik Jakarta khawatir Sukarno tak tertolong dan stabilitas politik mulai goyah.
Padahal, yang sebetulnya terjadi adalah Bung Karno mengalami transient ischaemic attack (TIA) alias stroke ringan akibat penyempitan sesaat (spasme) pada pembuluh darah otak. Tim Dokter Kepresidenan lantas meminta Sukarno beristirahat dari kegiatan kenegaraan. Para dokter juga menyarankan agar Sukarno tidak usah berpidato pada 17 Agustus 1965. Seandainya pun harus berpidato, diminta lamanya tidak lebih dari satu jam.
Sukarno tentu saja tetap naik podium. Pada saat penyampaian pidato kenegaraan itu, selain empat panglima Angkatan Bersenjata, dokter spesialis ginjal dari Cina Wu Chi Ping juga berada di dekat Sukarno. Ternyata, Presiden Sukarno berpidato lebih dari satu jam, tapi untungnya tidak terjadi apa-apa.
Ke Dokter Gigi pun Harus Dikawal
Setelah Tim Dokter Kepresidenan yang menangani Sukarno dibubarkan, Soeharto sebenarnya membentuk tim dokter baru yang diketuai oleh Mahar Mardjono. Mahar-lah yang merawat Sukarno sejak medio 1968 hingga saat-saat terakhirnya.
Sekira September 1967—saat masih ditahan di Bogor, Sukarno mengeluh sakit gigi. Karena di Istana Bogor tidak ada alat-alat perawatan, dia terpaksa harus datang ke dokter gigi. Namun, mengingat statusnya, kunjungan ke dokter gigi itu harus dilakukan dengan pengamanan ekstra ketat.
Bung Karno akhirnya diantar ke Jakarta, ke rumah Dokter Gigi Oei Hong Kian yang sudah jadi langganannya. Dokter Oei yang cukup akrab dengan Bung Karno itu prihatin juga dengan kemalangan yang kini menimpanya. Saat diberitahu bahwa Bung Karno akan datang, Dokter Oei juga diminta mempersiapkan pengamanan di rumahnya dan harus disetujui oleh tim pengawal. Betapa repotnya.
Dokter Oei pun mengatur agar Bung Karno memasuki rumahnya lewat pintu samping. Skenarionya, Dokter Oei akan memindahkan mobilnya dan membuka pintu garasinya. Begitu mobil pengantar Sukarno masuk, pintu garasi akan ditutupnya. Begitulah, kemudian Bung Karno akan diajak masuk lewat pintu samping.
“Tepat pukul 09.00 BK [Bung Karno] tiba dengan Mercedes 600, diiringi lima jip putih penuh prajurit. Jadi sama betul dengan masa BK masih presiden. Cuma saja tidak ada raungan sirene dan fungsi pengawalan itu berbeda,” kenang Dokter Oei dalam memoarnya.
Enam orang prajurit bersenjata lengkap lantas masuk ke rumah Dokter Oei. Bahkan, salah satu di antara mereka memaksa masuk ke ruang praktik. Dokter Oei dapat mencegah dengan meyakinkannya bahwa dia selaku dokter harus menjaga rahasia penyakit pasiennya. Tentara itu akhirnya mengalah dan berjaga di depan pintu.
Usai perawatan, Dokter Oei dibuat terharu oleh ucapan Bung Karno. "Bapak saat ini tidak bisa memberi imbalan apa-apa," kata si Bung.
Dokter Oei pun tak kuasa berkata-kata karenanya. Dalam perawatan itu dan selanjutnya, Dokter Oei membantu dengan ikhlas. Dia pun sama sekali tidak dibayar oleh pemerintah.
Untuk perawatan gigi, Sukarno perlu dua sampai tiga kali kunjungan. Selama itu, Bung Karno akan tinggal di Wisma Yasoo agar lebih efisien waktu tinimbang harus bolak-balik Bogor-Jakarta. Di saat itu pula, Sukarno yang kesepian itu bisa bertemu dengan agak leluasa dengan anak-anaknya.
Belakangan, agar bisa berlama-lama dengan anak-anaknya, Bung Karno meminta Dokter Oei untuk mengulur waktu perawatannya. Dokter Oei yang pengertian itu pun menyanggupi dengan mungulur waktu perawatan sampai tiga minggu. Bung Karno girang betul mendengar jawaban itu.
“Saya sampai terharu karena hal sekecil itu saja bisa membuat bahagia bekas presiden yang sedang kesepian itu,” tutur Dokter Oei.
Sekira akhir Maret 1968, Dokter Oei bertolak ke Belanda dan menetap di sana. Sebelum berangkat, dia sudah siap untuk memasangkantambalan emas pada gigi Sukarno. Tapi, tindakan itu urung terlaksana karena pengawasan terhadap Sukarno semakin diperketat. Dokter Oei pun berangkat tanpa sempat berpamitan pada Bung Besar.
Sedikit Kelonggaran dari den Dekker
Awal 1970, diangkatlah seorang komandan baru untuk detasemen pengawal Wisma Yasoo. Dia adalah perwira intelijen bernama Max den Dekker. Ketika berkenalan, Sukarno sampai keheranan—bagaimana dia sebagai seorang Indo-Belanda bisa naik pangkat begitu tinggi.
Menurut den Dekker, Sukarno menyukai orang Indo-Belanda dan karena itulah mereka berdua langsung cocok. Jika hanya berdua, mereka bahkan biasa bercakap dengan bahasa Belanda. Dan lagi, sejak den Dekker memimpin detasemen pengawal, para penjaga boleh memakai pakaian sipil.
Selama dipegang oleh den Dekker, gaya pengamanan Sukarno sedikit berubah. Misalnya, den Dekker pernah memperingatkan Sukarno bahwa ada alat-alat penyadap yang tersembunyi di sudut-sudut Wisma Yasoo. Akan tetapi, Sukarno bisa bicara bebas di kebun. Agar bisa mengikuti berita-berita dunia, Sukarno juga diperbolehkan membaca surat kabar, di antara Straight Times terbitan Singapura.
Pada saat-saat tertentu, Sukarno jadi lebih leluasa dan bisa berlaku selaiknya pemilik rumah, bukan tahanan. Misalnya, pada malam hari, Sukarno bisa mengajak para pembantu, perawat, dan para penjaga untuk menonton film di kamar kerjanya. Kadang-kadang, digelar pula pementasan wayang. Den Dekker sampai terkesan pada Bung Karno yang senantiasa menonton pertarungan akhir antara Kurawa dan Pandawa dengan penuh perhatian.
Den Dekker, tanpa persetujuan dari atasan, juga memperluas radius gerak tawanannya itu. Pada malam-malam tertentu kala Sukarno tak bisa tidur, den Dekker secara in cognito biasa menemani si Bung makan sate. Mereka juga biasa bersama-sama mengunjungi teman-teman dan kenalan Bung Karno, seperti berkunjung ke rumah pelukis Sudjojono di Pasar Minggu. Sesekali, Sukarno juga diperbolehkan mengunjungi Hartini di Bogor—meski helikopter polisi militer akan mengikuti jipnya selama perjalanan.
Den Dekker juga jadi saksi betapa kesehatan Sukarno makin lama makin mundur. Tangannya gemetar sehingga senantiasa menjatuhkan barang. Sukarno yang jengkel selalu bereaksi dengan menyumpah dalam bahasa Belanda.
Sekira Juni 1970, tim medis menemukan tekanan darah Sukarno begitu tinggi hingga tingkat yang mengkhawatirkan. Ginjalnya yang sudah keracunan sekarang menjadi fatal baginya. Sejak itu, Bung Karno tidak bisa bangkit lagi dari tempat tidurnya. Juga tidak saat 6 Juni 1970 untuk merayakan hari ulang tahunnya.
==========
Untuk memperingati haul Bung Karno ke-51 pada 21 Juni 2021, Redaksi Tirto menayangkan serial artikel tentang hari-hari terakhirnya dalam karantina politik Orde Baru. Serial ini ditayangkan setiap hari pada 22-25 Juni 2021 dan ditulis oleh sejarawan Muhammad Iqbal.
Muhammad Iqbal adalah sejarawan kelahiran Amuntai, Kalsel. Sehari-hari ia mengajar di IAIN Palangka Raya dan menjadi editor penerbit Marjin Kiri. Baru-baru ini ia menulis buku berjudul Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi