tirto.id - Politikus PDIP, Mohamad Guntur Romli, merasa keberatan dengan masuknya nama Presiden ke-2 RI, Soeharto ke dalam daftar 40 usulan penerima Gelar Pahlawan Nasional.
Menurut Guntur, apabila Soeharto resmi dijadikan Pahlawan Nasional, maka semua peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di masa Orde Baru dianggap benar oleh rezim Soeharto.
“Kalau Soeharto mau diangkat pahlawan, maka otomatis mahasiswa (tahun) 1998 yang menggerakkan reformasi dan menggulingkan Soeharto akan disebut penjahat dan pengkhianat. Ini tidak bisa dibenarkan,” ucap Guntur melalui keterangan resmi, Kamis (23/10/2025).
Terdapat beberapa peristiwa yang terjadi di masa Orde Baru, seperti Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari 1989, Rumah Geudong 1989-1998, Penghilangan Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Trisakti hingga Semanggi I dan II 1998-1999, dan Pembantaian Dukun Santet 1998.
“Bukan lagi pelanggaran HAM tapi bisa disebut kebenaran oleh rezim Orde Baru Soeharto saat itu,” tuturnya.
Selain Soeharto, pemerintah juga mengusulkan nama-nama lainnya untuk diberikan gelar pahlawan nasional, yakni Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan aktivis buruh perempuan, Marsinah.
Guntur pun merasa janggal dari segi logika terkait usulan tersebut, dimana Gus Dur dan Marsinah sebagai sosok yang menentang Soeharto di masa itu, justru memiliki status yang setara dengan Soeharto.
“Saya miris, untuk mengangkat Soeharto jadi pahlawan, tapi seakan-akan nama seperti Gus Dur dan Marsinah dijadikan barter. Padahal Gus Dur dan Marsinah dikenal melawan Soeharto dan Orde Baru, maka secara logika tidak mungkin semuanya disebut pahlawan,” terang Guntur.
Dengan demikian, dia menilai seharusnya Gus Dur dan Marsinah lah yang lebih pantas mendapatkan gelar pahlawan nasional alih-alih Soeharto.
“Karena melawan Soeharto dan Orde Baru, yang layak jadi pahlawan ya Gus Dur dan Marsinah,” ucapnya.
“Soeharto tetap dengan fakta sejarah, mantan presiden yang digulingkan oleh gerakan Reformasi 1998 karena KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme), otoriter dan pelanggaran HAM berat,” sambung Guntur.
Bertolak belakang dengan PDIP, Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar, Idrus Marham, menyatakan dukungannya atas usulan pemerintah untuk menjadikan Soeharto menjadi pahlawan nasional.
Dengan begitu, dia memastikan pihaknya akan terus memperjuangkan agar usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional bisa terealisasi.
“Golkar tidak pernah surut dan tidak pernah mundur sedikit pun untuk memperjuangkan Pak Harto sebagai pahlawan nasional,” ucap Idrus dalam konferensi pers di Bakso Lapangan Tembak, GBK, Jakarta, Kamis (23/10/2025).
Menurut Idrus, Soeharto memiliki banyak prestasi selama masa kepemimpinannya, seperti pencapaian pembangunan selama dia memimpin Indonesia, serta Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berjalan dengan baik.
“Kami juga melihat bahwa Pak Soeharto, siapapun kalau mau jujur menilai prestasi-prestasi pembangunan yang dilakukan, baik di dalam mendesain bagaimana dengan GBHN-nya, dan ini berjalan dengan triloginya, misalkan dan lain-lain, ini kan dijalankan dengan baik,” katanya.
Soeharto pun kemudian mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, yang mana dilaksanakan usai 32 tahun ia memimpin. Pengunduran diri itupun salah satunya dipicu oleh demonstrasi besar-besaran. Melihat itu, Idrus menilai aksi-aksi tersebut marak diintervensi oleh beragam rekayasa.
“Sudah mulai terbongkar satu-satu bahwa ada intervensi dari luar dan lain-lain. Ada rekayasa-rekayasa. Tetapi Pak Harto juga kan rela bahkan mengundurkan diri,” katanya.
“Kan ini kan sangat luar biasa. Secara sadar mengundurkan diri dan lain-lain sebagainya, lalu menyerahkan kepada aturan yang ada. Kita masih ingat pada waktu itu,” imbuhnya.
Dengan demikian, Idrus menegaskan tak ada alasan bagi Partai Golkar untuk tidak mendukung proses pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Meski demikian, dia menghormati adanya pro dan kontra terkait usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional.
“Kalau ada yang namanya pro kontra, ya pasti adalah. Ya pasti tidak mungkin. Kita saja di rumah tangga, anak kita 4-5, kadang-kadang enggak sama. Apalagi ini 287 juta penduduk Indonesia. Dan kami juga tak tahu, apakah mereka protes karena tidak tahu, atau ada pengaruh-pengaruh lain,” tutur Idrus.
Bahkan, Idrus menegaskan pihaknya terbuka untuk membuka diskusi bagi siapapun guna memperlancar proses usulan agar bisa terealisasi.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Bayu Septianto
Masuk tirto.id


































