tirto.id - “Para peternak dollar, terutama para pejabat dan politisi, jual dollar-mu”.
Seruan yang ditulis oleh Faisal Basri di akun twitternya tertanggal 3 September 2018 pukul 19.45 WIB seolah jadi sentilan keras. Rupiah pada hari itu memang melemah. Kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) di situs Bank Indonesia mencatat, kurs mencapai Rp14.767 per dolar AS, lebih rendah 0,38 persen dibanding akhir Agustus 2018.
Mengutip Bloomberg, kurs rupiah menyentuh Rp14.815 per dolar AS di periode yang sama. Nilai tukar mata uang Garuda menyentuh Rp14.935 per dolar AS pada Selasa (4/9) dan menjadi Rp14.933 per dolar AS pada Rabu (5/9) sore.
Apa yang disampaikan oleh Faisal, kembali memantik ingatan publik soal ‘Gerakan Cinta Rupiah’ saat Indonesia dilanda krisis moneter dua dekade lalu. Pada Desember 1997, advokat senior Amir Syamsuddin dan kawan-kawan mencetuskan gerakan tersebut di Jakarta. Gerakan kian populer saat putri Presiden Soeharto sekaligus Menteri Sosial kala itu, Siti Hardiyanti Rukmana menukarkan dolarnya. Simpanan senilai $50 ribu dirupiahkan Tutut di Bank Bumi Daya (BBD) Jakarta.
Upaya pejabat pemerintah menukarkan simpanan dolar yang belum tentu jumlahnya signifikan, seolah menjadi contoh baik bagi masyarakat agar juga melepaskan kepemilikan valuta asing agar rupiah menguat. Namun, langkah demikian memang jadi tanggung jawab moral, tapi ada juga yang menariknya ke persoalan nasionalisme.
“Itu bukti nasionalisme yang baik,” kata ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara.
Dalam konteks kekinian, khususnya pejabat negara di internal pemerintah pusat, dolar memang seakan menjadi simpanan wajib bagi mereka. Catatan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), mayoritas menteri dan mantan menteri ‘mengoleksi’ dolar AS. Umumnya LHKPN yang diserahkan adalah pada periode 2014 hingga 2016. Selama periode itu hingga kini memang ada potensi dolar-dolar yang mereka miliki bisa berkurang hingga sudah dijual, atau bahkan bisa jadi makin bertambah nilainya.
Kepala BKPM Thomas Trikasih Lembong misalnya, punya dolar senilai $7,87 juta pada LHKPN 2016. Mendag Enggartiasto Lukita juga punya $4 juta lebih dalam LHKPN 2017.Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga tercatat punya $7,5 juta pada LHKPN empat tahun lalu.
Selain menteri, kepala negara dan wakilnya juga memiliki simpanan valuta asing. LHKPN November 2014 mencatat mantan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono punya $1,7 juta.
LHKPN tertanggal 31 Desember 2014 mencatat Joko Widodo (Jokowi) memiliki simpanan $27.633 dan dolar Hong Kong senilai NHK 42.822. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyimpan valas berupa dolar Hong Kong senilai NHK 7.036 pada periode LHKPN yang sama. Bakal calon presiden Prabowo Subianto juga punya simpanan $7,5 juta berdasarkan LHKPN 2018.
Bila seandainya dolar-dolar para pejabat negara itu sampai kini masih disimpan, dan mereka menukarkannya dengan rupiah, tentu akan jadi catatan positif. Upaya menukar dolar oleh pejabat pemerintah hingga politikus bisa jadi kekuatan moral bagi masyarakat luas untuk melakukan hal yang sama. Upaya mengajak keterlibatan publik dalam membantu negara keluar dari krisis juga pernah dipraktikkan oleh beberapa negara.
Melibatkan Rakyat Saat Krisis
Belum lama, seruan yang sama untuk menjual koleksi dolar AS maupun mata uang asing lainnya sempat diserukan oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kepada para pendukungnya. Gaung ajakan bertujuan mengangkat kembali kurs lira yang sempat terjerembab 40 persen terhadap dolar AS sejak awal tahun, mencatatkan rekor terendah.
Erdoganjuga mengumumkan untuk melakukan transaksi non-dolar dalam perdagangan internasional seperti dengan Rusia maupun negara lainnya. “Bersama rakyat, kami secara tegas menentang dolar, tarif forex, inflasi dan suku bunga. Kami akan melindungi kemandirian ekonomi Turki dengan merajutnya bersama-sama,” tegas Erdogan.
Selain persoalan valas, mengajak rakyat mendonasikan uang untuk membantu pemerintah juga pernah berlaku di beberapa negara. Pemerintah Malaysia mulai 31 Mei 2018 pernah melakukannya. Dalam tempo 24 jam pertama sejak penggalangan dana massal atau crowdfunding, terkumpul donasi $1,76 juta. Rakyat Malaysia melalui Malaysia Hope Fund atau Tabung Harapan Malaysia, harus berjibaku untuk melunasi utang negara senilai RM1 triliun sekira $251 miliar atau mencapai 80 persen PDB.
“Rakyat secara sukarela ingin berbagi pendapatan mereka dengan pemerintah untuk membantu meringankan beban melunasi utang,” kata Menteri Keuangan Malaysia, Lim Guan Eng, yang memastikan kontribusi dan donasi rakyat dikelola dan diatur baik oleh pemerintah.
Utang pemerintah telah membuat bayi Malaysia yang baru lahir harus menanggung beban RM33.000. Untuk lunas, gaji para menteri harus dipotong 10 persen, pemecatan 17 ribu pegawai kontrak serta mengenakan pajak terhadap barang dan jasa. Malaysia juga harus menunda pembangunan sejumlah proyek infrastruktur untuk melunasi utang. Sebagai bentuk keprihatinan, Sultan Muhammad V membatalkan upacara resmi dan resepsi hari ulang tahun. Rumah Tangga Kerajaan mengumumkan, dana ulang tahun sang raja Malaysia dialokasikan untuk membayar utang negara. Raja Malaysia juga menyumbang 10 persen gajinya kepada Hope Malaysia Fund.
Gerakan melibatkan rakyat untuk menyelamatkan keuangan negara berupa pemulihan nilai tukar mata uang ataupun pelunasan utang, berawal dari Korea Selatan 21 tahun silam. Saat itu, rumah tangga di Korea Selatan diperkirakan menyimpan $20 miliar emas.
Perhiasan, koin, emas batangan, patung, medali, liontin, lambang militer dan sebagainya, adalah bentuk simpanan emas rumah tangga Korea Selatan. Simpanan emas inilah yang memainkan peran besar dalam pemulihan ekonomi negeri ginseng.
Sebanyak 3,5 juta rakyat Korea Selatan atau hampir seperempat jumlah penduduk menyumbangkan emas mereka untuk membantu negara. Rata-rata masyarakat negeri ginseng menyumbang 65 gram emas sekira $640 berdasarkan harga di tahun itu. Dalam waktu dua bulan, terkumpul 226 metrik ton emas sekira $2,2 miliar untuk dibayarkan kepada IMF. Kampanye pengumpulan emas menjadi titik awal penting kebangkitan ekonomi Korea Selatan.
Editor: Suhendra