Menuju konten utama

BI Incar Spekulan Valas, Efektifkah untuk Perbaikan Kurs Rupiah?

“Pengawasan yang ketat dan intensif memastikan transaksi valas dilakukan berdasarkan kebutuhan sesuai dengan underlying,” kata Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot.

BI Incar Spekulan Valas, Efektifkah untuk Perbaikan Kurs Rupiah?
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dolar AS di Jakarta, Senin (2/7/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Bank Indonesia (BI) dan pemerintah akan memantau aktivitas spekulan yang memanfaatkan momen menguatnya dolar AS hingga level Rp14.927 berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dallar Rate (JISDOR), Rabu (5/9/2018). Hal ini menjadi perhatian mengingat aksi spekulan bisa memperburuk upaya pemerintah dalam menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah.

Gubernur BI Perry Warjiyo memastikan, pihaknya akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dalam penanganan pelemahan nilai tukar rupiah, termasuk soal spekulan. Perry menilai, ada indikasi spekulan valuta asing (valas) bermain yang membuat rupiah semakin terpuruk.

“Betul apa yang disampaikan pak Menko Darmin [Nasution] dan Bu Menteri Keuangan Sri Mulyani, kalau hitung-hitungan fundamentalnya seharusnya tidak seperti ini. Tidak selemah seperti ini [kurs rupiah]” kata Perry di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/9/2018).

Karena itu, BI akan menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengawasi para spekulan yang menjadi salah satu penyebab pelemahan rupiah ini. BI akan terus memelototi pembelian valas yang berdasarkan spekulasi dan tidak disertai dokumen jaminan (underlying).

Bank Sentral mensyaratkan agar pembeli valas dalam jumlah besar harus menyertakan dokumen bukti (underlying) kepada bank untuk memenuhi kebutuhan valas itu. Ketentuan adanya dokumen bukti kebutuhan valas ini tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.18/18/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik.

Menurut Perry, BI dan OJK sudah mengawasi aksi pembelian valas dalam jumlah besar ke perbankan sebelum timbul sentimen negatif akibat gejolak perekonomian di Turki dan Argentina. Hasil pengawasan saat itu, semua pembelian valas disertakan underlying.

“Tapi, pada waktunya kami bersama OJK akan memeriksa lagi ke bank-bank. Kami akan cek ke bank, apakah pembelian dolar-nya ada underlying atau tidak,” kata Perry.

Meski demikian, kata Perry, BI belum menyiapkan sanksi pasti kepada spekulan kalau tertangkap. “Kami tidak bisa mengatakan dulu, kami kan harus lihat underlying-nya. Kan PBI (Peraturan Bank Indonesia) sudah ada,” kata Perry.

Hal senada diungkapkan Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot. “Pengawasan yang ketat dan intensif memastikan transaksi valas dilakukan berdasarkan kebutuhan sesuai dengan underlying,” kata Sekar seperti dikutip Antara, Rabu (5/9/2018).

Langkah OJK ini menyusul pergerakan nilai tukar rupiah yang sudah jatuh terlalu dalam.Faktor yang dianggap besar berasal dari luar negeri, seperti naiknya suku bunga the Fed, perang dagang, hingga krisis Turki dan Argentina. Kurs rupiah yang semakin melemah sejak Mei 2018 membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan fiskal dan BI menggencarkan intervensi.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pengendalian spekulan menurutnya tidak akan efektif untuk memperbaiki kurs rupiah yang terpuruk dari dolar AS. Pemerintah harus memberi sanksi yang jelas.

“Kalau hanya imbauan, tidak efektif. Harus ada sanksi,” kata Bhima kepada Tirto pada Rabu (5/9/2018).

Bhima kemudian merekomendasikan Bank Indonesia memberikan sanksi berupa pencabutan izin ekspor bagi eksportir yang bermain spekulasi rupiah. “Untuk jasa keuangan yang main spekulasi, OJK bisa membuat sanksi keras mulai dari denda sampai penghentian sementara operasionalnya," kata Bhima.

Pemerintah, menurutnya, sedang melakukan capital control secara halus atau malu-malu. “Mengingat 40 persen kepemilikan surat utang negara dikendalikan oleh investor asing, otomatis larinya modal keluar karena spekulasi pasti terjadi,” kata Bhima.

Namun di sisi lain, kata dia, pemerintah tidak dapat banyak berkutik karena masih menganut rezim devisa bebas sejak krisis moneter 1998. “Sejak krisis 1998 tidak ada perbaikan signifikan dalam regulasi capital control. Investor dapat bebas keluar masuk, dan dalam kondisi genting spekulasi marak dilakukan,” kata Bhima.

Jika pun hot money di pasar keuangan dan perbankan bisa dikendalikan, tapi menurutnya tidak terlalu signifikan menolong rupiah. “Titik masalah yang ketinggalan adalah devisa hasil ekspor bebas keluar masuk dalam hitungan hari. Itu menciptakan spekulan," kata Bhima.

Infografik CI Dolar Perkasa Atas Rupiah

Baca juga artikel terkait NILAI RUPIAH atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz