tirto.id - Nilai tukar dolar AS terus menguat sejak awal 2018. Tekanan terhadap rupiah terus berlanjut hingga akhirnya menembus Rp14.000 per dolar AS pada 7 Mei 2018. Padahal per 2 Januari 2018, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah masih tercatat Rp13.542 per dolar AS. Puncaknya, pada penutupan perdagangan Jumat kemarin (31/8/2018), rupiah berada di level Rp14.829 per dolar AS.
Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (Core), Mohammad Faisal menilai dolar AS yang terus menguat tidak akan langsung berdampak pada seluruh lapisan masyarakat. Pelemahan rupiah terhadap dollar AS hanya akan dirasakan kelompok masyarakat yang aktivitasnya berhubungan dengan valuta asing, misalnya usaha ekspor-impor. Dalam bidang-bidang tersebut, mata uang selain rupiah digunakan untuk membeli bahan baku produksi.
“Golongan masyarakat yang paling merasakan umumnya menengah ke atas. Sementara untuk yang menengah ke bawah, belum akan terasa [dampaknya] selama masih ada kebijakan pemerintah untuk meredam dampak pelemahan rupiah,” kata Faisal kepada Tirto, pada Minggu (2/9/2018).
Kebijakan pemerintah yang dimaksud Faisal salah satunya adalah pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM). Di tengah tren kenaikan harga minyak global seperti sekarang, Faisal menilai subsidi yang digelontorkan pemerintah mampu membuat masyarakat kelas menengah ke bawah tidak terkena dampak secara langsung.
Tak hanya subsidi, Faisal berpendapat minimnya dampak bagi masyarakat kelas bawah itu juga karena pemerintah masih bisa mengendalikan laju impor bahan pangan.
“Namun kalau kemudian kebijakan itu tidak berlanjut, misal subsidi dicabut atau ada impor besar-besaran karena bahan pangan tidak cukup atau stok masih kurang saat panen sudah selesai, maka dampak langsungnya tidak lagi hanya dirasakan masyarakat kelas atas,” kata Faisal.
Dengan demikian, Faisal mengatakan bahwa kebijakan dana desa atau bantuan sosial terbukti ampuh dalam menekan dampak langsung dari dolar AS yang terus menguat. Hanya saja, Faisal mengingatkan agar kebijakan tersebut dapat terintegrasi dan berjangka panjang, sehingga kelompok masyarakat yang sudah keluar dari garis kemiskinan, tidak kembali mengalami kemiskinan.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Singgih Januratmoko menyatakan dampak pelemahan rupiah telah dirasakan para peternak ayam lokal sejak awal tahun ini. Harga pakan ternak terus merangkak naik, khususnya dalam kurun waktu beberapa pekan terakhir.
Menurut Singgih, harga pakan yang naik tersebut tidak diiringi dengan kenaikan harga ayam dan telur. Akibatnya, Singgih mengatakan para peternak mengalami kerugian yang cukup banyak dalam dua pekan terakhir.
“HPP (Harga Pokok Penjualan) peternak saat dolar [AS] masih di kisaran Rp13.000 itu Rp16.500,00-Rp17.000,00, sedangkan sekarang di kisaran Rp18.500,00-Rp19.000,00. Kenaikannya dari awal tahun ada sekitar 10 persen-lah,” kata Singgih kepada Tirto.
Untuk itu, Singgih berharap agar pemerintah melakukan swasembada jagung sehingga tidak perlu banyak melakukan impor. Singgih menyebutkan harga jagung dapat terkendali apabila 30-60 persennya dihasilkan dari dalam negeri.
“Kalau jagung bisa normal di harga Rp5.000,00, seharusnya harga pakan tidak naik secara signifikan,” kata Singgih.
Upaya Pemerintah
Pemerintah memang tidak tinggal diam terkait masalah ini. Bank Indonesia (BI) bahkan telah melakukan sejumlah upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Di antaranya dengan meningkatkan intervensi pasar valas, memborong Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder, serta membuka lelang swap.
Di sisi lain, Kementerian Keuangan juga sedang mengkaji pajak 900 komoditas guna menekan laju impor. Pemerintah saat ini memang sedang jor-joran untuk mengupayakan agar laju impor tidak lebih besar ketimbang laju ekspor.
Target pemerintah sampai dengan akhir tahun ini adalah menjaga inflasi di angka 3,5 persen. Menkeu Sri Mulyani menilai tingginya laju impor yang terjadi turut mempengaruhi tingkat inflasi Indonesia ke depannya, mengingat proyeksi untuk tahun depan masih berada di level 3,5 persen plus minus 1 persen.
“Kami akan berfokus pada inflasi volatile food dan inflasi yang berasal dari nilai tukar. Apa yang menjadi langkah kami ke depan agar imported inflation tidak memicu terjadinya inflasi,” kata Sri Mulyani, 24 Agustus lalu.
Menanggapi hal itu, Faisal mengatakan bahwa upaya yang dilakukan BI maupun pemerintah untuk menjaga stabilitas nilai tukar memang diperlukan. Pemerintah memang bertugas untuk menjaga fundamental perekonomian. Faisal menilai kebijakan biodiesel maupun rencana pengereman laju impor 900 komoditas sudah tepat.
Akan tetapi, Faisal mengingatkan agar kebijakan tidak diambil hanya sebagai bentuk reaksi sesaat. Menurut Faisal, keberlanjutan dari kebijakan itu juga harus dipertimbangkan sehingga di kemudian hari tidak muncul kejadian seperti saat ini.
“Kalau sekadar jangka pendek, nanti bisa diatasi, namun kita bisa saja kembali mengalaminya. Daya saing dari industri pun harus lebih kuat, sehingga kita tidak lagi mengandalkan impor, dan kinerja ekspornya juga semakin bagus,” kata Faisal.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz