tirto.id - “Dari simulasi yang kami lakukan, nilai tukar rupiah terhadap dolarnya Rp20.000, tetap tidak ada masalah. Tapi, ya kami tidak berharap dolarnya Rp20.000. Ya dengan permodalan yang cukup stress test apapun tidak berpengaruh.”
Demikian pernyataan Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Gedung Bank Indonesia pada Senin (30/4/2018).
Pernyataan orang nomor satu di OJK ini sontak memantik ragam respons di tengah upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas rupiah. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo bahkan, berkomentar bahwa hasil stress test seharusnya tidak dipublikasikan.
Pernyataan Wimboh memang sensitif, karena terkesan terlalu jumawa sebagai otoritas. Sejak saat itu, nilai tukar dolar terhadap rupiah pelan-pelan merangkak, dan akhirnya menembus level Rp14.000 pada 7 Mei 2018. Pada Selasa, 8 Mei 2018, nilai tukar dolar terhadap rupiah tercatat Rp14.036. Angka ini naik 4 persen dari 2 Januari 2018 sebesar Rp13.542.
Gerak gerik dolar terhadap rupiah sepanjang tahun berjalan ini memang sulit dibendung. Faktor eksternal atau global juga punya andil terhadap rupiah tidak berdaya, sehingga harus terdepresiasi ke level tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Rencana Bank Sentral AS menaikkan suku bunga hingga empat kali tahun ini juga jadi sentimen yang kuat. Bila terealisasi maka dana asing akan keluar semakin deras, dan rupiah semakin tertekan.
Faktor internal, neraca transaksi berjalan Indonesia yang masih defisit. Faktor ini jarang sekali disinggung pemerintah. Padahal, efek dari transaksi berjalan yang defisit tersebut berpotensi menggerus rupiah. Berdasarkan data Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan terus meningkat sepanjang 2017. Defisit transaksi berjalan kuartal I-2017 tercatat US$2,4 miliar (0,98 persen dari PDB). Pada kuartal berikutnya, defisit itu naik menjadi US$5 miliar (1,96 persen dari PDB).
Pada kuartal III-2017, defisit sempat menyusut menjadi US$4,6 miliar (1,7 persen dari PDB). Namun, defisit itu kembali melonjak pada kuartal IV-2017 menjadi US$5,8 miliar (2,2 persen dari PDB). Adapun, peningkatan defisit disebabkan turunnya surplus neraca dagang barang, dan meningkatnya defisit neraca jasa.
Dolar yang menyentuh ke level Rp14.000, bukan hal yang baru. Indonesia pernah merasakan kondisi yang sama pada akhir Agustus 2015, dan sempat mencapai angka tertinggi di level Rp14.728, pada akhir September 2015. Dolar yang menembus level Rp14.000 saat itu karena faktor luar negeri, terutama dari kebijakan Cina untuk mendevaluasi mata uang yuan. Kondisi ini juga membuat arus modal asing ke dalam negeri terus berkurang.
Devaluasi yuan merupakan upaya Cina untuk mendongkrak kinerja ekspor yang tengah terpuruk. Dengan yuan melemah, Cina berharap daya saing barang produksi Cina di pasar global dapat meningkat. Selain faktor dari Cina, dolar yang menguat hingga di atas Rp14.000, juga disebabkan rencana Bank Sentral AS untuk menaikkan suku bunga acuan. Sayangnya, rencana itu simpang siur. Imbas dari ketidakpastian itu menimbulkan banyak spekulasi, sehingga rupiah menjadi tertekan.
Tekanan global membuat rupiah saat itu terdepresiasi hingga 13 persen (Januari-27 Agustus 2015). Mata uang negara lainnya juga ikut terdepresiasi. Misalnya, Brazil melemah 33 persen, Turki 24 persen, Malaysia 21 persen, dan Afrika Selatan 13 persen.
Bank Indonesia pun mengeluarkan sejumlah kebijakan, mulai dari mengeluarkan kebijakan fixed interest rate, menurunkan batas pembelian valas dari US$100.000 menjadi US$25.000 per nasabah per bulan, hingga pembelian surat berharga negara (SBN).
Namun, posisi dolar di atas Rp14.000, tidak berlangsung lama. Setelah mencapai level tertinggi di Rp14.728, kurs dolar terhadap rupiah setelah itu perlahan-lahan melemah. Pada akhir 2015, dolar sudah berada di level Rp13.795,.
Bagaimana dampak dolar saat kini menyentuh Rp14.000?
Dolar yang menguat hingga level Rp14.000 tentu saja memberikan dampak yang negatif bagi pelaku usaha, terutama industri yang berorientasi impor. Dengan dolar yang menguat, ongkos atau biaya untuk impor pasti ikut meningkat. Salah satu pelaku usaha yang terkena dampak dari penguatan dolar di antaranya distributor minuman impor. Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Impor (APIDMI) mengaku dolar yang menguat sepanjang tahun berjalan ini cukup menekan anggotanya.
“Dilemanya di situ. Buat importir, kalau penghasilannya rupiah, tetapi belanjanya dolar yah berat. Cuma belum sampai mengurangi volume impor minumannya,” tutur Agoes Silaban, Ketua APIDMI kepada Tirto.
Dampak dolar yang menguat, kenaikan harga atau tarif baru justru sudah mulai disiapkan. Apabila dolar stabil berada di atas Rp14.000, tidak menutup kemungkinan kenaikan harga akan muncul setelah Lebaran. Selain importir, pelaku usaha transportasi udara juga berpotensi terkena efek negatif dari dolar yang menguat, di antaranya adalah PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA), selaku emiten transportasi udara.
Sepanjang kuartal I-2018, Garuda Indonesia mencatatkan rugi bersih sebesar US$64,3 juta, atau menyusut 37 persen dari rugi bersih pada periode yang sama tahun lalu senilai US$101,2 juta. BUMN beralasan rugi bersih tersebut disebabkan biaya operasional yang naik 2,5 persen menjadi US$1,04 miliar. Adapun, biaya operasional yang meningkat juga didorong dari nilai tukar dolar yang menguat, dan harga bahan bakar yang meningkat.
“Untuk itu, kami meningkatkan porsi lindung nilai dari sebelumnya 12-15 persen menjadi 26-28 persen guna mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N. Mansury kepada Tirto.
Kondisi yang sama juga dirasakan oleh AirAsia Indonesia. Maskapai berbujet rendah tersebut membukukan rugi bersih sebesar Rp218 miliar, naik 95 persen dari rugi bersih pada periode yang sama 2017 senilai Rp112 miliar. Sekitar 80 persen dari total biaya operasional maskapai dibayar dengan dolar. Sedangkan, 90 persen dari total pendapatan maskapai berupa rupiah. Alhasil, pengaruh nilai tukar dolar terhadap pendapatan maskapai cukup besar.
Meski ada pelaku usaha yang buntung, tidak sedikit pelaku usaha yang justru mendapatkan keuntungan dari dolar yang menguat, terutama industri yang berorientasi ekspor. Dolar yang menguat membuat margin penjualan ekspor menjadi melebar. Kadin Indonesia menilai dolar yang menguat menjadi momentum bagi dunia usaha untuk mendorong volume ekspor, serta meningkatkan daya saing logistik nasional agar tidak kalah dengan negara-negara tetangga.
“Kami mendorong dunia usaha untuk memanfaatkan pelemahan rupiah terhadap dolar AS ini dengan meningkatkan ekspor berbagai komoditas nonmigas,” kata Benny Soetrisno, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan, dikutip dari Antara.
Dampak Dolar Rp14.000 Bagi APBN
Selain dunia usaha, rupiah yang terdepresiasi juga mempengaruhi APBN 2018. Asumsi nilai tukar rupiah pada APBN 2018 dipatok sebesar Rp13.400, per dolar. Dengan kata lain, saat ini sudah meleset sekitar Rp600, atau 5 persen.
Melesetnya asumsi nilai tukar rupiah tersebut membuat sejumlah pengeluaran APBN kian membesar. Misalnya, pengeluaran beban subsidi, pembayaran utang, bunga utang, dan lain sebagainya.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengaku saat ini tengah menghitung ulang beban subsidi dalam APBN 2018. Dalam perhitungan ulang subsidi tersebut, menkeu berkoordinasi dengan kementerian lainnya, instansi dan BUMN terkait.
“Kami dalam tahap membuat laporan semester pertama APBN. Nanti kami laporkan kepada Presiden, kabinet, dan dewan. Dari situ kami akan lihat pelaksanaan APBN 2018 dengan adanya perubahan-perubahan itu,” katanya dikutip dari Antara.
Meski beban subsidi bakal melebar, tapi tidak serta merta membuat anggaran menjadi defisit. Pasalnya, dolar yang menguat juga meningkatkan penerimaan pajak dan non pajak, terutama dari sektor migas. Bahkan, nilai penerimaannya lebih besar daripada pengeluaran.
Berdasarkan analisis sensitivitas Nota Keuangan APBN 2018 (PDF), pemerintah bakal mendapatkan surplus anggaran sebesar Rp1,7 triliun dari setiap penguatan nilai tukar dolar terhadap rupiah sebesar Rp100.
Perhitungannya, saat asumsi pendapatan negara pada APBN 2018 tercatat Rp1.890 triliun. Apabila dolar menguat setiap Rp100, maka pendapatan negara diproyeksikan naik Rp3,8 triliun-Rp5,1 triliun.
Untuk belanja negara, asumsi pada APBN 2018 tercatat Rp2.220 triliun. Jika dolar menguat setiap Rp100, maka belanja negara diperkirakan naik menjadi Rp2,22 triliun-Rp3,4 triliun. Dengan kata lain, bila selisih kenaikan dari sisi pendapatan dan pengeluaran APBN yang disebabkan karena kurs dolar dihitung selesihnya, maka anggaran APBN tetap masih surplus saat dolar menguat.
Walau positif bagi APBN, harus diingat kenaikan nilai tukar dolar berpotensi berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Tidak menutup kemungkinan, dolar yang menguat membuat harga-harga barang juga ikut meningkat, terutama bahan bakar minyak (BBM) dan minyak mentah yang mayoritas masih impor.
“Dolar yang menguat akan memberikan sentimen negatif bagi ekonomi karena pasti akan ada penyesuaian harga. Harga barang yang naik membuat inflasi terkerek. Kalau daya beli sedang turun, maka ekonomi bisa stagnan, atau bahkan turun” kata Ekonomi dari Maybank Indonesia Juniman kepada Tirto.
Editor: Suhendra