tirto.id - Pasar modal Indonesia serta rupiah nyatanya menjadi "korban" dari kebijakan tarif perdagangan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.
Selasa (8/4/2025) sore lalu, indeks harga saham gabungan (IHSG) drop 7,90 persen menjadi 5.996,14 di penutupan perdagangan hari itu. Di hari yang sama, rupiah spot juga turun 0,41 persen, di level Rp16.891 per dolar AS, memburuk dari posisi sebelumnya sebesar Rp16.822 per dolar AS.
Meski begitu, dibandingkan mata uang dari negara-negara lain di Asia, posisi rupiah masih lebih baik dibanding won Korea Selatan yang hingga pukul 15.00 WIB ditutup melemah 0,49 persen. Sementara di posisi selanjutnya ada baht Thailand yang ditutup turun 0,29 persen, rupee India turun 0,27 persen, ringgit Malaysia melemah 0,26 persen, yuan Cina melemah 0,21 persen, dan dolar Hongkong melemah 0,03 persen. Sebaliknya, yen Jepang tercatat menguat 0,35 persen terhadap dolar AS, peso Filipina menguat 0,28 persen, dolar Taiwan naik 0,21 persen, dan dolar Singapura naik 0,14 persen.
Sama halnya dengan rupiah spot, kurs tengah Bank Indonesia (BI), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) juga ditutup melemah 1,71 persen di level Rp16.849 per dolar AS.
Analis Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi, mengatakan, kebijakan tarif perdagangan tinggi dari Trump masih akan menghantui pasar uang global, tak terkecuali Indonesia dalam beberapa waktu ke depan. Kendati, dampak yang ditimbulkannya terhadap pelemahan mata uang Indonesia masih relatif terbatas karena adanya intervensi Bank Indonesia (BI) melalui ‘triple intervention’ untuk menjaga agar rupiah tak jatuh di bawah level Rp17.000 per dolar AS.
Perlu diketahui bahwa triple intervention yang dimaksud adalah intervensi di pasar valas pada transaksi spot dan DNDF, serta SBN di pasar sekunder.
“Jadi, rupiah ini sebenarnya kalau Bank Indonesia tidak melakukan triple intervensi, kemungkinan sudah jebol Rp17.000 (per dolar AS). Karena begitu kuatnya intervensi ini dari tiga sisi, baik repo, obligasi, terus di (pasar) spot,” kata dia, kepada Tirto, Selasa (8/4/2025).
Tidak hanya itu, dalam merespon kebijakan Trump, pemerintah juga tengah mengkaji tiga kebijakan yang bakal ditawarkan dalam negosiasi dengan Gedung Putih. Tiga kebijakan itu antara lain meningkatkan volume impor produk dari AS, pemberian insentif fiskal dan non-fiskal berupa keringanan bea masuk hingga berbagai pungutan pajak kepada barang-barang dari AS, serta deregulasi non-tariff measures (NTMs) - tindakan selain tarif, yang berdampak pada perdagangan- melalui relaksasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) terhadap sektor teknologi dan komunikasi dari AS.
“Ini yang membuat rupiah sedikit tertahan pelemahannya. Saya lihat sampai saat ini, pelemahan rupiah itu masih kecil, hanya 19 poin, di Rp16.841. Artinya apa? Bahwa benar-benar Bank Indonesia itu sigap dengan kondisi saat ini. Nah, di sisi lain pun juga pemerintah sudah memberikan jawaban tentang negosiasi biaya impor yang sebesar 32 persen,” lanjut Ibrahim.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa posisi rupiah saat ini sudah mendekati level terendah saat puncak krisis moneter 1998 yang menyentuh level Rp16.950 per dolar AS. Bahkan, berdasar data Refinitiv, pada Senin (7/4/2025) pukul 10.43 WIB, rupiah sempat berada di posisi Rp17.261 per dolar AS, jauh lebih rendah dari saat krisis moneter 1998.
Namun, yang harus digarisbawahi, jatuhnya rupiah di bawah level Rp16.000 saat ini berbeda dengan yang pernah terjadi 27 tahun silam. Menurut dosen dari Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Noval Adib, pada tahun 1998, uang sebesar Rp16.000 sudah dapat digunakan untuk membeli 16 mangkok soto ayam. Selain itu, kejatuhannya juga signifikan, dari rupiah sebelumnya hanya Rp2.500 per dolar AS, menjadi Rp16.000 per dolar AS dalam kurun waktu satu tahun.
“Sedangkan sekarang rupiah sudah bertahun-tahun bertengger di angka Rp14.000-Rp15.000 (per dolar AS). Sehingga, penurunan ke Rp16.000 ibaratnya cuma turun ke satu anak tangga saja. Jelas beda dengan tahun 1998 yang ibaratnya jatuh dari loteng tingkat 2,” jelas dia, dalam keterangannya, dikutip Rabu (9/4/2025).
Dengan kondisi ini, Noval melihat bahwa tarif perdagangan tinggi dari Trump memperparah pelemahan rupiah yang sebelumnya telah terjadi karena kondisi ekonomi domestik yang juga sulit.
“PHK (pemutusan hubungan kerja) sudah terjadi dimana-mana sebelum Trump bikin ulah. Dan panjang ceritanya kalau mau dirunut ke belakang,” imbuh dia.
Meski begitu, tekanan terhadap rupiah seharusnya menjadi alarm serius bagi otoritas moneter dan fiskal Indonesia. Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai bahwa ketimbang bersikap reaktif, pemerintah dan Bank Indonesia perlu menyusun strategi komunikasi dan kebijakan yang lebih tegas dan terukur untuk meredam kepanikan pasar.
Sebab, melemahnya rupiah bukan semata cerminan faktor eksternal seperti penguatan dolar AS atau perang dagang global, tetapi juga menunjukkan rendahnya kepercayaan investor terhadap stabilitas jangka pendek ekonomi domestik.
“Jika tidak segera dijawab dengan kebijakan yang kredibel, dan langkah stabilisasi yang konsisten, tekanan terhadap rupiah berpotensi merembet menjadi krisis kepercayaan yang lebih luas,” kata dia, kepada Tirto, Selasa (8/4/2025).
Kondisi pelemahan rupiah pun diwaspadai pengusaha. Apalagi, dalam proyeksi yang dibuat oleh pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun 2025, nilai tukar rupiah ditarget di kisaran Rp16.000 per dolar AS. Sehingga, ketika rupiah mengalami pelemahan menuju Rp17.000 per dolar AS, ada potensi bahwa hal ini akan berdampak terhadap kebijakan moneter dan fiskal.
Pemerintah harus membuat penyesuaian kebijakan-kebijakan fiskal maupun moneter untuk memitigasi fluktuasi yang ada. Dalam hal ini, pemerintah bisa melakukan setidaknya empat langkah untuk mitigasi jangka pendek maupun panjang, di luar kebijakan fiskal dan moneter.
“Pertama, melanjutkan program optimalisasi Devisa Hasil Ekspor (DHE) sambil tetap memberikan insentif terbaik agar dunia usaha tetap berjalan dan tidak kekurangan likuiditas. Kedua, fokus dengan program orientasi ekspor dan substitusi impor,” ujar Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, dalam keterangannya, dikutip Rabu (9/4/2025).
Ketiga, mendorong peningkatan nilai tambah atas komoditas-komoditas unggulan. Terutama di sektor pertanian, perkebunan dan maritim. Selanjutnya, pemerintah dapat mendorong kebijakan revitalisasi sektor padat karya dan deregulasi.
“Hal ini diharapkan bisa menekan high cost economy yang membebani dunia usaha dan bisa meningkatkan daya saing,” sambung Ajib.
Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa meski terdapat pelemahan pada mata uang Garuda, namun kondisi saat ini jauh lebih baik. Apalagi, di bawah rupiah masih ada yen Jepang yang mengalami penurunan lebih dalam.
“Nilai tukar rupiah juga relatif terjaga. Walaupun ada pelemahan, Tetapi kalau kita bandingkan (dengan) negara lain seperti Jepang, pelemahannya itu sampai 50 persen. Demikian pula beberapa negara lain,” kata Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, saat Sarasehan Ekonomi, di Menara Mandiri, Jakarta Pusat, Selasa (8/4/2025).
Sementara itu, menurutnya pelemahan mata uang Garuda ini terjadi tak hanya menjadi fokus pemerintah Indonesia saja, melainkan juga oleh pemerintah AS yang menilai bahwa fluktuasi rupiah tak luput dari upaya manipulasi nilai tukar atau currency manipulator. Hal ini juga lah yang kemudian dilihat AS sebagai hambatan perdagangan (non-tariff barrier) dari Indonesia.
“Bahkan Amerika menggugat pelemahan currency itu sebagai currency manipulator. Jadi itu dimasukkan sebagai bagian daripada non-tariff barrier,” imbuh dia.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung, juga menilai pelemahan rupiah terhadap dolar AS masih dalam level yang belum mengkhawatirkan, meski sempat menembus Rp17.000. Sebab, saat ini fundamental rupiah dan ekonomi domestik secara keseluruhan sudah jauh lebih baik ketimbang periode krisis moneter 1998.
“Nggak (mengkhawatirkan). Sudah bagus,” kata dia, kepada awak media, di sela-sela Sarasehan Ekonomi.
Sedangkan untuk menghadapi guncangan ekonomi global yang ditimbulkan oleh tarif perdagangan tinggi Trump, pemerintah mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai bantalan. Salah satu caranya, adalah melalui keberlanjutan pemberian berbagai program subsidi, khususnya kepada masyarakat berpendapatan rendah (MBR).
“Instrumen APBN merupakan salah satu instrumen di dalam pengelolaan ekonomi dan terutama dari sisi makro yang banyak sekali diandalkan pada saat menghadapi shock ataupun guncangan-guncangan,” kata Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani dalam Sarasehan Ekonomi.
Pada saat yang sama, pemerintah juga akan berusaha mengurangi 14 persen beban tarif impor yang dirasakan pengusaha. Upaya tersebut dilakukan dengan mengurangi 2 persen beban pengusaha yang berasal dari reformasi administrasi perpajakan dan bea cukai, memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) impor dari 2,5 persen menjadi 0,5 persen, menyesuaikan tarif bea masuk produk impor yang semula di kisaran 5-10 persen menjadi 0-5 persen, dan menurunkan tarif bea keluar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
“Kami akan terus melakukan reform, terutama di bidang pajak, bea cukai, dan prosedur supaya ini betul-betul mengurangi beban. Sesuai dengan penekanan Bapak Presiden (Prabowo Subianto) ini adalah waktu yang tepat untuk deregulasi dan reform yang lebih ambisius," pungkas Menkeu.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty