tirto.id - Pekan pertama perdagangan April 2025, bursa saham global diwarnai penurunan tajam terbesar sejak pandemi COVID-19. Penurunan ini dipicu oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang menetapkan tarif impor tinggi untuk barang-barang yang masuk ke negaranya.
Trump diketahui memberlakukan tarif dasar sebesar 10 persen untuk semua impor dan tarif lebih tinggi untuk mitra dagang utama seperti Cina (34 persen), Uni Eropa (20 persen), dan Indonesia (32 persen). Kebijakan Trump tersebut membuat pasar modal di kawasan Global mengalami kemerosotan pada pembukaan perdagangan Senin (7/4/2025) kemarin.
Dikutip dari CNN, Dax Jerman dibuka turun 9 persen, sementara FTSE London turun sekitar 5 persen. Pasar Eropa, secara keseluruhan juga bernasib sama daripada pasar Asia pada perdagangan awal. Indeks acuan NIKKEI 225 Jepang ditutup turun 7,9 persen, sementara Indeks TOPIX yang lebih luas ditutup turun 7,7 persen. Ini membuat raksasa teknologi Sony anjlok lebih dari 10 persen.
Sedangkan di Hong Kong, indeks acuan Hang Seng ditutup turun lebih dari 13 persen dalam hari perdagangan tunggal terburuk sejak 1997, menurut daftar indeks kerugian harian historis terbesar. Di Cina daratan, Indeks Komposit Shanghai ditutup turun 7,3 persen. Indeks saham unggulan CSI300 juga turun sekitar 7 persen.
“Volatilitas pasar global yang sedang berlangsung dan diperkirakan akan berlanjut pekan ini dipicu oleh pengumuman Liberation Day oleh Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025 kemarin” ujar Head of Research & Chief Economist PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, dalam analisisnya kepada Tirto, Selasa (8/4/2025).
Pengumuman ini telah memicu aksi balasan luas dari negara-negara yang terkena dampaknya. Cina merespons dengan memberlakukan tarif timbal balik sebesar 34 persen untuk semua impor dari AS, yang akan berlaku mulai 10 April. Ketidakpastian berkepanjangan terkait perkembangan ini dinilai dapat menyebabkan periode proteksionisme yang lebih lama di seluruh dunia.
Pada akhirnya, lanjut Rully, ini semakin mengguncang pasar negara berkembang seperti Indonesia yang sangat bergantung pada perdagangan internasional dan investasi asing. “Dampaknya diperkirakan akan terasa signifikan di pasar ekuitas Indonesia saat perdagangan dilanjutkan setelah libur lebaran yang panjang,” imbuh dia.
IHSG Tersungkur
Dari dalam negeri, pasar ikut merespons negatif kebijakan Trump ditandai dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang dibuka melemah pada perdagangan Selasa (8/4/2025). IHSG dibuka di level 5.912,06 pada pukul 09.01, indeks saham langsung anjlok 9,19 persen atau 598,56 poin. Tercatat hanya sembilan saham mengalami kenaikan, 65 saham tak berubah dan 552 saham terperosok ke zona merah.
Hingga penutupan perdagangan sesi I, IHSG masih bergerak di zona merah dengan level tertinggi indeks mencapai 6.030 dan terendah di level 5.882. Sebanyak 672 saham melemah, 93 saham tak berubah, dan hanya 23 saham yang menguat atau berada di zona hijau.
Anjloknya IHSG tersebut membuat Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan tindakan pembekuan sementara perdagangan (trading halt) sistem perdagangan di BEI pada pukul 09:00 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS). Tindakan ini dilakukan karena terdapat penurunan yang mencapai 8 persen.
Pembekuan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Direksi Bursa Nomor Kep-00196/BEI/12-2024 perihal Perubahan Peraturan II-A tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas dan Surat Keputusan Direksi Bursa Nomor Kep-00024/BEI/03-2020 tentang Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia Dalam Kondisi Darurat.
Dalam hal terjadi penurunan penurunan yang sangat tajam atas IHSG dalam 1 Hari Bursa yang sama, Bursa akan melakukan Trading halt selama 30 menit apabila IHSG mengalami penurunan hingga lebih dari 8 persen. Trading halt juga dilakukan selama 30 menit apabila IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 15 persen.
BEI juga akan melakukan trading suspend apabila IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 20 persen apabila sampai akhir sesi perdagangan; atau lebih dari 1 sesi perdagangan setelah mendapat persetujuan atau perintah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selain melakukan penyesuaian mekanisme trading halt atau penghentian sementara perdagangan, BEI juga melakukan penyesuaian batasan Auto Rejection Bawah (ARB) yang menjadi menjadi 15 persen bagi Efek berupa saham pada Papan Utama, Papan Pengembangan, dan Papan Ekonomi Baru, kemudian Exchange-Traded Fund (ETF), serta Dana Investasi Real Estat (DIRE) untuk seluruh rentang harga.
Direktur Utama BEI, Iman Rachman, menjelaskan alasan diubahnya batasan ini bertujuan untuk menjaga likuiditas pasar dan memastikan perdagangan di bursa efek dapat berjalan secara teratur, wajar, dan efisien. Penyesuaian ini juga dilakukan berdasar pada praktik-praktik yang sudah dilakukan pada bursa global. Dia menyebut BEI telah membandingkan dengan sejumlah bursa regional seperti Korea Selatan dan Thailand.
“Penyesuaian ini tentu saja dilakukan berdasarkan praktik-praktik yang sudah dilakukan oleh bursa global. Jadi trading halt, ARB ini juga kita benchmarking dengan bursa-bursa global,” ujar Iman dalam Konferensi Pers di Main Hall BEI, Jakarta, pada Selasa (8/3/2025).
Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, melihat kebijakan BEI yang memperlebar kondisi trading halt sedikit banyak untuk memberikan jarak relaksasi terhadap mekanisme pasar yang sudah diantisipasi akan anjlok lebih dari 5 persen.
Tapi menjadi catatan, kata dia, satu sisi trading hal itu bisa berfungsi untuk menahan pasar di saat kondisi yang sangat volatil. Namun, di sisi lain juga berdampak pada psikologi pelaku yang paranoid karena pelaku pasar tidak dapat menjual asetnya yang benar-benar ingin mereka jual.
“Ini yang sebenarnya justru menjadi pisau bermata dua bagi adanya trading halt sehingga justru bisa mengamplifikasi sentimen jual, serta mengamplifikasi kepanikan akibat drastisnya penurunan, yang merupakan akumulasi sentimen selama pasar ditutup kemarin,” jelas Andri kepada Tirto, Selasa (8/4/2025).
Analis Pasar Modal Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi, menambahkan upaya regulator memberikan perubahan batasan ARB untuk seluruh fraksi harga menjadi hanya -15 persen dan tier trading halt melebar menjadi -8 persen untuk IHSG memang bukan tanpa alasan. Kebijakan ini diambil untuk meredam derasnya aksi jual oleh pasar, karena jika ARB tetap simetris maka kekhawatiran anjlok lebih dalam sangat terbuka.
“Tetapi kami melihat ini akan lebih bersifat jangka pendek untuk meredam aktivitas pasar, karena pada dasarnya kekhawatiran ini ditimbulkan faktor ekonomi makro dan kebijakan tarif Trump,” jelas dia kepada Tirto, Selasa (8/4/2025).
Langkah Strategis Redakan Tekanan Pasar
Di tengah gejolak yang melanda pasar keuangan global dan domestik, menurut Oktavianus, dibutuhkan langkah strategis dari pemerintah Indonesia untuk meredakan tekanan di pasar. Paling tidak ada tiga prioritas utama yang harus diperhatikan oleh pemerintah agar situasi pasar dapat kembali stabil.
Langkah pertama yang harus diambil adalah, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Mengingat fluktuasi yang tajam pada mata uang global, penguatan rupiah terhadap dolar AS dianggap penting agar tidak menambah beban inflasi dan menjaga daya beli masyarakat.
Selain itu, pemerintah juga diminta untuk meyakinkan pasar bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap bisa terjaga di atas 5 persen. Hal ini penting untuk menghindari kekhawatiran investor terkait prospek ekonomi jangka panjang Indonesia.
Kemudian yang tak kalah penting, menurutnya, adalah langkah strategis pemerintah untuk menjaga surplus perdagangan Indonesia. Dalam kondisi saat ini, surplus perdagangan dapat memberikan ruang bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri dan meningkatkan cadangan devisa negara.
Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan pemerintah dapat meredakan ketidakpastian yang saat ini sedang melanda pasar dan ekonomi Indonesia.
Di sisi lainnya, Presiden Prabowo Subianto justru merespons santai pelemahan IHSG. Dia menegaskan bahwa fundamental pasar modal Indonesia saat ini masih kuat dan baik. Ia pun memahami pasar modal selalu dipengaruhi oleh mekanisme pasar dan siklus yang membuatnya mengalami kenaikan serta penurunan.
“Kalau saya lihat, fundamental kita kuat. Apa yang terjadi di pasar saham, kita punya kekuatan dan kita akan investasi. Saya tidak terlalu takut dengan pasar modal karena Indonesia punya kekuatan,” jelas Prabowo dalam pernyataannya, dikutip Selasa (8/4/2025).
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang