tirto.id - Lembaga rating Standard and Poor’s (S&P) memperingatkan pemerintah untuk menjaga nilai tukar rupiah agar tidak menembus Rp15.000 per dolar AS. Peringatan ini memang perlu jadi catatan pemerintah maupun Bank Indonesia (BI) soal potensi penguatan dolar terhadap rupiah ke depan.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menguat pada Januari, tapi mulai berbalik melemah pada Februari 2018 dan terus berlanjut. Sejak awal Februari hingga 14 Maret 2018, rupiah sudah melemah dua persen menjadi Rp13.739 per dolar AS.
Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia memang pernah mengalami masa-masa, di mana rupiah mengalami depresiasi yang sangat dalam. Contohnya, pergerakan rupiah saat krisis ekonomi global pada 2008.
Kala itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di awal tahun tercatat Rp9.370 per dolar AS. Sepanjang semester I-2008, rupiah bergerak cukup stabil. Namun, semua berubah ketika memasuki Oktober 2008, rupiah melemah dengan sangat cepat. Pada awal Oktober 2008, rupiah tercatat menjadi Rp9.555 per dolar AS. Setelah itu, rupiah terus melemah hingga mencapai titik tertinggi sepanjang 2008, yakni Rp12.400 per dolar AS pada 26 November 2008.
Anjloknya rupiah pada kuartal IV-2008, dipicu jatuhnya berbagai lembaga keuangan besar di AS dan proses deleveraging di pasar keuangan global. Kondisi itu membuat risiko meningkat, dan memicu pelepasan investasi asing di pasar keuangan domestik.
Pada saat bersamaan, neraca transaksi berjalan Indonesia juga mulai tertekan akibat jatuhnya harga komoditas dan merosotnya kegiatan ekonomi mitra dagang. Transaksi berjalan pada kuartal IV-2008 tercatat defisit sebesar $0,7 miliar.
Setelah 2008, tekanan terhadap nilai tukar rupiah pada tahun-tahun berikutnya mulai mereda. Rupiah bahkan sempat menguat menjadi Rp8.888 per dolar AS pada 11 November 2010. Namun, rupiah kembali bergejolak pada 2013.
Tren nilai tukar rupiah yang melemah mulai terjadi sejak awal 2013. Pada kuartal I-2013, rupiah ditutup pada level Rp9.718 per dolar AS, melemah 0,82 persen dari level penutupan akhir kuartal IV-2012 sebesar Rp9.670 per dolar AS.
Pelemahan rupiah pada kuartal I-2013 dinilai masih terkendali mengingat tekanan negatif dari faktor eksternal tidak terlalu kuat. Namun, defisit transaksi berjalan kuartal I-2013 mencapai 2,7 persen dari PDB, rupiah masih tertolong dari dana asing yang masuk ke pasar keuangan.
Memasuki kuartal II-2013, tekanan terhadap rupiah mulai besar. Tekanan datang dari rencana pengurangan stimulus moneter oleh Bank Sentral AS atau The Fed, dan angka inflasi yang meningkat akibat kenaikan harga BBM bersubsidi.
Akibat isu pengurangan moneter dari The Fed dan angka inflasi yang meningkat, aliran dana asing yang keluar di pasar keuangan semakin besar. Sepanjang kuartal II-2013, dana asing tercatat mengalami defisit $2,6 miliar.
Tekanan terhadap rupiah semakin bertambah menyusul melebarnya defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2013 menjadi 4,4 persen dari PDB. Kondisi ini membuat permintaan terhadap valuta asing semakin meningkat.
Nilai tukar rupiah pada akhir kuartal II-2013 tercatat Rp9.925 per dolar AS, melemah 2,1 persen dari akhir Maret 2013. Pelemahan rupiah pada kuartal II-2013 ini lebih besar dari kuartal I-2013 sebesar 0,8 persen.
Serangan bertubi-tubi sejak awal tahun membuat nilai tukar rupiah kian mengkhawatirkan. Pada akhir kuartal III-2014, rupiah sudah tergerus 14,3 persen menjadi Rp11.580 per dolar AS, dari akhir Juni 2013.
BI kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengembalikan stabilitas nilai tukar rupiah. Kebijakan nilai tukar diarahkan agar rupiah bergerak sesuai dengan nilai fundamentalnya agar dapat menurunkan defisit transaksi berjalan.
Strategi yang diambil Bank Indonesia di antaranya dengan melakukan dual intervention, atau melakukan intervensi di pasar valas dan pasar surat berharga negara (SBN) yang dilakukan secara bersamaan.
Bank Indonesia juga memperkuat pengelolaan arus modal, dan mengelola permintaan valas BUMN, bersama pemerintah. Selain itu, bank sentral juga menerbitkan peraturan mengenai transaksi lindung nilai.
Kebijakan yang dilakukan BI membuahkan hasil, tekanan rupiah pada kuartal IV-2013 mulai mereda. Rupiah pada kuartal IV-2013 tercatat Rp12.189 per dolar AS, turun 4,9 persen dari akhir September 2013, atau melemah 27 persen dari akhir 2012.
Defisit transaksi berjalan pada saat bersamaan juga menurun tajam menjadi 2,0 persen dari PDB dari kuartal II-2013 sebesar 4,4 persen. Kondisi ini membuat permintaan valas menurun, dan dana asing yang masuk ke pasar keuangan juga meningkat.
Pada tahun berikutnya, nilai tukar rupiah bergerak stabil, meski cenderung melemah. Rupiah pada akhir 2014 ditutup di level Rp12.440 per dolar AS, melemah 2 persen dari nilai tukar rupiah akhir 2013 senilai Rp12.189 per dolar AS.
Dari dua kejadian di atas bisa disimpulkan indikator-indikator yang membuat rupiah tertekan berasal dari faktor eksternal dan internal. Untuk eksternal di antaranya adalah kebijakan The Fed, dan faktor internal seperti laporan transaksi
berjalan dan inflasi.
Rupiah di 2018
Apakah perlu khawatir dengan perkembangan rupiah di 2018?
Seperti kejadian-kejadian sebelumnya, tekanan terhadap rupiah akhir-akhir ini juga berasal dari eksternal dan internal. Dari faktor eksternal antara lain kebijakan The Fed yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga hingga 4 kali pada 2018.
Faktor internal, di antaranya meningkatnya defisit transaksi berjalan, dan neraca dagang yang defisit dalam tiga bulan terakhir berturut-turut. Akibat sentimen itu, nilai tukar rupiah bergerak fluktuatif dengan kecenderungan melemah.
Berdasarkan data BI, defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2017 mencapai $5,8 miliar atau 2,2 persen dari PDB. Angka itu lebih tinggi dari kuartal III-2017 sebesar $4,6 miliar atau 1,7 persen dari PDB.
Sementara itu, ekspor impor pada Desember 2017 defisit $0,27 miliar (ekspor US$14,79 miliar dan impor $15,06 miliar). Pada Januari 2018, defisit ekspor impor $0,67 miliar, dan Februari 2018 defisit $0,11 miliar.
Kendati tengah tertekan sentimen negatif dari faktor eksternal dan internal, nilai tukar rupiah diyakini masih akan bergerak stabil, dan tidak akan menuju level yang dikhawatirkan Rp15.000 per dolar AS.
“Meski nilai tukar rupiah kita ini di bawah fundamentalnya Rp12.500 per dolar AS, toh kecil kemungkinan bisa menembus Rp15.000 per dolar AS,” kata Juniman, ekonom dari Maybank Indonesia kepada Tirto.
Menurut Juniman, kondisi saat ini tidak separah ketika pada 2008 atau 2013. Kebijakan The Fed untuk menaikkan suku bunga hingga 4 kali pada 2018 memang berpotensi mendepresiasi rupiah. Namun, ia meyakini kenaikan suku bunga oleh The Fed tidak akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Apalagi, ekonomi global juga belum terlalu membaik. Selain itu, laju pertumbuhan ekonomi AS juga masih moderat, dan inflasi masih rendah.
The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga acuannya hanya tiga kali pada 2018, sesuai dengan skenario awal. Alhasil, tekanan terhadap rupiah juga berkurang, ketimbang rencana The Fed sebelumnya menaikkan suku bunga hingga empat kali.
Dari faktor internal, Juniman meyakini defisit transaksi berjalan bisa dijaga sesuai dengan sasaran pemerintah yakni 2-2,5 persen dari PDB. Pergerakan inflasi juga diperkirakan sekitar 2,5-4,5 persen.
Sementara itu, BI mengaku belum melihat ada potensi depresiasi rupiah ke level Rp15.000 per dolar AS. Fundamental ekonomi Indonesia dinilai masih terjaga, baik dari sisi inflasi, neraca transaksi berjalan, dan pertumbuhan ekonomi.
Saat ini, nilai tukar rupiah juga relatif masih stabil. Angka volatilitas rupiah tercatat 8 persen, atau lebih rendah dari negara tetangga, misalnya Malaysia 9,3 persen, Filipina 8,2 persen dan Thailand sebesar 9 persen.
“Yang perlu kita jaga betul-betul adalah volatilitas rupiah, sehingga pengusaha punya waktu untuk melakukan adjustment [penyesuaian],” kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Doddy Zulverdi kepada Tirto.
Meski begitu, BI juga tetap mencermati perkembangan ekonomi AS. Ekspektasi pasar yang masih dinamis tentunya akan mempengaruhi pergerakan arus modal asing dan nilai tukar rupiah.
BI juga siap melakukan intervensi terhadap pasar keuangan apabila nilai tukar rupiah bergerak ke luar dari nilai fundamentalnya. Per Februari 2018, nilai cadangan devisa Indonesia sebesar US$128,06 miliar.
Dari cadangan devisa itu, Bank Indonesia dapat membiayai 8,1 bulan impor dan membayar utang luar negeri pemerintah. Selain itu, nilai cadangan devisa itu juga berada di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor. Jika melihat kondisi yang ada, besar kemungkinan rupiah tidak akan menembus Rp15.000 per dolar AS. Apalagi, dana cadangan devisa yang ada saat ini juga besar, Bank Indonesia masih leluasa untuk melakukan intervensi.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra