Menuju konten utama

Di Balik Kompaknya Indonesia, Malaysia & Thailand Tak Pakai Dolar

Apa makna akurnya ketiga bank sentral di ASEAN dalam penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan investasi?

Di Balik Kompaknya Indonesia, Malaysia & Thailand Tak Pakai Dolar
Agus Martowardojo bersama Gubernur Bank Negara Malaysia Muhammad bin Ibrahim dan Gubernur Bank of Thailand Veerathai Santiprabhob memberikan pemaparan saat peluncuran Local Currency Settlement Framework, di Gedung Thamrin, Senin (11/12/2017). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Sehari setelah ingar bingar letusan kembang api tahun baru, akan menjadi babak baru bagi Rupiah, Baht, dan Ringgit. Ketiga mata uang tiga negara ASEAN ini akan efektif digunakan lebih luas dalam transaksi perdagangan dan investasi antar ketiga negara.

Terobosan ini bukan ujug-ujug begitu saja, ketiga gubernur bank sentral, antara lain Bank Indonesia (BI), Bank Negara Malaysia (BNM), dan Bank of Thailand (BOT) meluncurkan local currency settlement (LCS) framework terhadap rupiah-ringgit, rupiah-baht, dan perluasan baht-ringgit 11 Desember lalu di Jakarta.

Kesepakatan ketiga bank sentral ini mulai efektif pada 2 Januari 2018, yang digagas sejak setahun lalu. Sebelum dengan Indonesia, Malaysia dan Thailand lebih dulu memulainya, kerja sama ini sebagai perluasan LCS bagi keduanya.

Apa yang bisa dimaknai dari kesepakatan strategis ini?

Mata uang dolar AS sudah lama menjadi mata uang dunia dalam transaksi perdagangan hingga investasi. Bagi Indonesia, masalah ini menjadi kekhawatiran tersendiri sebagai negara yang pernah terpukul dengan kurs dolar AS. Thailand, dan Malaysia pun punya pengalaman yang sama.

“Ketergantungan yang tinggi terhadap dolar AS telah menyebabkan distorsi-distorsi global yang kini mengancam kemajuan ekonomi global,” katanya saat menghadiri KTT G-20 pada 2015 di Antalya, Turki dikutip dari Antara.

Kekhawatiran Jokowi memang bukan tanpa alasan, pertumbuhan ekonomi AS di bahwa kepemimpinan Donald Trump berpotensi terus menguat. Tren suku bunga AS juga diperkirakan ikut-ikutan meningkat. Dampaknya, seluruh mata uang negara di dunia berpeluang tertekan terhadap dolar AS sebagai efek kembalinya aliran modal ke AS.

Baca juga: Gerak Dolar Melawan Rupiah

Nah, LCS ini salah satu dari strategi tiga negara untuk menjaga stabilitas mata uang masing-masing, selain meningkatkan transaksi perdagangan dan investasi dengan mata uang lokal ketiga negara. Caranya memakai uang lokal masing-masing saat bertransaksi lintas negara.

Dalam penjelasan BI, contoh penerapan teknis LCS terhadap transaksi perdagangan Indonesia dan Malaysia dapat dilakukan dalam mata uang rupiah, namun setelmen (penyelesaian) transaksi rupiah tersebut tetap dilakukan di Indonesia. Namun, sebaliknya bila transaksi perdagangan Indonesia dan Malaysia dilakukan dalam mata uang ringgit, maka setelmen transaksi tersebut dilakukan di Malaysia.

“Dengan LCS yang aktif juga, pada gilirannya dapat menjaga stabilitas mata uang rupiah,” kata Dody Budi Waluyo, Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia kepada Tirto.

Ketergantungan terhadap dolar, untuk transaksi perdagangan dan investasi maupun lainnya memang berisiko bagi moneter. Sampai-sampai Indonesia menyiapkan skenario jaga-jaga dengan Bilateral Swap Arrangement (BSA) demi punya pengaman cadangan devisa dolar.

Indonesia pernah bekerja sama dengan Jepang skema BSA senilai 22 miliar dolar AS sejak 2003 hingga 2016. BSA merupakan kerja sama pertukaran mata uang (swap) rupiah dengan dolar AS antara Jepang dengan Indonesia. Tujuannya untuk mengatasi bila ada kesulitan likuiditas akibat permasalahan neraca pembayaran dan likuiditas jangka pendek.

infografik pergerakan rupiah baht ringgit

Upaya Melawan Dominasi Dolar AS

Sadar pentingnya melepas ketergantungan terhadap dolar AS, membuat otoritas moneter memutar otak. Upaya melawan dominasi dolar AS dalam transaksi global pun dijajaki Indonesia.

Sejak 2009, Indonesia menjalin kerja sama bilateral dengan Cina terkait swap mata uang atau Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) hingga 2016. BCSA sebagai kerja sama swap mata uang lokal Indonesia dan Cina untuk mendukung perdagangan dan investasi antara kedua negara.

Kerja sama rupiah/yuan (renmimbi) swap line ini setara dengan Rp175 triliun atau 100 miliar yuan. Kemudian kerja sama BCSA ini diperpanjang 2016-2019 dengan nilai BCSA disepakati sebesar 130 miliar yuan.

Bedanya dengan LCS maupun CSA, perjanjian BCSA lebih diperuntukkan untuk mengurangi porsi dolar, dan meningkatkan porsi yuan pada cadangan devisa Indonesia. Sehingga likuiditas yuan juga ikut bertambah. Dengan likuiditas yuan yang bertambah, harapannya para pelaku usaha bisa melakukan transaksi dengan Cina dapat memilih yuan sebagai alat pembayaran daripada pakai dolar AS.

“Likuiditas ini penting. Pelaku usaha pilih dolar karena likuiditasnya tinggi. Saat ini, sudah mencapai 90 persen dari total transaksi valas global,” kata Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira kepada Tirto.

Namun, sehebat apapun skema yang disiapkan untuk keluar dari dominasi dolar AS, ujung-ujungnya akan sangat tergantung dengan pelaksanaannya. Pada 2014, fasilitas BCSA dengan Cina dianggap belum efektif dan menjadi catatan BI.

“Info dari Bank Indonesia ke saya, waktu itu dengan bagian statistik, penggunaan yuan dan rupiah dari total perdagangan Indonesia-China itu baru 3 persen,” tutur Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih kepada Tirto.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total nilai perdagangan antar kedua negara pada 2012 tercatat US$51,04 miliar. Pada Oktober 2017, total nilai perdagangan menembus US$46,55 miliar.

Baca juga: BI Sebut Rupiah Melemah Sebab Reaksi Pasar pada Kebijakan AS

Belum maksimalnya skema BCSA, bukan berarti hanya masalah pemerintah maupun bank sentral. Kalangan pelaku usaha, terutama eksportir dan importir dari masing-masing negara memang menyukai dolar sebagai alat pembayaran transaksi perdagangan.

Kondisi tersebut juga diakui oleh para pengusaha di bawah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan preferensi eksportir dan importir memang masih memilih dolar untuk transaksi internasional.

“Memang kenyataannya seperti itu [penggunaan yuan dan rupiah dalam perdagangan Indonesia-China masih rendah]. Minat pelaku usaha baik dari Indonesia maupun Cina untuk memakai dolar masih tinggi,” katanya kepada Tirto.

Lantas bagaimana dengan nasib LCS antara Indonesia, Malaysia dan Thailand? Perjanjian LCS yang lebih konkret, harusnya dapat lebih mendorong pelaku usaha untuk menggunakan mata uang lokal lebih nyata dalam transaksi perdagangan bilateral ketiga negara. Pelaksanaannya yang melibatkan banyak bank ketiga negara bisa jadi harapan.

Total nilai transaksi perdagangan antara Indonesia dengan Malaysia dan Thailand juga besar, yakni sekitar US$27 miliar per Oktober 2017. Bisa dibayangkan betapa besar potensi kebutuhan dolar AS yang bisa dikurangi apabila fasilitas LCS berjalan efektif.

Hal lain yang membuat LCS bisa berpeluang efektif, karena ketiga negara pernah memiliki pengalaman yang buruk terhadap kurs dolar AS. Saat krisis ekonomi 1998, rupiah terpuruk ke Rp16.650 per dolar AS. Begitu juga dengan baht, terpuruk menjadi 56 baht per dolar AS.

Ringgit Malaysia, juga pernah terpuruk terhadap dolar AS pada 2015. Pada tahun itu, nilai tukar Malaysia mencapai 4 ringgit per dolar AS. Selain karena krisis ekonomi, terpuruknya ringgit juga didorong skandal dugaan korupsi Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Najib Razak.

Baca juga: Apakah Mengoleksi Dolar Masih Layak Disebut Investasi?

Melihat kesamaan pengalaman tersebut, seharusnya kerja sama antara Indonesia, Malaysia dan Thailand dalam penggunaan LCS bisa lebih baik. Namun, dunia usaha menilai capaian dari kerja sama yang dilakukan Indonesia, Malaysia dan Thailand bukan jalan yang akan mulus.

“Sepertinya akan sama kejadiannya seperti dengan Cina. Selama ini, eksportir dan importir memang sudah terbiasa dengan dolar, jadi susah bergeser. Ini memang harus dibangun dulu kesadarannya,” kata Hariyadi.

Mengurangi ketergantungan dolar harus diakui memang menjadi tantangan dan pekerjaan rumah yang tak mudah. Persoalannya apakah implementasinya di lapangan efektif? Kesepakatan ketiga bank sentra tiga negara itu masih sangat tergantung dari dorongan pemerintah dan tentunya dunia usaha.

Baca juga artikel terkait DOLAR AS atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra