Menuju konten utama

Rupiah Masih dalam Bayang-Bayang The Fed pada September

Berbagai langkah dan kebijakan dibuat pemerintah untuk mengantisipasi gejolak ekonomi global, termasuk ancaman dari kebijakan The Fed di bulan depan.

Rupiah Masih dalam Bayang-Bayang The Fed pada September
Bank sentral Amerika Serikat, The Fed. Reuters/Kevin Lamarque

tirto.id - Awal bulan depan bisa jadi momen yang ditunggu bagi pemerintah banyak negara, para pelaku usaha, dan pasar di seluruh dunia. Rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) yaitu The Federal Reserve (The Fed) menaikkan tingkat suku bunga acuan Fed Funds Rate (FFR) sudah jadi perhatian. Potensi The Fed yang kembali naik akan menjadi masalah baru bagi banyak negara.

“Jika pertumbuhan kenaikan upah dan ketersediaan lapangan kerja terus berlanjut, maka kenaikan Fed Funds Rate (FFR) secara bertahap secara bertahap untuk mencapai target inflasi kemungkinan akan sesuai,” ungkap Kepala Federal Reserve Jerome Powell dalam sebuah simposium yang digelar di Jackson Hole, Wyoming, AS, 24 Agustus lalu dikutip dari Reuters.

Pernyataan Powell menyiratkan kepastian soal rencana kenaikan FFR sebanyak dua kali lagi tahun ini yaitu pada September dan Desember. Sebelumnya, bank sentral AS telah dua kali menaikkan suku bunga acuan masing-masing pada Maret dan Juni. Tujuan The Fed menaikkan FFR adalah sebagai langkah sehat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi AS dan inflasi mendekati target dua persen.

Dalam kesempatan itu, Powell juga menyebutkan kenaikan suku bunga bertahap adalah cara terbaik untuk melindungi pemulihan ekonomi AS dan menjaga pertumbuhan pekerjaan sekuat mungkin dan inflasi terkendali. Rencana kenaikan FFR sudah diprediksi oleh para pelaku pasar, yang bahkan telah membaca arah kenaikan suku bunga acuan terus berlanjut hingga dua tahun mendatang.

“Kenaikan FFR adalah konfirmasi lanjutan bahwa The Fed tegas dalam melakukan kebijakan pengetatan moneter,” kata Jeff Greenberg, Ekonom Pasar Modal J.P. Morgan Private Bank kepada Reuters.

Meski demikian, langkah pengetatan kebijakan moneter ini dianggap riskan oleh beberapa pihak karena AS juga tersangkut masalah perang dagang. Seperti yang disampaikan oleh Joe Manimbo, Senior Market Analis di Western Union Business Solution, AS.

“Pernyataan The Fed adalah campuran antara optimisme dan kehati-hatian. Di satu sisi kenaikan bunga akan segera terjadi, tapi di sisi lain ditandai dengan tingkat kekhawatiran tinggi terhadap eskalasi perang dagang yang berpotensi merusak pertumbuhan ekonomi,” ucap Joe Manimbo masih melansirReuters.

Jeff Kravetz, Regional Investment Strategist di US Bank Private Wealth Management berpendapat masih terbuka peluang The Fed untuk urung menaikkan FFR pada akhir tahun ini. Imbas perang dagang merupakan salah satu faktor ekonomi yang tidak bisa diprediksi saat ini. “Perang dagang bisa memengaruhi keputusan The Fed dalam menaikkan suku bunga pada Desember nanti,” ucap Jeff dalam jajak pendapat yang dilakukan Reuters.

Kenaikan bunga The Fed membuat nilai tukar dolar AS terus menguat di banyak negara termasuk Indonesia. Sehingga, harga barang ekspor produk AS ke negara lain menjadi tidak kompetitif. Padahal, AS tengah berjibaku untuk mengurangi defisit perdagangan dengan berbagai negara di dunia, seperti dengan Cina, Uni Eropa dan Kanada, dengan menjatuhkan berbagai sanksi berupa bea masuk impor.

Terbaru, Presiden AS Donald Trump juga mengenakan tarif bea masuk impor yang besar kepada barang asal Turki, meski lebih terkait dengan langkah politik dibanding proteksionisme dagang. Perang dagang yang diumumkan Donald Trump terhadap Turki, memicu pelemahan nilai tukar lira Turki yang jatuh nyaris 40 persen sejak awal tahun hingga 24 Agustus.

Gejolak yang terjadi di Turki turut menyeret negara-negara berkembang dan sektor perbankan. Sebab, investor telah ramai-ramai menarik dana dari negara-negara berkembang karena khawatir negara tersebut akan memiliki nasib yang sama seperti Turki. Akibatnya, nilai tukar mata uang negara berkembang ikut anjlok menyusul merosotnya nilai tukar lira.

“Krisis di Turki meningkatkan kekhawatiran terhadap negara-negara berkembang yang lebih rentan dan memiliki defisit transaksi berjalan lebar seperti Turki. Contohnya Brasil, Afrika Selatan dan Argentina,” tulis Wells Fargo Investment Institute dalam laporannya.

Wells Fargo juga menulis, jika diakumulasi, cadangan devisa yang telah dikuras oleh para negara berkembang mencapai $6 triliun untuk menjaga kemerosotan nilai tukar mata uang. Dalam jangka waktu yang sama, pasar utang luar negeri di negara-negara berkembang juga menurun dari 38,3 persen menjadi 29 persen.

Krisis mata uang Turki juga menimbulkan ancaman bagi bank-bank Eropa yang memiliki eksposur bisnis di negara tersebut. Jatuhnya nilai tukar lira akan menekan kinerja serta saham perbankan AS, Uni Eropa dan juga Jepang, yang memiliki unit bisnis di Turki. Mengutip Reuters, di antara bank-bank Eropa yang berbisnis di Turki, ada lima bank yang paling rentan terpapar jatuhnya mata uang Turki.

Kelima bank tersebut yaitu BBVA dari Spanyol, UniCredit dari Italia, BNP Paribas dari Perancis, ING asal Belanda serta HSBC dari Inggris. Bahkan BBVA dan UniCredit yang memiliki unit bisnis di Turki, tak terhindarkan mengalami kemerosotan nilai saham. Investor juga khawatir, lemahnya perbankan Turki akan berdampak pada bank-bank asing yang memiliki aset di negara tersebut.

“Penguatan dolar AS hanya akan menambah masalah yang dihadapi Turki dan negara-negara berkembang lainnya,” jelas David Dietze, Presiden Point View Wealth Management seperti dilansir dari CNBC.

Infografik Agenda ekonomi

Rupiah menjadi salah satu mata uang yang ikut terseret pelemahan lira. Pada akhir pekan (24/8), nilai tukar rupiah melemah hingga menembus Rp14.584 per dolar AS. Sejak awal tahun hingga 24 Agustus, rupiah telah melemah sebanyak 6,97 persen terhadap dolar AS. Terendah, rupiah menyentuh level Rp14.630 per dolar AS pada penutupan perdagangan 23 Agustus.

Data Bank Indonesia dalam kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) mencatat pelemahan nilai tukar rupiah sejak awal tahun hingga 24 Agustus mencapai 7,59 persen. Level terlemah rupiah di pasar spot menyentuh Rp14.655 per dolar AS pada 24 Agustus 2018.

Akibat pelemahan nilai tukar rupiah, cadangan devisa Indonesia telah terkuras sebesar $13,67 miliar dalam rangka operasi pasar untuk menekan laju pelemahan rupiah. Per Juli 2018, cadangan devisa Indonesia menurut catatan BI tersisa $118,31 miliar, turun tajam dibanding Januari 2018 yang mencapai $131,98 miliar.

Untuk mengurangi terkurasnya cadangan devisa, pemerintah mengaji pengenaan pajak terhadap 900 komoditas guna menekan laju impor. Pemerintah berencana menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 pada 900 komoditas dan menyiapkan penggantinya yang merupakan produk buatan dalam negeri.

Penyesuaian pajak tersebut menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani merupakan upaya agar laju impor bisa dikendalikan secara optimal. Selain itu, dalam mencari barang pengganti atau substitusi komoditas impor yang dimaksud, pemerintah akan memastikan kesiapan industri dalam negeri.

“Terutama para pengusaha mikro, kecil dan menengah, kami akan melakukan langkah yang sangat tegas untuk mengendalikan impor barang konsumsi tersebut,” ujar Sri Mulyani.

Kajian mengenai evaluasi pajak 900 komoditas ini, akan disampaikan pada awal September. Tingginya laju impor dapat memengaruhi tingkat inflasi Indonesia ke depannya padahal target tahun ini di kisaran 3,5 persen. Tingginya laju impor mengakibatkan semakin melebarnya defisit transaksi berjalan.

“Kami akan fokus pada inflasi yang diakibatkan oleh volatile food dan inflasi yang berasal dari nilai tukar. Apa yang menjadi langkah ke depan adalah agar imported inflation tidak memicu terjadinya inflasi,” imbuh Sri Mulyani.

Dalam rangka menekan defisit transaksi berjalan, pemerintah juga berencana menghentikan importasi 500 komoditas. Rencana penghentian impor lebih ditekankan pada barang konsumsi. “Akan dikaji lagi komoditasnya dan kebanyakan adalah barang konsumsi. Bahan baku dan barang modal tentu tidak dipersulit,” ucap Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian.

Identifikasi komoditas impor akan dilakukan untuk memisahkan jenis barang konsumsi, bahan baku dan bahan modal yang dapat diproduksi di dalam negeri sehingga dapat menjadi substitusi. Rencana penghentian 500 komoditas impor ini, telah disampaikan kepada para pelaku industri. Bahkan, beberapa bahan pengganti dalam negeri juga sudah ada yang disiapkan.

Namun, rencana kebijakan pengurangan impor ini akan tetap memperhitungkan produktivitas dan daya saing hasil produksi industri dalam negeri. “Pengurangan akan dilakukan untuk tetap dapat mempertahankan daya saing dan produktivitas, bukan untuk menurunkan itu,” imbuh Airlangga.

Mengantisipasi kenaikan FFR, Bank Indonesia juga telah menaikkan tingkat suku bunga acuan 7Day Repo Rate sebesar 25 basis poin pada pertengahan Agustus lalu. Langkah ini dilakukan sebagai upaya ahead the curve atau menjaga dari efek kenaikan FRR yang ditimbulkan. Sepanjang 2018, bank sentral Indonesia telah menaikkan tiga kali tingkat suku bunga acuan yaitu pada bulan Mei sebanyak dua kali dan Agustus sebanyak 1 kali, masing-masing sebesar 0,25 persen.

Bila melihat langkah-langlah BI dan pemerintah, kebijakan AS khususnya The Fed masih jadi perhatian serius terutama risiko implikasi pada gejolak rupiah terhadap dolar.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra