tirto.id - Bank Indonesia (BI) menilai ketidakpastian ekonomi global memunculkan risiko rambatan ke ekonomi negara berkembang. Ketidakpastian ekonomi itu semakin tinggi karena pengaruh kerentanan ekonomi domestik Turki, persepsi negatif terhadap kebijakan otoritas, dan meningkatnya ketegangan hubungan Turki dengan Amerika Serikat (AS).
"Mencermati apa yang terjadi di Turki, termasuk perkembangan dari neraca pembayaran, kami melihat bahwa ketidakpastian ekonomi global meningkat di tengah pertumbuhan ekonomi dunia yang tidak merata," kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo di Kantor Bank Indonesia Jakarta pada Rabu (15/8/2018).
Turki belum lama ini, mendapatkan hantaman ekonomi dari kebijakan AS mengenai kenaikan bea masuk baja dan alumunium dari Turki, masing-masing 50 persen dan 20 persen. Imbasnya, mata uang Lira terhadap dolar AS merosot semakin dalam di tengah harga komoditas minyak mentah naik.
Mata uang Lira melemah terhadap dolar AS hingga 18 persen dan berada di titik terendah sejak 2001. Mata uang Lira telah melemah hingga 40 persen sepanjang tahun ini.
Perry mengatakan, BI terus mewaspadai risiko ekonomi dari sisi eksternal tersebut. Namun, ia meyakini ketahanan ekonomi Indonesia cukup kuat menghadapi peningkatan ketidakpastian karena didukung oleh indikator fundamental ekonomi yang sehat dan komitmen kebijakan yang kuat.
"Perekonomian Indonesia meningkat cukup tinggi terutama didorong oleh permintaan domestik dari konsumsi swasta dan pemerintah," ujar Perry.
Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh 5,27 persen (year on year/yoy) pada Triwulan II/2018 atau tertinggi sejak 2013. Kemudian, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tercatat 5,14 persen (yoy) didukung oleh perbaikan pendapatan dan keyakinan konsumen serta terjaganya inflasi.
Secara spasial, pertumbuhan ekonomi terutama ditopang oleh membaiknya ekonomi diSumatera, Kalimantan, dan Papua, serta masih kuatnya ekonomi Jawa, Sulawesi dan Maluku.
"Selain itu, konsumsi yang terkait dengan penyelenggaraan Pilkada serentak juga mencatat pertumbuhan yang tinggi," kata Perry.
Ia juga menjelaskan bahwa belanja pemerintah membaik, sehingga memberikan dorongan terhadap kuatnya permintaan domestik. Meski ada dampak negatif karena meningkatnya pertumbuhan permintaan domestik menambah tinggi pertumbuhan impor, di tengah kinerja ekspor yang relatif terbatas.
Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan 2018 tetap dalam kisaran 5,0-5,4 persen dan akan meningkat menjadi 5,1-5,5 persen pada tahun 2019.
"Ke depan, pertumbuhan ekonomi diperkirakan cukup kuat ditopang oleh peningkatan investasi dan konsumsi, di tengah perbaikan ekspor yang masih terbatas," ujar Perry.
Investasi bangunan dan nonbangunan tetap kuat didukung pembangunan infrastruktur dan investasi di sektor manufaktur. Sementara itu, konsumsi diperkirakan tetap terjaga dengan adanya penyelenggaraan berbagai kegiatan, termasuk Pemilu.
Inflasi tetap terkendali pada level yang rendah dan stabil didukung koreksi harga usai Lebaran. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat 0,28 persen (month to month/mtm) pada Juli 2018, mengecil dibandingkan dengan 0,59 persen (mtm) pada Juni 2018 sejalan dengan pola musiman berakhirnya perayaan Idul Fitri.
Mengecilnya inflasi IHK terutama didorong oleh deflasi kelompok administered prices. Dengan perkembangan tersebut, sampai dengan bulan Juli, inflasi IHK tercatat 3,18 persen (yoy), relatif stabil dibandingkan inflasi bulan sebelumnya sebesar 3,12 persen (yoy).
"Terkendalinya inflasi inti tersebut tidak terlepas dari konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi, termasuk dalam menjaga pergerakan nilai tukar sesuai fundamentalnya," ucap Perry.
Ke depan, inflasi diperkirakan tetap berada pada sasaran inflasi 2018, yaitu 3,5 plus minus satu persen (yoy).
Kenaikan suku bunga acuan BI (BI 7 Days Reverse Repo Rate/BI-7DRRR) sebesar 25 basis points (bps) atau 5,50 persen, menjadi salah satu langkah BI untuk mengantisipasi meningkatnya ketidakpastian global.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Dipna Videlia Putsanra