Menuju konten utama

Turki Dilanda Krisis, Apa akan Menular ke Indonesia?

Lira Turki anjlok terhadap dolar AS, efeknya bikin panik investor hingga merambat ke pasar saham termasuk Indonesia. Apa risikonya bagi ekonomi Indonesia?

Turki Dilanda Krisis, Apa akan Menular ke Indonesia?
Presiden Turki Tayyip Erdogan menyapa pendukungnya dalam sebuah pertemuan partai berkuasa AK di Izmir, Turki, Sabtu (28/4/2018). ANTARA FOTO/Kayhan Ozer/Presidential Palace/Handout via REUTERS

tirto.id - Nilai tukar lira Turki akhirnya menguat terhadap dolar AS setelah sempat tertekan selama empat hari berturut-turut. Pada penutupan perdagangan Selasa (14/8/2018) kemarin, lira bangkit (rebound) sekitar lima persen terhadap dolar AS.

Namun, nilai tukar lira Turki masih terpuruk cukup dalam terhadap dolar AS. Pelemahan lira Turki telah terjadi sejak awal tahun ini. Dalam kurun waktu 1 Januari sampai 13 Agustus 2018, lira Turki anjlok hingga sekitar 40 persen.

Penyebabnya beragam. Di antaranya tingkat suku bunga acuan yang rendah, tingginya inflasi, defisit transaksi berjalan yang melebar, hingga memburuknya hubungan Turki dengan Amerika Serikat hingga berujung sanksi, hingga upaya pembalasan dari rezim Presiden Erdogan untuk memboikot produk AS.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meyakini krisis ekonomi yang sedang terjadi di Turki tidak akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia. Darmin menilai itu hanya efek sementara dari persepsi pelaku pasar.

"Sebenarnya bukan hanya rupiah, [namun] kepada semua emerging market. Hanya euforia saja menurut saya, mestinya tidak berpengaruh," kata Darmin di Jakarta, Senin (13/8/2018) lalu.

Hal serupa juga diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ia menegaskan kondisi makro terkini perekonomian Indonesia dengan Turki berbeda meski sama-sama negara-negara berkembang. Mantan direktur bank dunia ini menilai perekonomian Indonesia akan tetap terjaga.

"Inflasi kita 3,5 persen, sementara kalau di Turki kan sudah di atas 15 persen. Pertumbuhan [ekonomi] kita lima persen, tapi tidak berhubungan dengan defisit transaksi berjalan yang tinggi seperti di Turki," ucap Sri Mulyani di kantornya, Jakarta, Selasa (14/8/2018).

Defisit transaksi berjalan Indonesia sudah mencapai tiga persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), tapi lebih rendah dari Turki yang mencapai lima persen. Sri Mulyani menilai defisit transaksi berjalan Indonesia belum setinggi saat taper tantrum (efek pengumuman kebijakan moneter AS tahun 2013 yang langsung memukul kurs sejumlah negara). Transaksi berjalan menggambarkan penerimaan devisa terhadap kinerja ekspor dan impor sektor barang maupun jasa, yang berimplikasi pada kebutuhan terhadap mata uang dolar AS.

Dia menegaskan bahwa pemerintah akan terus berupaya untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan sehingga tak jadi sumber kerawanan.

Di sisi lain, krisis ekonomi di Turki menimbulkan kepanikan tersendiri bagi pelaku pasar. Kekhawatiran itu muncul lantaran Indonesia dinilai bakal menjadi seperti Turki, mengingat nilai tukar rupiah yang belum juga stabil terhadap dolar AS, cadangan devisa menurun, defisit transaksi berjalan yang melebar, hingga perlambatan pada realisasi investasi.

"Orang lantas mengasumsikan bahwa jangan-jangan perekonomian kita bisa kena resesi ekonomi juga seperti di Turki. Maka dari itu, pelaku pasar cenderung melakukan aksi jual," kata analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada kepada Tirto, kemarin.

Reza tak membantah apabila krisis ekonomi di Turki itu akan menghantui Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pekan ini. Pasalnya Turki banyak berutang ke negara-negara Eropa, dan memicu sentiman negatif, lantas menyebabkan posisi mata uang Euro lebih rendah ketimbang dolar AS.

Posisi dolar AS yang kian menguat itulah yang kemudian berdampak kepada negara-negara lain, termasuk Indonesia. Mengutip data dari Bahana Sekuritas, rupiah memang sempat terjerembab hingga 0,9 persen pada Senin lalu. Mata uang sejumlah negara lain di Asia Tenggara juga berdampak, namun peso Filipina, baht Thailand, maupun dong Vietnam tidak turun lebih dari 0,5 persen. Rupiah sempat menembus Rp14.600 per dolar AS.

Reza mengimbau agar para pelaku pasar tidak panik dan berspekulasi bahwa Indonesia akan mengalami nasib yang sama dengan Turki. Selain karena hubungan perdagangan antara Indonesia dengan Turki yang tidak terlalu besar, Reza menilai fundamental perekonomian Indonesia masih relatif baik sampai saat ini.

"Potensi pelemahan bisa dipastikan ada karena pelaku pasar panik yang kemudian menyebabkan banyak aksi jual. IHSG pun jadi gagal bertahan di teritori hijau karena cenderung terjadi pelemahan," jelas Reza.

Total perdagangan antara Indonesia dengan Turki cenderung mengalami penurunan sejak 2013. Berdasarkan data yang dihimpun tim riset Tirto, total perdagangan pada 2013 tercatat sebesar 2,8 miliar dolar AS, namun angka tersebut turun jadi 2,4 miliar dolar AS pada 2014, dan terus merosot hingga 1,4 miliar dolar AS.

Setahun setelahnya, nilai total perdagangan Indonesia-Turki pun turut tipis menjadi 1,3 miliar dolar AS. Baru pada 2017 nilainya sempat naik jadi 1,7 miliar dolar AS.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai krisis ekonomi di Turki memang tak bisa dihindari oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Menurut Bhima, salah satu dampak riil yang bisa dirasakan masyarakat ialah harga bahan pokok impor yang semakin mahal karena biaya impornya pasti meningkat.

Bhima juga melihat adanya potensi kenaikan harga minyak mentah mengingat krisis ekonomi di Turki itu akan berpengaruh pada kondisi geopolitik di Timur Tengah.

"Ini bisa mempengaruhi terjadinya penyesuaian untuk harga BBM nonsubsidi pada semester II-2018," kata Bhima kepada Tirto, Rabu (15/8/2018).

Sementara itu, dampak tak langsung dari krisis ekonomi Turki ialah terkait perdagangan dan pariwisata di Indonesia. Meski hubungan perdagangan antara Indonesia dengan Turki tidak besar, tapi Bhima menyoroti pengaruh Turki terhadap kawasan Timur Tengah maupun Eropa.

"Jangan lupa kalau dampak dari krisis ekonomi Turki ini sistemik. Kawasan sekitar Turki seperti Eropa akan terkena imbas, dan karena di Eropa ada negara-negara penting tujuan ekspor Indonesia, bisa saja terjadi penurunan permintaan ekspor," ujar Bhima.

Oleh karena potensi dampak dari krisis ekonomi di Turki yang nyata bagi Indonesia, Bhima mengatakan pemerintah tetap harus mewaspadainya. Ia mengimbau agar pemerintah lebih siap dari segi kebijakan fiskal serta cenderung memberikan sentimen positif kepada pasar.

Ujung dari krisis ekonomi di Turki itu sendiri belum bisa dipastikan akan ke mana. Bhima sendiri memperkirakan kelanjutan melemahnya lira Turki itu dapat memunculkan ketidakpastian tersendiri bagi perekonomian global.

Saat disinggung mengenai pelajaran yang bisa diambil dari krisis ekonomi di Turki, Bhima menyebutkan bahwa yang dapat dijadikan contoh para pembuat kebijakan di Indonesia adalah kebijakan ekonomi itu harus rasional, utang luar negeri harus benar-benar dijaga dan mengendalikan defisit transaksi berjalan. Pembayaran utang dan ketergantungan impor akan menekan rupiah, sehingga harus segera dikendalikan.

Infografik CI Dampak Krisis Turki Bagi Perekonomian Indonesia

Baca juga artikel terkait KRISIS EKONOMI TURKI atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino