Menuju konten utama

Dolar Sentuh Rp14.829, Langkah BI Dinilai Kurang Efektif

Ekonom dari Indef, Bhima Yudhistira menilai masih ada beberapa kebijakan yang harus dilakukan BI maupun pemerintah.

Dolar Sentuh Rp14.829, Langkah BI Dinilai Kurang Efektif
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dollar AS di Jakarta, Senin (2/7/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Nilai tukar mata uang rupiah tercatat kian melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Hingga penutupan perdagangan pada Jumat sore (31/8/2018) kemarin, rupiah berada pada level Rp14.829 per dolar AS. Posisi itu lebih lemah ketimbang saat pembukaan perdagangan Jumat pagi, pukul 09.00 WIB yang berada di level Rp14.710 per dolar AS.

Kondisi itu membuat Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi sebagai langkah untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Salah satu langkah konkret yang dilakukan ialah dengan memborong Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder senilai Rp3 triliun.

“Kami tingkatkan volume intervensi di pasar valas, lalu melakukan pembelian SBN di pasar sekunder, serta membuka lelang swap,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo, di Jakarta pada Jumat (31/8/2018).

Perry menargetkan hasil lelang forex swap dapat mencapai 400 juta dolar AS. Capaian lebih besar dari target itu pun terus diharapkannya sehingga mata uang rupiah bisa semakin stabil.

Dalam melakukan sejumlah intervensi tersebut, Perry mengklaim pihaknya terus melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perry pun menyebutkan pemerintah sendiri telah menempuh sejumlah cara untuk menjaga stabilitas dengan penuh kehati-hatian (prudent) serta mengutamakan upaya dalam jangka pendek.

“Koordinasi kami dengan Kemenkeu dan OJK bukan langkah stabilisasi jangka panjang. Kami melakukannya dari hari ke hari, sementara pemerintah sendiri mempercepat langkah untuk menekan defisit neraca perdagangan,” kata Perry.

Perry menilai faktor utama yang memengaruhi pelemahan nilai tukar rupiah datangnya masih dari eksternal. Ia menekankan bahwa BI terus mewaspadai dampak dari gejolak perekonomian di sejumlah negara berkembang, seperti Turki dan Venezuela.

Kendati demikian, Perry meyakini perekonomian Indonesia masih dalam keadaan sehat, baik dari sisi pertumbuhan ekonomi maupun inflasinya. “Dari sisi pertumbuhan ekonomi cukup bagus, inflasi juga insyaallah pada Agustus ini sangat rendah. Kita tunggu pengumuman BPS (Badan Pusat Statistik) dalam waktu dekat,” kata Perry.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, berpendapat kebijakan yang dikeluarkan BI maupun pemerintah dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah masih bersifat sementara. Padahal, kata Bhima, kondisi rupiah saat ini sudah bisa dibilang berbahaya.

Klaim bahaya itu disampaikan Bhima dengan mengacu pada keputusan BI yang membeli pelepasan SBN oleh asing hingga Rp3 triliun. Bhima menilai bahwa intervensi yang dilakukan BI terus menggerus cadangan devisa sejak awal tahun ini.

“Batas psikologis untuk cadangan devisa adalah 100 miliar dolar AS. Kalau di bawah itu, bisa muncul sentimen negatif dari investor. BI pun semakin terbatas ruang geraknya, [instrumennya] hanya bisa dari suku bunga acuan dan cadangan devisa,” jelas Bhima kepada Tirto pada Minggu (2/9/2018).

Bhima melihat BI masih berpotensi menaikkan suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) maksimal dua kali lagi pada tahun ini. Padahal, kata dia, kenaikan suku bunga acuan dapat berdampak signifikan pada sektor riil, sehingga memberatkan sektor swasta dalam melakukan ekspansi. Selain itu, perbankan harus melakukan penyesuaian pada biaya peminjaman (cost of borrowing). Di sisi lain, BI juga belum memiliki sanksi tegas terkait pelaporan devisa hasil ekspor.

Akan tetapi, Bhima tidak menampik bahwa sejauh ini pemerintah telah melakukan sejumlah cara untuk mengendalikan rupiah. Hanya saja, Bhima menilai, cara-cara yang ditempuh, seperti penerapan biodiesel dan pengereman laju impor 900 komoditas, masih bersifat reaktif dan sementara.

Ia berharap pemerintah dapat melakukan upaya yang lebih berkelanjutan, seperti membuat paket kebijakan sektoral untuk mendorong ekspor. “Kalau hanya bermain pada ranah impor, saya kira efeknya enggak terlalu besar. Apalagi barang konsumsi itu hanya 9 persen dari impor secara keseluruhan,” kata Bhima.

Tak hanya itu, Bhima mendorong agar pemerintah lebih tegas meminta kontribusi dari para duta besar. Menurut Bhima, kinerja para duta besar Indonesia dalam hal misi dagang harus lebih digenjot lagi sehingga dapat membuahkan hasil, yakni peningkatan terhadap ekspor dari dalam negeri.

Infografik CI Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar

Baca juga artikel terkait NILAI TUKAR RUPIAH atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz