tirto.id - Hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang yang memilih Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebagai ketua umum, resmi bodong. Legalitas yang mereka ajukan ke Kemenkumham, ditolak pemerintah. Selain itu, sebagian politikus yang tergabung di dalamnya tak murni kader Partai Demokrat: sebelumnya mereka berpindah-pindah partai politik atau menjadi "kutu loncat".
Saat menolak permohonan legalitas partai ke Kemenkumham, Yasonna Laoly menyatakan, pemilih Moeldoko di KLB Demokrat di Deli Serdang tersebut tak memiliki mandat dari DPD dan DPC partai.
"Perwakilan DPD, DPC tidak disertai mandat dari ketua DPD dan DPC," jelas Yasonna.
Namun, tak hanya itu, Partai Demokrat kubu KLB ini juga diisi oleh politikus-politikus yang gemar berpindah dari satu partai ke partai lain. Mereka adalah orang-orang yang awalnya datang dari Partai Demokrat, sempat pindah, namun kembali lagi saat dan mengkudeta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), ketua umum Partai Demokrat yang sah. Ada juga yang memang sempat bergiat di partai lain, ketika masuk kembali ke Partai Demokrat dan ingin langsung bertengger di posisi puncak.
Salah satunya Max Sopacua, kader senior Partai Demokrat. Dia sudah bergabung sejak 2002 dan berkat Partai Demokrat dia menjadi anggota DPR RI beberapa periode hingga 2014 kemarin. Dia pernah jadi Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat dari 2002 sampai 2005, dan lanjut menduduki posisi Ketua Bidang Pendidikan, Penduduk, dan Kominfo DPP Partai Demokrat hingga 2010.
Sejak partai dipimpin SBY, posisi Max tak cemerlang lagi. Pada 2019 lalu, Max menjadi salah satu kader senior Partai Demokrat yang ingin AHY untuk menggantikan ayahnya sendiri, Susilo Bambang Yudhoyono. Ia ingin mengoreksi total manajemen partai di bawah SBY.
Hingga akhirnya pada Desember 2020, Max diketahui bergabung ke sebuah partai baru bernama Partai Era Masyarakat Sejahtera (Emas), yang dipimpin oleh Mischa Hasnaeni Moein. Max ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Emas. Namun tiga bulan setelahnya, Februari 2021 atau menjelang kudeta AHY, dia mundur dari partai itu.
Bulan Februari menjadi bulan yang genting bagi Partai Demokrat karena isu upaya mendongkel AHY dari kursi Ketua Umum menguat. Pada akhir bulan, partai akhirnya memecat tujuh kadernya yang diduga terlibat dalam upaya kudeta itu. Walau Max bukan termasuk yang dipecat, namun ia beberapa kali mengutarakan keinginannya melaksanakan KLB untuk mengganti AHY.
Max akhirnya hadir di KLB yang digelar dan memenangkan Moeldoko, juga hadir di agenda konferensi pers di Hambalang dan menyebut Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas)—putra SBY—terlibat dalam kasus korupsi Hambalang.
Ada juga Ilal Ferhard, yang juga merupakan salah satu politikus senior Partai Demokrat. Dia bahkan sempat menjadi Wakil DPRD DKI Jakarta mewakili Partai Demokrat periode 2004-2009. Namun diketahui sempat menjadi anggota Partai Gerindra saat Pilpres 2019 lalu. Belakangan ia kembali ke Partai Demokrat berada di kubu Moeldoko.
Daday Hudaya juga memiliki rekam jejak yang hampir serupa dengan Ilal. Ia pernah menjadi anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat pada periode 2004-2009, namun pada 2019 ia malah menjadi caleg mewakili Partai Gerindra. Saat wacana mengkudeta AHY, ia muncul di agenda KLB dan mendukung Moeldoko.
Razman Arif Nasution, malah lebih banyak lagi. Dia pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Mandailing Natal mewakili Partai Golkar (1999-2004) dan Partai Kebangkitan Bangsa (2004-2009). Di PKB, dia pernah menjadi Koordinator Bidang Hukum DPP. Mantan narapidana kasus penganiayaan itu juga menjadi salah satu juru bicara Jokowi-Maruf dalam Pilpres 2019 lalu. Dia juga sempat di Partai Gerindra antara 2014 sampai 2018.
Sama seperti Ilal dan Daday, Razman masuk ke gerbong Moeldoko saat wacana kudeta AHY menguat lewat KLB di Deli Serdang.
Yang terakhir, tentu saja Moeldoko. Ia gabung Partai Hanura pada Desember 2016 lalu, dan langsung menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina. Saat itu, Ketua Umum Partai Hanura diisi oleh Wiranto. Moeldoko akhirnya pamit dari Partai Hanura karena ingin fokus menjadi Kepala KSP.
Belakangan, Moeldoko yang mencoba mencongkel AHY dari kursi Ketua Umum Partai Demokrat lewat KLB.
Moeldoko Jadi Magnet Menuju Kekuasaan
Menurut peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti, berdasarkan pengalaman KLB Partai Demokrat Deli Serdang, banyak politisi partai gurem melihat potensi dan peluang politik Moeldoko.
“Bisa jadi mereka melihat di satu sisi, Moeldoko sebagai politisi berpengaruh yang sudah mulai masuk namanya dalam daftar Capres 2024 dan memiliki sumber daya (politik dan finansial) yang mumpuni,” kata Aisah kepada reporter Tirto, Kamis (1/4/2021).
Di sisi lain, menurutnya Moeldoko nampak menjadi politisi yang juga sedang mencari perahu politik untuk berkancah dalam Pemilu 2024 nanti, terutama usai hasil KLB Demokrat di Deli Serdang ditolak.
“Politisi partai gurem melihat Moeldoko sebagai sosok yang bisa didorong untuk banyak peluang politik ke depan, misalnya menghidupkan kembali partai kecil yang secara badan hukum sudah ada tetapi tak dapat mengikuti pemilu sebelumnya,” ujarnya.
Alternatif lain menurut Aisah para politisi gurem ini merapat ke Moeldoko untuk mendirikan wujud partai baru dengan basis yang sudah ada.
Pembelaan Politikus Kutu Loncat
Saat dihubungi reporter Tirto pada Kamis (1/4/2021) siang, Max mengaku tak pernah bergabung ke Partai Emas. Ia mengaku memang pernah diajak untuk masuk dan membentuk Partai Emas. Namun, kata dia, akhirnya tak pernah menjadi partai resmi hingga saat ini.
“Ada enggak Partai Emas di Kemenkumham? Saya memang diajak untuk membuat partai. Belum jadi partai, bos. Jadi partai itu susah. Bikin partai susah. Kita baru mulai kumpulkan orang,” kata Max. “Itu hanya akal-akalan saja orang mau membully saya mengaitkan Partai Emas.”
Hingga saat ini, Max mengaku masih merupakan anggota sah Partai Demokrat, kendati ikut dalam agenda KLB yang memenangkan Moeldoko.
“Siapa berani pecat saya? Saya masih berstatus anggota aktif Partai Demokrat. Saya pendiri. Mau ke mana saja, saya tetap kembali ke Partai Demokrat. Namun bukan Partai Demokrat pimpinan Mas AHY,” kata dia.
Ilal juga mengaku hal serupa. Ia mengaku tak pernah bergabung ke Partai Gerindra. Ilal membenarkan jika dulu ingin maju menjadi caleg dari Partai Gerindra pada 2019, namun batal karena lokasi dan daerah pemilihan yang tidak sesuai keinginannya. Sehingga dirinya tak sempat membuat KTA Partai Gerindra.
“Karena saya mau diajukan sebagai caleg, ternyata lokasi dan dapil tidak sesuai harapan saya, saya batal. Saya enggak punya KTA Partai Gerindra. Saya juga bukan pengurus Partai Gerindra. Nama saya enggak ada di KPU,” kata Ilal saat dihubungi Kamis sore. “Tuduhan-tuduhan seperti itu hanya untuk bully saya sebagai panitia KLB.”
Kendati tak sempat menjadi caleg dan anggota Partai Gerindra, ia mengaku menjadi simpatisan partai pimpinan Prabowo Subianto itu. Salah satu alasannya, karena pada awal Pilpres 2019, Partai Demokrat ragu untuk memberikan dukunga ke Prabowo atau Jokowi.
“Saya memang simpatisan Partai Gerindra yang mendukung Prabowo pada 2019 lalu, tapi bukan kader. Jadi kalau ada saya pakai baju Partai Gerindra, itu zaman Pilpres,” kata dia. “Saya ikut kampanye pun karena Partai Demokrat ragu-ragu antara ke Prabowo atau Jokowi.”
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana