tirto.id - Ada kalanya sepakbola bukan sekadar (industri) sepakbola, tapi juga medan pertarungan politik. Di balik selebrasi kemenangan, gol menit terakhir, isak tangis kekalahan, serta nyanyian lantang para pendukung, terselip rupa-rupa keyakinan politik: fasisme, konservatisme, progresivisme, hingga separatisme.
Contohnya banyak. Ada Barcelona yang mewakili sikap Catalan untuk memisahkan dari dari Spanyol. Real Madrid yang digunakan rezim fasis Franco sebagai mesin propaganda. Rivalitas panjang nan panas dua klub ibukota Skotlandia, Rangers dan Celtic, yang sarat politik agama.
Ideologi politik pun ada di klub bola Italia. Gambaran jelasnya bisa dilihat lewat kiprah klub gurem AS Livorno yang merayakan marxisme, sejak ia didirikan hingga sekarang.
Awalnya Keberagaman
Sejarah memainkan peran penting dalam tertanamnya nilai-nilai marxisme di tubuh AS Livorno dan semuanya bermula pada abad ke-15.
Dalam “The Birthplace of Italian Communism: Political Identity and Action Among Livorno Fans” (2013, PDF) dijelaskan bahwa saat itu, pelabuhan di Pisa, yang menjadi akses penting ke wilayah Mediterania, sedang minim pengunjung. Situasi tersebut membikin keluarga Medici, penguasa Florence, pusing. Guna mengatasi masalah yang ada, Medici kemudian mendorong pembangunan pelabuhan baru di Livorno, sekitar 20 mil ke selatan Pisa. Usulan Medici disetujui dan proses pembangunan pun segera dilaksanakan.
Livorno, yang mulanya sepi, lantas ramai usai Medici mengeluarkan undang-undang bernama “Leggi Livornine” yang intinya menyerukan para pedagang dari bangsa mana pun—Yahudi, Turki, Moor, Armenia, dan Persia—untuk mengisi kota. Mereka disambut secara terbuka oleh masyarakat setempat, tanpa memandang latar belakang etnis, agama, maupun catatan kriminal yang pernah dilakukan.
Walhasil, Livorno beralih rupa menjadi kota kosmopolit yang dihuni masyarakat dengan berbagai latarbelakang. Pembangunan menggeliat. Pusat perdagangan dan tempat ibadah satu per satu didirikan. Ada gereja Anglikan, Belanda-Jerman, Ortodoks Yunani, Armenia, sampai sinagog Yahudi. Untuk menggambarkan keharmonisan masyarakat, pada 1656, pemerintah kota mengeluarkan koin emas dengan slogan: “Banyak orang melebur menjadi satu.”
Keadaan makin menggeliat kala industrialisasi dan unifikasi Italia tiba di awal abad ke-19. Kedua faktor tersebut menciptakan dinamika yang kompleks, termasuk kelas-kelas sosial. Muncul pula aktivisme politik di tengah para pekerja pelabuhan lewat lahirnya kelompok-kelompok sosialis sampai anarkis. Ketika banyak terjadi pemogokan dan kerusuhan di Italia pada 1920an, ideologi politik seperti komunisme dan fasisme mendapat ruang untuk berkembang.
Dalam konteks sosial-politik inilah, pada 1921, Partai Komunis Italia dibentuk di Livorno oleh Antonio Gramsci dan Amadeo Bordiga, mantan anggota Partai Sosialis Italia yang keluar karena kecewa dengan arah kebijakan partai. Mereka sengaja memilih Livorno, sebab di sana banyak pekerja pelabuhan yang bisa dijadikan basis massa pendukung.
Eksistensi Partai Komunis Italia memperoleh ganjalan tatkala beberapa tahun usai dibentuk. Rezim fasis Benito Mussolini melarang kehadiran mereka di dalam kontestasi politik maupun kehidupan bermasyarakat. Namun, Gramsci dan bala komunisnya tak takut. Mereka terus melawan rezim fasis. Perlawanan ini pula yang kemudian menjalar hingga deretan bangku di tribun Armando Picchi.
Merangkul Stalin, Mencemooh Berlusconi
Greg Lea dalam “Livorno and Communism” yang dipublikasikan In Bed with Maradona pada 2 November 2014 menulis bahwa politisasi kelompok pendukung sepakbola di Italia muncul usai kebijakan regionalisme diterapkan dan berakhirnya Perang Dunia II. Sejak 1946 sampai 1992, pemerintahan dikuasi Partai Demokrat Kristen. Mereka memenangkan suara terbanyak dalam setiap pemilihan.
Alih-alih mampu merangkul semua elemen politik dan masyarakat, dominasi Demokrat Kristen justru meninggalkan kekecewaan. Partai ini cenderung berpihak pada kepentingan kelompok kanan. Dampaknya, masyarakat mencari ruang lain guna menyalurkan hasrat serta keyakinan ideologis mereka. Sepakbola muncul sebagai sarana utama dan para ultras mulai menghidupkan kembali identitas politik mereka yang didasarkan pada riwayat sejarah dan kondisi sosial kota.
Hal tersebut berlaku juga untuk AS Livorno yang dibentuk pada 1915. Keberadaan Partai Komunis Italia turut membentuk identitas klub dan ultras—fans garis keras—mereka yang berkiblat pada ideologi politik sayap kiri serta afiliasi kuat terhadap kepemilikan akan kota—atau biasa dikenal sebagai “Campanilismo.”
AS Livorno, catat The Guardian, punya ultrasbernama Brigate Autonome Livornese (BAL) yang terbentuk dari penggabungan sempalan kelompok-kelompok macam Magenta, Fedayn, Sbandati, serta Gruppo Autonomo pada 1999. Kelompok ini mendiami Curva Nord (tribun utara), dan secara rutin menyuarakan chant bernada dukungan terhadap komunisme, di samping juga kepada kesebelasan yang tengah bertanding.
Nyanyian macam “Bandiera Rossa” serta “Bella Ciao” hanyalah satu dari sekian pemandangan kiri yang tersaji kala AS Livorno bertanding. Selebihnya, Anda akan mendapati hal-hal seperti simbol bintang merah dan palu arit, poster Che Guevara, seragam militer ala pasukan gerilya, hingga koreografi yang didedikasikan khusus untuk pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin.
BAL juga terhubung dengan kelompok sayap kiri di seluruh dunia. Vice dalam “Livorno Are Keeping Communist Football Alive” menjelaskan bahwa BAL turut menjalin solidaritas dengan Palestina kala Livorno bertanding melawan tim Israel, Maccabi Haifa, di hajatan Piala UEFA.
Selain mengumpulkan dana untuk korban gempa di Haiti pada 2010, mereka juga mendukung kemerdekaan IRA di Irlandia. BAL bekerja sama dengan fans Celtic untuk menandatangani perjanjian “melawan fasisme.” Tak ketinggalan, mereka punya kedekatan kuat bersama fans AEK Athens dan Olympique Marseille. Publik menyebutnya “Persaudaraan Segitiga.”
Sebagaimana ultras pada umumnya, BAL pun juga punya musuh. Yang terkenal tentu saja fans dari Lazio dan Hellas Verona yang dikenal fasis. Kemudian, ada nama Silvio Berlusconi, mantan bos AC Milan dan Perdana Menteri Italia, yang mereka benci karena dianggap menjual sepakbola kepada kapitalisme serta tak becus dalam memimpin negara. Musuh lainnya: perang, kesenjangan, dan okupasi wilayah.
Bagi BAL dan Livorno, pahlawan mereka adalah Cristiano Lucarelli. Pesepakbola kelahiran 1975 tersebut bergabung dengan Livorno pada 2003. Ia dicintai publik Livorno, selain karena kemampuannya mencetak gol (ia membikin 102 gol selama di Livorno), juga karena bagaimana ia vokal dengan keyakinan politik dan sosialnya.
Lucarelli pernah melakukan selebrasi dengan memamerkan kaos bergambar Che Guevara saat ia bertanding membela Timnas U-21 Italia melawan Moldova. Aksinya langsung bikin FIGC, otoritas bola Italia, meradang dan melarangnya masuk timnas. Ia juga sempat menunjukkan solidaritas untuk 400 pekerja di salah satu pabrik di Florentine yang dipecat. Ia memilih nomor 99 di jersey-nya sebagai bentuk penghormatan kepada BAL.
Banyak yang bilang sepakbola harus terpisah dari politik. Namun, bagi AS Livorno, sepakbola adalah mesin politik yang digunakan untuk membantu mengubah realitas masyarakat dan memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan. Di tengah globalisme dan kapitalisme sepakbola, apa yang dilakukan AS Livorno adalah cara agar mereka tetap bertahan dengan idealisme politiknya.
Sepakbola Italia kerap dilihat semata sebagai urusan taktik, Cristiano Ronaldo, dan perangai busuk para petingginya yang gemar menyuap. Namun, nyatanya ada pula sepakbola Italia yang berbicara tentang pemujaan terhadap Guevara dan Stalin, janji solidaritas dengan kaum proletar di seluruh dunia, kehendak menggebuk para fasis, serta harapan akan lenyapnya kesenjangan sosial.
AS Livorno senantiasa melanjutkan aksi-aksi itu, sekalipun hanya lewat teriakan lantang di dalam stadion.
Editor: Maulida Sri Handayani