tirto.id - Ada masa ketika fashion dan kekerasan menyatu dalam labirin suporter sepakbola. Masa tersebut dimulai ketika subkultur ‘Casuals’ muncul di Inggris.
Salah satu cara termudah untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘Casuals’ adalah: bayangkan seseorang masuk ke stadion dengan setelan sportswear rapi jali dari berbagai jenama premium, lalu ketika pulang ia mampir ke pub terdekat untuk membuat keonaran dan berkelahi dengan sembarang orang (biasanya suporter rival) di sana.
‘Casuals’ adalah salah satu varian (atau dapat pula dikatakan turunan) dari ‘Hooligan’, namun memiliki perbedaan fundamental dalam hal berbusana. Para ‘Casuals’ adalah gerombolan suporter yang memang modis secara sadar kendati pada hakikatnya mereka juga berasal dari kelas pekerja.
Sikap modis ‘Casuals’ terpengaruh dari subkultur ‘Teddy Boy’ pada awal 50-an setelah Perang Dunia II. Tren ‘Teddy Boy’ dimulai dari Savile Row, sebuah ruas jalan di London yang banyak diisi penjahit khusus busana pria. Kemunculan subkultur ‘Teddy Boy’ pun sejatinya merupakan bentuk kultur tanding dari penetrasi budaya Rock n’ Roll di Amerika yang saat itu mulai mewabah.
Jika gaya ‘Rock n’ Roll’ cenderung slengean, paduan dari skinny jeans + baju rombeng + jaket kulit yang mengejawantahkan sikap anti kemapanan, ‘Teddy Boy’ memilih kembali ke cara berbusana di era Edwardian yang maskulin lagi dandy: coat+ jas berwarna gelap+ sepatu pantofel mengkilat+ gaya rambut disisir rapi ke belakang atau biasa dikenal dengan istilah ‘slick back hair’.
‘Casuals’ memang tidak berdandan an sich sebagaimana kaum ‘Teddy Boy’. Yang mereka adopsi adalah semangat untuk selalu tampil rapi kemana-mana tanpa meninggalkan sikap slengean. Biasanya, suporter ‘Casuals’ kerap memakai busana dengan ciri: polo shirt yang dipadukan dengan tracktop jenama Fila atau Sergio Tacchini (pilihan lain adalah outdoor jacket merek Peter Storm), celana baggie bermodel gombrong, lalu sneakers Adidas.
Khusus item terakhir, jenama tersebut seolah telah menjadi identitas ‘Casual’ di manapun. Bahkan para ‘Casuals’ memiliki jargon tersendiri untuk sneakers Adidas: “This is for standing, not for running".
‘Casuals’: Fashion Statement atau Gerakan Sosial atau Keduanya?
Sebetulnya tak pasti jelas sejak kapan tren ‘Casuals’ dalam sepakbola dimulai.
Beberapa sumber, salah satunya BBC, menyebutkan bahwa tren ‘Casuals’ berlangsung sejak para Liverpudlians (suporter Liverpool) kerap bertandang ke stadion lain di Eropa demi mendukung tim kesayangan mereka pada akhir 70-an. Mayoritas dari mereka merupakan kelas pekerja.
Para ‘Casuals’ ini kemudian mulai jamak dikenali ketika The Reds bertanding melawan St. Etienne di perempat final Liga Champions 1977-1978, musim kala Liverpool yang menjadi juaranya. Sejak inilah ‘Casuals’ mulai mengundang perhatian para pecinta sepakbola lantaran gaya berbusana mereka yang cukup kosmopolit karena memadupadankan berbagai jenama mahal lintas Eropa.
"’Casuals’ memiliki pengaruh besar dalam industri fashion 80-90-an. Pengunaan label premium seolah menjadi kewajiban karena kemunculan mereka. Semua itu perpaduan dari upaya anti-kemapanan dan gaya yang flamboyan: baby-cord trousers dengan jaket Norfolk dan topi deerstalker. Itu merupakan citarasa fashion gaya Inggris dan Italia, sensasi urban lintas negara. Hal itu sangat lazim sekarang,” ujar Robert Wade Smith, pemilik butik Wade Smith, sebuah toko busana di Liverpool yang fokus kepada tren ‘Casuals’, kepada TheGuardian.
Namun menurut Colin Blaney, salah satu dedengkot ‘Hooligan’ Red Army, suporter garis keras Manchester United, sebelum muncul ‘Casuals’ sudah ada sebuah subkultur lain di pada pertengahan 70-an di Manchester dengan semangat serupa. Namanya: ‘Perry Boys’. Sebagaimana ‘Casuals’, ‘Perry Boys’ juga mula-mula dikenal karena kesadaran berbusana mereka. Salah satu cirinya adalah kerap mengenakan kemeja Fred Perry, kaos polo jenama Peter Werth, jeans dari Lois, atau sepatu Dunlop Green Flash.
Sebagaimana dijelaskan, ‘Casual’ atau ‘Perry Boys’ memang secara sadar mencitrakan diri mereka sebagai suporter modis dengan mengenakan barang berjenama mahal. Namun hal tersebut sejatinya bukanlah alasan utama. Bagi keduanya, cara tersebut dipilih sebagai trik untuk dapat menghindari aparat sekaligus berbaur dengan suporter musuh tanpa takut ketahuan.
Terlepas dari siapa yang lebih dulu muncul, baik ‘Casuals’ maupun ‘Perry Boys’ sebetulnya dapat dikatakan merupakan bentuk genre fashion alternatif bagi para suporter sepakbola hardcore di Inggris yang kala itu didominasi oleh gaya ala ‘Skinhead’ dengan ciri khas boots berwarna gelap Dr. Martens, kaos polo, dan skinny jeans. Hanya saja, secara musikalitas para ‘Casuals’ tetap memelihara akar kelas pekerja khas ‘Skinhead’, ‘Oi!’, atau ‘Rude Boy’.
Berlanjut ke era 80-an, seiring dengan kian populernya tren ala ‘Casuals’, beberapa band di Inggris juga turut mengadopsi gaya mereka seperti The Stone Roses, The High, atau Inspiral Carpets. Tak ketinggalan juga berbagai skena musik seperti ‘Acid House’ (varian dari musik elektronik) atau ‘Madchester’ yang turut bermunculan.
Di era 90-an, dengan munculnya genre subkultur alternatif lainnya yang dinamakan Britpop (sebuah kultur tanding melawan penetrasi Grunge dari Amerika), para ‘Casuals’ ini pun turut menggemakan keberadaannya. Sebaliknya, band-band Britpop yang bermunculan seperti BLUR, misalnya, juga mendandani diri mereka selayaknya ‘Casuals’. Simbiosis mutual antara musik dan sepakbola inilah yang menjadi wajah sepakbola Inggris pada saat itu.
Ketika memasuki akhir era 90-an, popularitas ‘Casuals’ dalam ranah berbusana kian meluas. Berbagai jenama seperti Stone Island, Aquascutum, Burberry, Lacoste, Prada, Façonnable, Hugo Boss, Maharishi, hingga Mandarina Duck menjadi yang terfavorit para ‘Casuals’. Namun demikian, para aparat mulai menyadari hal tersebut. Akibatnya, beberapa jenama tertentu pun tidak lagi dikenakan ‘Casuals’.
Popularitas ‘Casuals’ tidak lagi dapat dibendung sejak memasuki era 2000-an, tentunya masih dalam skala tren berbusana. ‘Casuals’ pun mulai lekat dengan kultur pop band-band Inggris seperti The Streets atau The Mitchell Brothers. Budaya ‘Casuals’ juga diangkat ke dalam media visual seperti film-film dan serial televisi, antara lain: ID, The Firm, Cass, The Real Football Factory, hingga Green Street Hooligans 1 & 2.
Sementara dalam industri busana, berbagai jenama premium kian terang-terangan mengadopsi ciri khas ‘Casuals’ dalam karya-karya mereka. Sebut saja: Stone Island, Adidas, Lyle & Scott, Fred Perry, Armani, Three stroke, Lambretta, Pharabouth, Lacoste, Ralph Lauren, hingga CP Company. Berbagai label independen dengan latar ‘Casuals’ sebagai jualannya pun turut bermunculan. Seperti Albam, YMC, APC, Folk, Nudie Jeans, Edwin, Garbstore, Engineered Garments, Wood Wood dan Superga.
Satu hal yang patut disayangkan, lekatnya identitas ‘Casuals’ dengan kekerasan membuat subkultur ini selalu dipandang negatif oleh arus utama sepakbola Inggris. Akibatnya, hal yang menarik dari ‘Casuals’ kerap direduksi menjadi sekadar tren berbusana belaka. Sementara etos mereka sebuah pergerakan kelas sosial amat jarang dibicarakan.
Terkait hal tersebut, Stuart Cosgrove, seorang jurnalis Skotlandia yang pernah bekerja di NME dan juga seorang ‘Casuals’, memberikan pendapatnya.
"Para penggemar sepakbola arus utama membenci kekerasan mereka, para sosiolog juga tidak berusaha meneliti mengenai kemunculan mereka. Bahkan berbagai perusahaan olahraga yang labelnya kerap mereka kenakan, seperti seperti Burberry dan Stone Island, juga berharap ‘Casual’ enyah. Tidak seperti ‘Punk’ atau ‘Mod’ (subkultur lain di Inggris yang muncul pada akhir 50-an), tidak ada orang yang berusaha mencari tahu teori pergerakan ‘Casual’. Para akademisi semestinya mempelajari mereka,” ujar Cosgrove.
Cosgrove benar. Hingga sekarang, ‘Casuals’ masih dianggap sebagai sebuah fashion statement yang bebas nilai.
Editor: Nuran Wibisono