Menuju konten utama

OJK Tak Bisa Larang Penagih Utang Asalkan Bersertifikasi

Kepala Bagian Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank/INKB OJK Regional VI Sulampua, Bondan Kusuma mengatakan penagih utang tidak bisa dilarang keberadaannya, namun harus memiliki sertifikasi.

OJK Tak Bisa Larang Penagih Utang Asalkan Bersertifikasi
Petugas melayani keluhan masyarakat melalui Layanan Konsumen "Sigap" di kantor Finansial Customer Care Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta, Kamis (17/11). ANTARA FOTO/Septianda Perdana/kye/16

tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wilayah 6 Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua) mengakui banyak mendapat keluhan dan aduan dari masyarakat terkait arogansi para penagih utang atau deb kolektor dalam menyelesaikan kredit macet dan lain sebagainya.

Menanggapi hal itu, Kepala Bagian Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank/INKB OJK Regional VI Sulampua, Bondan Kusuma mengatakan penagih utang tidak bisa dilarang keberadaannya, namun harus memiliki sertifikasi.

"OJK tidak bisa melarang adanya deb kolektor, namun kami bisa membatasi dengan melihat apakah bersertifikasi atau tidak," kata Bondan di Makassar, Kamis (20/4/2017).

Lebih lanjut Bondan mengatakan bahwa setiap deb kolektor diwajibkan memiliki sertifikasi agar bisa menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penagih utang.

Namun demikian, ia menegaskan bahwa deb kolektor pemegang sertifikasi tidak boleh melanggar segala ketentuan dan aturan, karena sertifikasi itu bisa saja dicabut sehingga tidak bisa lagi dipekerjakan olah perusahaan pembiayaan.

Menurut Bondan, sejak 2017, OJK sudah melakukan pemeriksaaan ke para perusahaan pembiayaan terkait soal penagihan.

"Soal pengawasan seperti apa dari OJK, inilah salah satunya dengan mengecek sertifikasi setiap deb kolektor yang turun dilapangan," jelasnya.

Terkait sertifikasi, Bondan juga mengaku bahwa OJK tidak hanya terfokus dalam sertifikasi tentang penagihan, tetapi juga dalam beberapa posisi lainnya, baik kepala cabang ataupun direksi dari perusahaan tersebut.

"Sebenarnya yang melakukan sertifikasi itu bukan dari OJK namun ada asosiasi atau perusahaan khusus yang memang bertugas melakuan sertifikasi," ujarnya dikutip dari Antara.

Sebelumnya, OJK menjelaskan bahwa masalah yang paling mendominasi dalam laporan konsumen pada 2016 adalah persoalan kredit yang bermasalah.

Berdasarkan detail masalah OJK terima untuk kredit bermasalah mencapai 41 persen dari seluruh kategori bermasalah.

"Untuk kredit bermasalah itu sejak Januari hingga Juli 2016 telah mencapai 41 persen dari total pengaduan yang kami terima," ujar Bondan.

Sementara untuk posisi kedua ditempati kategori klaim asuransi yakni sebesar 14 persen hingga Juli 2016. Disusul kemudian persoalan dokumen (10 persen), kartu kredit (5 persen), SID (4 persen), sistem pembayaran dan tabungan masing-masing sebesar 3 persen, pemblokiran rekening dan penipuan investasi sebesar 1 persen dan yang lain-lain dengan 18 persen.

Baca juga artikel terkait OJK atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto