Menuju konten utama
Hari Penyiaran Nasional 2022

Nostalgia Radio, Tempat Kirim Salam dan Tetap Eksis di Era Digital

Bagaimana cara radio bertahan dan cerita orang-orang yang masih suka bernostalgia saat radio masih berjaya?

Nostalgia Radio, Tempat Kirim Salam dan Tetap Eksis di Era Digital
Rendy (32) berusaha mendapatkan siaran radio yang ia inginkan. Depok, Jawa Barat, Rabu (30/3/2021). tirto.id/Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sebagai bocah Sekolah Dasar, Rendy Ridwan Syachruddin berutang budi pada radio. Perangkat walkman pemberian paman menjadi berguna. Koleksi kaset pita Rendy sedikit. Ia lebih sering berkutat dengan fitur radio sepanjang hari.

Setiap kesempatan, ia mendengar musik melalui radio. Sampai akhirnya ia mulai menemukan pengalaman tak biasa: penyiar radio mulai menyebutkan nama-nama yang ia tak kenal, membaca pesan singkat orang asing itu untuk seseorang yang ia juga tidak tahu, lalu memutarkan musik yang diminta lewat siaran radio. Belakangan Rendy mengerti, itu budaya kirim salam. Rendy mengenalnya sebagai “atensi”.

“Kok, bisa ya, dia kirim-kirim pesan,” ujar Rendy, pada 30 Maret 2022. Kini ia berusia 32 tahun.

Butuh waktu bertahun-tahun untuk Rendy paham mekanisme “atensi” di radio. Seorang guru kesenian karawitan yang bekerja juga sebagai penyiar radio Ria FM, rutin menawarkan selembar kertas berukuran A6 kepada murid-murid SMPN 1 Depok. Tak terkecuali Rendy.

Lembar kertas berisi kolom kosong: nama pengirim, nama penerima, judul lagu, pesan, dan nomor. Semuanya mesti diisi manual oleh para peminat. Itu pertama kali Rendy memegang kupon “atensi” dan tidak gratis.

“Jajan gua Rp2 ribu. Seribu buat beli atensi,” ujarnya.

Dalam seminggu, Rendy membeli kupon “atensi” dua kali dan selalu dibacakan oleh penyiar Ria FM. Mujur!

Motif Rendy rajin membeli “atensi” sederhana, ia hanya ingin dikenal. Setiap “atensi” dikirim untuk teman-teman sekelas dan membarengi dengan lagu yang diminta, entah tembang Dewa19 atau Tipe-X, band yang sedang populer saat itu, tahun 2002; Dewa19 baru merilis album "Cintailah Cinta" dan Tipe-X baru merilis album "Mereka Tak Pernah Mengerti."

“Karena angkatan gua dengerin radio semua. Terus nama lo disebut, itu keren. Nama lo mengudara,” ungkapnya. Meskipun harus menunggu sampai malam hanya untuk mendengar penyiar membacakan salamnya. Setidaknya Rendy punya bahan obrolan di sekolah keesokan hari.

Bahkan sarana “atensi” menjadi ajang Rendy dan kawan-kawan bercanda. Pernah suatu waktu ia mengirim “atensi” untuk seorang temannya, sebut saja David Abdullah. Keesokan harinya, Rendy disambut tawa renyah kawan-kawan sekelas.

“Gua kirim atensi untuk David Abdullah. Abdullah itu nama bapaknya. Penyiar enggak tau, main baca aja. Yang ketawa anak-anak.” Rendy mengakui itu hal konyol. Tapi mengatai nama orangtua, ketika itu lazim sebagai bahan bercanda di lingkar pertemanan mereka.

“Gua enggak pernah, karena enggak ada yang tahu nama bokap gua,” Rendy tertawa.

Perihal “atensi” tidak melulu untuk eksistensi dan bercanda. Ketika Rendy SMA, tahun 2004, ia ingin orang lain tahu selera musiknya. Rendy sedang gandrung musik punk rock, skate punk, dan turunan genrenya. Karena Ria FM tidak relevan. Ia menyasar radio lain, Tirta AM, yang memiliki program khusus memutarkan musik-musik bawah tanah.

Ketika itu, “atensi” sudah tidak menggunakan kertas formulir dan berbayar. Ia hanya cukup menelepon Tirta AM dan gratis. Namun, ia mengakui metode kirim “atensi” dengan formulir punya potensi dibacakan penyiar lebih besar, ketimbang dengan telepon.

Formulir hanya perlu kesabaran menunggu nomor antrean. Sedangkan telepon, mesti adu ketangkasan. Rendy punya trik. Ia selalu ancang-ancang di depan telepon, begitu lagu yang diputar radio menjelang selesai, ia lekas mencoba terhubung.

Adakalanya Rendy mesti berupaya keras hanya untuk terhubung dengan radio. Ia pernah mencoba berulangkali menelepon penyiar Arie Dagienkz dan Desta di Prambors, hanya untuk meminta lagu “Fall Back Down” dari Rancid diputar.

Ketika berhasil, ia senang. Pertama, karena usahanya tidak sia-sia. Kedua, ia menggemari Dagienkz dan Desta; bahkan ia rela bolos sekolah demi nongkrong di Prambors.

“Cari eksistensinya, lebih ke penyiar. Pas gua teleponan sama penyiarnya. Itu cool,” ujarnya.

Nostalgia Radio dan Acaranya

Ketika Aprilia Ciptaning Maharani masih berseragam SMP, tahun 2007. Ia menjadikan radio sebagai alat mengutarakan perasaan kagum kepada seseorang. Sheila On 7 mengilhami tindakan April.

“…lewat radio aku sampaikan, kerinduan yang lama terpendam…,” April bersenandung, pada 31 Maret 2022. Kini ia berusia 25 tahun. “Aku terilhami liriknya Sheila.”

Perihal asmara, April remaja memilih jalan sunyi. Radio serupa pawang dan musik menjadi mantra. Ia mengirim pesan singkat ke Solo Radio, meminta agar lagu “Pemuja Rahasia” dari Sheila On 7 diputar, tentu saja targetnya ialah seseorang yang ia kagumi.

“Deg-degan banget, kan, didengar sama pendengar radio lain. Terus berasa doi juga dengar, padahal enggak,” ujar April.

Pada masa yang lebih muda, April menjadikan radio sebagai alat perekat persahabatan. Ketika itu, ia masih SD. Ia sudah berani menelepon Ria FM Solo, berkirim pesan untuk teman sepermainan di rumah, isi pesannya: semangat, ya, ngerjain PR sekolah dan jangan lupa nanti sore berangkat TPA bareng.

“Dan itu dibacain sama penyiarnya. Lucu sendiri kalau ingat,” ujarnya.

Namun, hubungan April dan radio tidak melulu soal kirim salam tok. Kadang April urun bercerita sesuai tema pembahasan radio hari itu. Meski ngobrol terpaut jarak, ia senang berbincang dengan para penyiar radio.

“Serasa didengerin dengan tulus. Seolah-olah mereka bisa memahami perasaan pendengar,” ujarnya.

Lingkungan tumbuh April, telah membentuk pribadinya untuk gandrung terhadap radio. Kakek April, seorang penabuh gamelan di Pura Mangkunegaran. Ia kerap mendengar ulang tetabuhan gamelan di radio dari rumah. April cilik menikmati pemandangan tersebut.

Di luar rumah, April cilik juga tak bisa lepas dari siaran radio. Dari warung kelontong hingga warung soto, siaran radio berkumendang.

“Aku jadi mulai dengerin radio sejak SD. Pulang sekolah, hingga tidur siang. Radio jadi pengantar tidurku,” ujarnya.

Promosi Musik dan Band di Radio

Dari Metallica hingga Nirvana melakukan promosi musik ke radio. Gilang merasa Arc Yellow, band grunge bentukannya, perlu melakoni “ritus” yang sama.

Demo pertama Arc Yellow rilis tahun 2009. Gilang membuat semua materi promosi sendiri: sampul demo, duplikasi materi ke CD-R, hingga menulis profil band.

Gilang datangi OZ Radio Jakarta, radio yang menurutnya tepat, dari segi branding image dan segmentasi pasar dengan Arc Yellow. Dada Gilang penuh harap; demo bandnya diputar dan banyak orang tau dan kemudian suka.

Sayangnya, tidak segampang itu. Demo itu tidak pernah berkumandang dari Bangka Raya.

Tak gentar. Gilang mengirim materi promo ke radio lain: Trax FM Jakarta, Mustang 88 FM; juga radio di Bandung: Ardan dan Oz Radio Bandung. Hasilnya tetap sama saja. Tanpa hasil.

“Secara kualitas sound caur banget, rekaman live gitu. Band profilenya belum proper. Gua nggak tau komunikasi yang baik gimana. Waktu itu sekenanya aja,” ungkap Gilang, pada 30 Maret 2022; mencoba menerka faktor kegagalan menembus radio.

Setahun berlalu. Gilang masih keukeuh demo Arc Yellow diputar radio. Ia ubah siasat dengan mendatangi radio kecil.

Di Kota Depok terdapat Cemerlang FM. Mereka punya jargon “Radionya Kota Depok”. Memutar musik-musik Indo Pop lawas hingga dangdut. Gilang sadar radio itu bertolak belakang dengan karakter bandnya. Namun, ia membandel. Hasilnya? Sudah pasti tidak tembus.

“Gua hopeless,” akunya. “Gua suudzon sama radio gede, karena band gua belum ada nama. Di radio kecil, gak tembus juga.”

Di era itu, mayoritas band dengan segmentasi terbatas macam Arc Yellow menggunakan Myspace, jejaring sosial asal California yang memiliki fitur khusus untuk musisi. Arc Yellow punya akun di sana. Tapi tidak cukup buat Gilang. Ia mau bandnya didengar banyak orang. Radio menawarkan kesempatan tersebut.

“Radio punya event offline yang bagus. Itu juga jadi pemicu buat band gua,” ujarnya.

Tahun 2011, Arc Yellow merilis album Mammals. Dexter Records sebagai label yang menaungi mereka, membuatkan press kit yang benar.

Akhirnya mereka tembus di salah satu radio di Kota Bogor. Materi Mammals diputar pukul 22.00 dan hanya satu malam.

“Gua langsung jemawa,” aku Gilang. “Gua bilang ke teman-teman, gua minta mereka dengerin, eh lagu udah enggak ada.”

Gilang ingat, penyiar sempat bilang begini ke pendengar: kalau mau lagu ini diputar kembali, lo request sebanyak-banyaknya.

“Gua request sendiri lewat SMS. Dalam sehari bisa sebelas kali SMS dengan nomor yang sama,” ujar Gilang.

Dalam upaya menembus promosi radio, Gilang pernah didatangi seseorang dari salah satu radio swasta. Orang itu menawarkan Gilang kartu tarif promosi di radio tersebut.

Tarifnya beragam. Mulai dari Rp 7 juta, Rp 10 juta, dan Rp 15 juta. Masing-masing tarif memiliki keunggulan durasi tayang dan jadwal penayangan. Gilang menolak tawaran tersebut.

“Gua bukan yang ingin cepat nyala. Gua lebih step by step tapi longlast. Gak mesti beli kesempatan juga,” ujarnya.

Selang tiga tahun merilis Mammals dan bermodalkan musik video dari album yang sama. Kepercayaan diri mereka untuk menembus radio meningkat. Gilang ke Oz Radio Jakarta. Mencoba peruntungan kembali. Akhirnya, mereka berhasil promo di program Substereo.

“Gua masih dendam sama yang dulu,” ujarnya. “Sekarang gua punya kualitas sound yang baik. Lumayan paham cara memperkenalkan band dengan tulisan.”

Lain lagi dengan Prasetyo Bimo atau lebih dikenal dengan nama panggung, Elegi, tak mengenal konsep promosi musik di radio. Baginya promosi musik mestilah dari menaklukkan satu panggung kecil ke satu panggung kecil lainnya, sampai menuju panggung yang lebih besar, dan mengorganisir album tur sendiri. Satu cara yang menurutnya terilhami oleh band-band bawah tanah lokal.

“Gua terbentuk dari situ,” ujarnya, pada 31 Maret 2022. “Gua enggak datang dari budaya band yang gitu [promosi di radio].”

Ketika Elegi merilis debut album "Merayakan Sepi" tahun 2018. Manajer Elegi ketika itu, Kamil, menyarankan Bimo untuk menjajal promosi di radio. Bimo kadung pesimistis.

Ia menilai industri radio sedang goyah dan butuh perputaran bisnis yang menjanjikan. Elegi masih terlalu kecil dan tidak mampu menggaet audiens. Radio pasti mengutamakan band besar, pikirnya.

“Di pikiran gua, kalau masuk radio harus ada hal menarik dan diperbincangkan. Karena kan audio. Itu kesulitan gua dan enggak percaya duluan. Mau ngapain ke radio. Mau ngomongin apa,” ujarnya.

Setelah proses diskusi dan pertimbangan, Elegi mengirimkan materi promo ke beberapa radio. Salah dua radio yang merespons cepat, Oz Radio Jakarta dan Trax FM.

Bahkan Oz Radio Jakarta mengundang Elegi tampil sekaligus interview di Substereo. Dan ketakutan Bimo terbantahkan.

“Ketika itu zamannya akustik. Mungkin Oz lebih buka kesempatan itu. Jadi gua di Substereo. Elegi kebantu karena trennya,” ujar Bimo menjelaskan faktor mampu menembus radio. “Album pertama itu juga gua ngomongin patah hati dan itu, kan, radio friendly banget.”

Ketika Elegi merilis album "Musim Jatuh" pada 2022. Bimo kembali mengirimkan materi promosi ke beberapa radio. Trax FM Semarang menjadi yang tercepat merespons. Lagu Elegi diputar dan diulas.

Namun, dampak dari promosi di radio tidak terlalu signifikan. Jumlah pendengar dan pengikutnya di media sosial tak bertambah massif. Paling followers gua cuma bertambah satu, kata Bimo.

“Impactnya cuma buat promosi setelahnya. Bahwa gua abis ke radio; gua abis ke tempat yang lebih besar dari gigs gua,” ujarnya.

Mendengar Radio di Era Digital

Rendy mengambil radio kaset merek Sony dari dalam kamar. Ia letakkan di ruang tengah rumahnya. Benda itu berwarna hitam dan berdebu dan nampak usang. Tapi masih berfungsi.

Jemari Rendy memutar-mutar knop. Maju-mundur. Mencari frekuensi yang ia mau. Suara transisi dari satu frekuensi ke frekuensi lain menimbulkan sensasi berbeda.

“Gua penikmat suara. Gua suka lo-fi, gemeresek radio, noisenya. Ada untuk tuning biar enak,” ujarnya sembari berupaya mencari siaran radio favorit. “Karena gua juga suka benerin tape. Gua masih muterin radio.”

Rendy sudah tidak lagi menganggap radio sebagai sarana mencari eksistensi diri dan menambah referensi musik. Bahkan ia sudah jarang mendengarkan radio.

Kemudahan pola komunikasi dan perkembangan teknologi dan media sosial menjadi penyebab itu semua. Untuk terkoneksi dengan penyiar favorit misalnya, Rendy bisa berkirim pesan langsung ke akun media sosial penyiar itu.

Terkadang suasana hati Rendy bisa acak. Perasaannya berbalik ke masa lalu, di situasi ia rajin nongkrong di warung sembari mengobrol dengan teman, sayup-sayup terdengar suara siaran radio dari tape pemilik warung. Jika sudah begitu, ia mulai menghidupkan radio.

“Gua dengerinnya radio AM, yang puterin dangdut,” ujarnya. Semata-mata untuk merekonstruksi kenangan. “Nostalgianya ada.”

Selain itu, radio menjadi tempat Rendy rehat sejenak dari kemudahan mengakses musik di era sekarang. Adakalanya, Rendy ingin mendengarkan musik di luar kebiasaan dan membiarkan pengaruh-pengaruh dari luar masuk ke telinganya.

“Playlist gua, kan, ego gua. Di Spotify, gua tinggal ketik yang gua mau. Tapi radio, gua dapat feels yang bukan ego gua. Itu gapapa. Genrenya bukan yang gua, tapi enak,” ujarnya.

Begitu juga dengan April yang mulai jarang mendengarkan radio. Radio hanya hadir saat April senggang; ketika perjalanan pulang kerja atau di pagi hari usai mandi.

Ia memilih menikmati siniar (podcast) atau mendengarkan musik dari Spotify. Selain ia punya kedaulatan penuh atas pilihan musik. Dua medium tersebut dinilai April lebih jernih ketimbang siaran radio.

Namun, April masih mengungguli radio.

“Interaksinya, radio dua arah. Meski podcast ada bintang tamu. Tapi radio melibatkan pendengar, Itu nggak bisa diganti,” ujarnya.

Promosi Musik di Radio Saat Ini

Setelah materi Mammals tembus diputar radio. Gilang merasakan dampaknya; Arc Yellow banyak tawaran manggung dan koneksi baru, khususnya di Jakarta Selatan.

Ketika Arc Yellow rilis album Oh Well Nothing pada 2018. Radio mulai gantian jemput bola. Lagu Arc Yellow diputar di mana-mana. Meskipun mayoritas radio tanpa gelombang. Menurut Gilang, ada faktor masifnya aktivitas band di media sosial sendiri dan ulasan di portal musik.

Namun pada momentum tersebut, perspektif Gilang soal radio mulai bergeser. Ia tak lagi melihat radio konvensional sebagai sarana promosi yang utama. Ia tidak lagi berambisi untuk bisa direspons radio.

“Karena hegemoninya sudah beda. Dulu mungkin senang. Sekarang lebih senang repost Spotify, Bandcamp, atau banyak total play di Soundcloud,” ujar Gilang.

Kemunculan radio tanpa gelombang dengan segmentasi pasar yang lebih spesifik, semisal RURUradio atau Synchronize Radio, menjadi alternatif Gilang untuk melakukan promosi band.

Sementara Bimo dari Elegi merasa radio masih relevan untuk promosi musik. Asalkan band tau strategi dan formulanya.

“Efektif kalau paham bidangnya. Kalau lo dibekingin label gede, secara bisnis mereka ngerti. Kalau mereka nggak punya dua itu. Balik lagi cuma untuk naikin martabat band, ‘si Bimo udah dipanggil di radio’,” ujarnya.

Relasi antara band dan radio memang sudah tidak semesra era pradigital. Idhar Resmadi, seorang penulis musik sekaligus Dosen Komunikasi Universitas Telkom, mengakui hal tersebut.

Ketika tahun 90-an radio menjadi sarana promosi paling efektif. Faktor utamanya, biaya promosi di radio lebih murah ketimbang di televisi. Radio juga lebih mudah diakses semua kalangan.

Para musisi seolah berkewajiban untuk promosi di radio, bahkan terbentuk tradisi tur radio. Menurut Idhar, hal tersebut yang membedakan radio dengan media lainnya. Tidak ada tuh tur majalah, kata Idhar.

“Radio tuh kayak anak emasnya industri musik,” ujar Idhar kepada Tirto, Kamis (31/3/2022).

Namun sekarang, menurut Idhar, terjadi perubahan pola kreatif di band dan musisi. Kehadiran media sosial memungkinkan band melakukan promosi lebih awal sebelum karya mereka benar-benar rilis untuk publik. Mereka bisa merilis cuplikan karya, sebagai jembatan menuju rilisan utama.

Berbeda dengan skema band dulu, mereka melakukan promosi di akhir. Mereka mengutamakan rekaman rampung, produksi rilisan fisik, dan memasarkan ke media.

“Sebagai promosi, tetap digital yang utama. Promosi radio bukan jadi goals utama musisi sekarang,” ujarnya. “Radio sekarang jadi perpanjangan tangan saja.”

Radio Belum Mati

Kehadiran media sosial bukan berarti ancaman bagi industri radio konvensional. Terlebih lagi dalam konteks promosi musik. Aulia Ramadhan, Announcer & Produser Program Substereo Oz Radio menilai, media sosial justru bisa mendukung kerja-kerja radio: untuk mengabarkan episode terbaru Substereo ke Instagram dan merilis kembali sesi ulang band ke Youtube.

Kehadiran podcast dan radio tanpa gelombang juga tidak menjadi ancaman bagi radio konvensional. Sebab menurut Rama, cara kerjanya masih sama. Radio konvensional bisa juga menjelma podcast; caranya dengan mengunggah ulang siaran ke layanan digital. Dan radio konvensional juga sudah bisa didengar tanpa gelombang di situs web.

“Balik lagi, gimana caranya kita bisa berkolaborasi dengan digital dan ikuti terus perkembangannya,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (31/3/2022).

Melihat hubungan radio dan musik. Rama menilai radio masih dipercaya menjadi sarana yang efektif untuk memperkenalkan musik. Ukurannya sederhana, masih banyak band yang mengirim siaran pers ke Oz Radio.

“Mereka tetap menyasar pasar yang mendengarkan radio. Dan radio jadi media promo paling murah saat ini,” ujarnya.

Untuk promosi di Substereo Oz Radio misalnya, menurut Rama band atau musisi tidak perlu mengeluarkan uang. Mereka cukup menghasilkan karya yang bagus. Nanti tim Oz akan melakukan kurasi. Jika sesuai, mereka bisa tampil cuma-cuma.

“Selama karyanya bisa dipertanggungjawabkan, ya lo promo,” ujarnya.

Rama juga optimistis industri yang sudah ia geluti sejak 2011 akan terus bertahan. Selain itu, peran radio, sedari dulu hingga kini tetap relevan dan mengikuti perkembangan zaman. Tak heran, masih diperingati Hari Penyiaran Nasional yang jatuh 1 April 2022, radio juga menjadi tonggak sejarah lahirnya peringatan ini.

Berkelindan dengan semangat itu, Nielsen pernah merilis hasil laporan pada 2016. Laporan tersebut berjudul "Radio Masih Memiliki Tempat di Hati Pendengarnya."

Nielsen Radio Audience Measurement mencatat meskipun internet tumbuh pesat pada kuartal ini, tidak berarti jangkauan pendengar radio menjadi rendah. Pada kuartal ketiga tahun 2016, penetrasi radio masih 38 persen, sedikit di bawah internet pada angka 40 persen.

Angka penetrasi ini menunjukkan radio masih didengarkan oleh sekitar 20 juta publik Indonesia. Para pendengar menghabiskan rata-rata waktu 139 menit per hari.

Sampai akhir tahun 2016, penetrasi radio berada pada angka 37,6 persen. Angka penetrasi itu diperoleh Nielsen dari survei di 11 kota, yakni Bandung, Banjarmasin, Denpasar, Jakarta, Makassar, Medan, Palembang, Semarang, Surabaya, Surakarta, dan Yogyakarta.

Sepanjang 2016 hingga 2018, penetrasi radio turun perlahan dari 37,6 persen menjadi 34,3 persen pada 2018. Namun, data hasil survei Nielsen pada 2019 menunjukkan ada kenaikan menjadi 36,3 persen.

“Media yang bertahan paling lama di dunia, cuma radio. Karena operasional lebih murah, mudah diakses, ekonomis. Biaya yang lo keluarkan untuk dengar, cuma listrik,” ujar Rama.

Baca juga artikel terkait RADIO atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Musik
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri