Menuju konten utama
TirtoEco

Nestapa Nelayan di Negara Maritim

Negara maritim, yang harusnya jadi surga bagi para nelayan, justru menjelma perangkap. Pencemaran, industri, hingga reklamasi, merampas penghidupannya.

Nestapa Nelayan di Negara Maritim
Suara dari mesin kapal nelayan tradisional di Cilincing Jakarta Utara yang terdengar ketika usai adzan Subuh berkumandang. Setiap harinya, ratusan nelayan di kawasan itu menjalani rutinitasnya, melaut, dari pukul 04.30 WIB hingga pukul 11.30 WIB. Foto/Sigit Kurniawan

tirto.id - “Yang pasti, kita negara maritim yang sangat gagal,” demikian kritik tajam yang sempat disampaikan Rignolda Djamaludin, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, ketika mengomentari kondisi kelautan Indonesia.

Pernyataan Rignolda di atas merujuk pada kegagalan negara dalam melindungi nelayan kecil. Padahal, mandat perlindungan terhadap nelayan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016.

Di negara kepulauan seperti Indonesia, nelayan bukan sekadar profesi, melainkan pengelola sumber daya alam dan garda terdepan dalam dinamika kehidupan pesisir. Atas peran strategis nelayan, sudah semestinya kebijakan pembangunan maritim memberi perhatian utama pada mereka.

Namun, kenyataan di lapangan jauh dari ideal. Di banyak wilayah pesisir, nelayan tradisional menghadapi tekanan berlapis, misalnya lewat reklamasi dan industrialisasi pantai yang merenggut penghidupan mereka.

Dua aktivitas tersebut sering berjalan beriringan. Reklamasi menciptakan ruang baru yang kemudian dilanjutkan oleh industrialisasi (mengisi ruang tersebut dengan fungsi ekonomi). Lihat contohnya dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di pesisir Kendal, Jawa Tengah, yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2019.

Proyek reklamasi dan industrialisasi pantai itulah yang sering kali menyingkirkan ruang hidup nelayan. Salah satunya lewat perampasan ruang hidup dan wilayah tangkap ikan yang telah ditekuni oleh nelayan turun-temurun. Akibatnya, tak sedikit dari mereka yang hidupnya tersudutkan dan memilih gantung jala.

Berbondong-bondong Meninggalkan Profesi Nelayan

Data Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2021 mencatat tren penurunan jumlah nelayan di Indonesia selama satu dekade terakhir. Pada 2010, jumlah nelayan tercatat mencapai 2,16 juta orang. Namun, angkanya menyusut menjadi 1,83 juta orang pada 2019. Artinya, dalam rentang sembilan tahun, lebih dari 330 ribu orang meninggalkan profesi ini.

Tak hanya itu, berdasarkan rilisan terbaru Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2024, jumlah unit penangkapan ikan di laut mengalami penurunan terus-menerus selama 2020-2022. Pada 2020, jumlahnya mencapai 1.290.500, tetapi kemudian merosot tajam ke angka 944.559 (2022).

Anjloknya jumlah unit penangkapan ikan turut memengaruhi jalannya rumah tangga/perusahaan perikanan tangkap di laut. Bisnis rumahan yang bergerak di sektor perikanan laut merosot konstan selama periode itu, dari sebelumnya menginjak angka 963.540 menjadi 920.222.

Penurunan di berbagai aspek dalam perikanan laut tidak terjadi tanpa sebab. Di banyak daerah, nelayan mulai kehilangan akses terhadap wilayah pesisir akibat dari pembangunan industrial. Seolah tutup mata, hal itu secara eksplisit mengabaikan hal paling mendasar bahwa nelayan adalah bagian dari ekosistem laut.

Ketika ruang hidup nelayan tergerus, yang terancam bukan hanya mata pencaharian, tetapi keseluruhan cara hidup yang selama ini menopang keberlanjutan wilayah pesisir.

Alih Fungsi Pesisir Jadi Reklamasi

Bagi para nelayan, laut dan pesisir kini terasa makin sempit. Bukan karena garis pantai yang menyusut, tetapi karena akses mereka di pesisir terus dibatasi

Dalam beberapa tahun terakhir, ruang hidup nelayan tradisional makin terdesak oleh proyek-proyek pembangunan skala besar.

Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), setidaknya 747.363 keluarga nelayan telah terdampak langsung proyek reklamasi pesisir. Itu tak lepas dari peningkatan proyek reklamasi secara besar-besaran. Pada 2020, luas wilayah reklamasi mencapai 79.348 hektar. Mirisnya, pada 2040, angkanya diproyeksikan melonjak drastis menjadi 2.698.734 hektar.

REKLAMASI TELUK JAKARTA 2017

Nelayan melihat dinding batu Pula D Reklamasi Teluk Jakarta, Jakarta, Selasa (31/10/2017). tirto.id/Arimacs Wilander

Jika merujuk pada data WALHI di atas, artinya, arah pembangunan tidak pernah berpihak pada masyarakat pesisir. Hal itu juga selaras dengan studi yang dipublikasikan di jurnal Sustainability (2024). Proyek kawasan pesisir di berbagai negara Eropa, Amerika, dan Australia, sering kali lebih menekankan fungsi estetika, pariwisata, dan rekreasi.

Pengabaian terhadap kebutuhan fungsional masyarakat setempat, termasuk nelayan, membuat tata ruang pesisir mengalami perombakan besar. Komunitas nelayan terdorong keluar dari ruang hidupnya. Akses mereka ke laut makin terbatas. Aktivitas ekonomi yang menopang kehidupannya pun ikut tergerus.

Dinamika semacam itu tak hanya terjadi di Indonesia serta negara-negara Eropa, Amerika, dan Australia, sebagaimana disebutkan dalam penelitian di atas. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara pun menghadapi persoalan serupa. Contohnya Malaysia.

Studi bertajuk “Impacts of Coastal Land Reclamation on the Fisheries of Mukim Lekir” menunjukkan tingginya dampak reklamasi terhadap kehidupan nelayan di kawasan pesisir Mukim Lekir, Malaysia. Meski lahan yang direklamasi dari 1997 hanya mencakup lima persen dari total area yang direncanakan, dampaknya terhadap komunitas pesisir sangat signifikan. Kawasan mangrove di sekitar lokasi reklamasi mengalami kemerosotan.

Selain itu, stok ikan menurun tajam, terutama yang berada dekat dengan lokasi proyek. Pemantauan stok ikan pada 2002–2003 mengindikasikan tren penurunan populasi yang telah berlangsung sejak 1996. Penurunan paling besar terjadi pada jenis ikan komersial, yaitu ikan yang ditangkap nelayan untuk diperjual-belikan.

Studi tersebut juga mencatat kerugian akibat hilangnya fungsi mangrove, diperkirakan mencapai RM 81.959 per tahun atau setara dengan Rp314 juta per tahun. Sementara itu, total akumulasi kerugian yang dialami masyarakat selama enam tahun pertama diperkirakan mencapai RM 118,3 juta atau setara dengan Rp453 miliar.

Proyek reklamasi memang diakui sempat membawa keuntungan ekonomi di tahap awal pengembangannya. Akan tetapi, manfaat tersebut hanya bersifat sementara. Studi di Tianjin Binhai, Tiongkok, yang terbit di Scientific Reportspada 2017 membuktikan fakta tersebut.

Dalam kurun 2005–2010, reklamasi tercatat berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan sekitar. Pertumbuhan reklamasi berlangsung pesat, terutama untuk pembangunan lahan industri. Korelasinya dengan pertumbuhan ekonomi warga sekitar dapat dilihat dari Produk Domestik Brutonya (PDB).

Namun, pada saat bersamaan peningkatan ekonomi itu juga diiringi oleh loncakan pencemaran air.

Selain itu, sejak 2011, penelitian tersebut mencatat tren penurunan ekonomi di sekitar wilayah reklamasi. Pada akhirnya, seiring waktu, keuntungan ekonomi reklamasi terus menurun, sementara dampak ekologisnya kian parah.

Perampasan Wilayah Tangkap Nelayan Kecil

Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah ungkapan yang tepat untuk nasib nelayan kecil di wilayah pesisir Indonesia.

Setelah ruang hidupnya di pesisir terdesak oleh proyek reklamasi dan industrialisasi pantai, ruang gerak mereka di laut pun tidak luput dari ancaman.

Kapal-kapal besar milik industri berteknologi tinggi mendominasi wilayah tangkap di laut. Kondisi itu menciptakan persaingan yang tidak setara. Akibatnya, nelayan kecil kian terpinggirkan.

Ketimpangan tersebut tecermin dalam laporan Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) pada 2022. Kapal penangkap ikan industri sering kali menguras sumber daya di wilayah pesisir sehingga mengurangi ketersediaan ikan bagi nelayan kecil.

Hingga kini, ketimpangan antara nelayan kecil dan industri besar masih berlangsung di Indonesia. Salah satu aspek penting yang memperkuat ketimpangan ini adalah regulasi tentang definisi nelayan kecil.

Definisi nelayan kecil sejatinya diatur dalam beberapa peraturan di Indonesia. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2017 mendefinisikan nelayan kecil sebagai individu yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Mereka bisa menggunakan kapal penangkap ikan berukuran tidak lebih dari 10 gross ton (GT). Pengukuran GT dilakukan melalui volume kapal yang ditentukan berdasarkan volume ruang tertutup di atas dan bawah geladak kapal.

Dalam sistem hukum Indonesia, definisi itu memberikan sejumlah keistimewaan. Salah satunya adalah pembebasan dari kewajiban administratif, termasuk perizinan penangkapan ikan. Dengan kata lain, nelayan kecil dibebaskan dari pengurusan lisensi dan pelaporan tangkapan secara berkala.

Namun, studi yang terbit di Marine Policy pada 2019 mengingatkan bahwa celah itu bisa disalahgunakan oleh korporasi besar.

Kapal berukuran di bawah 10 GT justru kerap digunakan oleh pelaku industri perikanan skala besar untuk menghindari regulasi dan pengawasan pemerintah. Akibatnya, kapal milik industri besar dapat beroperasi dengan status sebagai nelayan kecil, padahal secara teknologi dan kapasitas tangkap jauh melampaui nelayan kecil.

Situasi itu merugikan nelayan kecil yang benar-benar bergantung pada alat tangkap sederhana. Nelayan kecil tradisional bukan hanya kalah bersaing, tapi secara perlahan tersingkir dari laut yang telah menjadi ruang hidupnya turun-temurun.

Dengan definisi hukum yang longgar dan minim pengawasan, kebijakan tersebut gagal melindungi nelayan kecil. Regulasi yang ada justru dapat memberi ruang bagi pihak yang lebih kuat untuk mengambil alih dengan manipulasi.

Baca juga artikel terkait KERUSAKAN LINGKUNGAN atau tulisan lainnya dari D'ajeng Rahma Kartika

tirto.id - TirtoEco
Kontributor: D'ajeng Rahma Kartika
Penulis: D'ajeng Rahma Kartika
Editor: Fadli Nasrudin