Menuju konten utama

Omong kosong Ekspor Pasir Laut dapat Menyejahterakan Nelayan

Alih-alih menyejahterakan nalayan, bisnis pasir laut justru menciptakan kerusakan dan kerugian sosial ekologi.

Omong kosong Ekspor Pasir Laut dapat Menyejahterakan Nelayan
Ilustrasi Ekspor Pasir Laut. foto/IStockphoto

tirto.id - Presiden Joko Widodo menegaskan, komoditas yang dapat diekspor melalui Permendag Nomor 20 Tahun 2024 pada 29 Agustus 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 tahun 2023 tentang Barang Yang Dilarang Untuk Diekspor dan dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor adalah sedimen yang mengganggu jalannya kapal dan bukan pasir laut. Namun, pada praktiknya, ketika sedimen dikeruk, pasir laut yang berada di lapisan atasnya akan ikut terambil.

Akibatnya, keseimbangan ekologi laut, khususnya di wilayah pusat pengerukan sedimen maupun pasir laut akan terganggu. Padahal, dalam ekosistem laut, pasir mempunyai fungsi sebagai habitat banyak organisme lautan.

"Pasir di ekosistem laut menjadi tempat hidup organisme yang hidup di dasar perairan dan memiliki peran penting dalam ekologis. Seperti daur mineral yang secara langsung dapat memengaruhi kelangsungan proses ekologis. Dengan adanya kegiatan ini dapat merusak pasir sebagai habitat organisme," kata Sapto Andriyono, dosen Biologi Kelautan, Akuakultur, dan Ekologi Molekuler Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, dalam keterangannya kepada Tirto, Kamis (26/9/2024).

Selain itu, kata dia, lokasi tempat pengerukan pasir laut akan mengubah bentuk topografi pantai dan merusak kapiler air laut, sehingga mengubah arus air. Pada saat yang sama, penambangan secara masif jelas akan mengubah garis pantai

"Membuat air laut semakin naik ke daratan. Hal ini yang menyebabkan sulitnya mendapatkan air tanah yang tawar di wilayah pesisir. Sehingga, penyediaan air bersih untuk kegiatan rumah tangga menjadi sulit dilakukan," imbuh Sapto.

Dengan semakin jauhnya bibir pantai dari laut, artinya jarak untuk nelayan melaut makin jauh. Akibatnya, ongkos transportasi yang harus dikeluarkan nelayan juga kian membengkak.

"Dan pasti terdapat perubahan alat tangkap, menyesuaikan dengan lokasi penangkapan ikan,” ungkapnya.

Dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, Sapto menyarankan agar pemerintah mencabut aturan ini dan tegas melarang ekspor sedimen laut.

"Pemerintah harus tegas dalam menghentikan segala bentuk kegiatan yang akan banyak merugikan lingkungan daripada manfaatnya. Masyarakat tentu harus ikut andil dalam mengawal jalannya kebijakan ini," sambungnya.

Sementara Peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Universitas Trilogi Jakarta, Muhamad Karim, mengatakan potensi kerusakan ekosistem pesisir dan laut yang terdapat di area pengerukan/penambangan pasir laut beserta area penyangganya masih belum dapat dihitung secara akurat. Pun dengan potensi kerugian negara yang juga belum bisa diakumulasikan untuk mengembalikan dan merehabilitasi kerusakan sosialekologis di wilayah pengerukan/penambangan pasir laut.

Namun yang pasti, kata dia, penambangan pasir laut merupakan tindakan eksploitasi dan ekstraktivisme manusia di daerah hulu sungai dan pesisir yang masuk ke perairan laut. Pada akhirnya, kebijakan ekspor sedimen laut hanya akan membuat nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan akibat stok ikan mengalami deplesi dan nelayan harus melaut lebih jauh.

"Jika ada yang menyebutkan bisnis pasir laut akan menyejahterakan nelayan, itu hanya omong kosong. Karena bisnis pasir laut ini menciptakan kerusakan dan kerugian sosial ekologi. Kebijakan PP 26/2023 dan Permendag No. 21 tahun 2024 bukan solusi mengelola dan mengatasi sedimentasi di laut," tegas Karim, kepada Tirto, Kamis (26/9/2024).

Sementara itu, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyebutkan pengusaha adalah satu-satunya pihak yang diuntungkan dari ekspor pasir laut. Hal ini terlihat dari langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tengah mengkaji dan menyeleksi 66 perusahaan yang telah mengajukan izin untuk ekspor pasir laut. Bahkan, proses pengkajian dan seleksi tersebut dilakukan oleh KKP tanpa ada transparansi dan keterbukaan kepada publik.

"Ini membuktikan bahwa ada dugaan kesengajaan untuk menutupi proses

yang seharusnya transparan, serta menutupi perusahaan yang akan mendapat izin beserta rekam jejaknya,” jelas Susan.

Baca juga artikel terkait EKSPOR PASIR LAUT atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi