Menuju konten utama
Mozaik

Nasi, Menu yang Selalu Dipesan Pemerintah Urusan Pangan

Nasi seperti anak emas. Setiap kali muncul kebijakan kedaulatan pangan, nasi dipampang di depan, diunggulkan. Begitu juga ketika proyek MBG dijalankan.

Nasi, Menu yang Selalu Dipesan Pemerintah Urusan Pangan
Ilustrasi Ketahanan Pangan Nasi. foto/istockphoto

tirto.id - Sedari masa Sukarno sampai Joko Widodo, tugas dan wewenang lembaga yang mengurusi kelangsungan pangan selalu berubah-ubah, mulai dari misi menjalankan ketahanan pangan, ekspor-impor, sampai menangani krisis pangan pokok.

Namun, perubahan semacam itu terkesan mubazir lantaran tak benar-benar mengubah ketergantungan pemerintah terhadap satu jenis tanaman pangan: padi. Apalagi, hampir di setiap kebijakan kementerian terkait, padi selalu dilibatkan. Bak anak emas, padi selalu mendominasi pangsa pasar masyarakat.

Pada 1948, Sukarno menerima proposal dari Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono, Menteri Persediaan Makanan Rakyat (PMR), terkait sebuah proyek ambisius yang disiapkan untuk program swasembada pangan. Kementerian yang dibentuk atas rekomendasi Wakil Presiden Mohammad Hatta tersebut lain tugas dan wewenang dari Badan Persediaan dan Pembagian bahan Makanan (PPBM).

Hatta menegaskan, “Usahanya (PMR) bukan mengumpulkan dan membagikan barang-barang makanan, tapi berusaha supaya rakyat dapat makanan yang cukup,” sebagaimana dilaporkan surat kabar Nasional, 16 Februari 1948.

Proyek intensif PMR yang akrab di telinga sebagai Kasimo Plan itu bertujuan memperbanyak varietas bibit unggul. Sisi ekstensifnya, lahan-lahan terbengkalai di Sumatra dicanangkan untuk sinergi dan optimalisasi produksi.

Dari segala macam varietas bibit unggul yang dikembangkan, pemerintah hanya memasok satu jenis tanaman unggulan, yakni padi. Seakan-akan padi yang ditanak jadi nasi adalah satu-satunya pangan yang bisa dimakan.

Obsesi terhadap nasi kian menjadi-jadi. Bahkan, subsidi PMR yang diselipkan Sukarno untuk menambah komponen “pendapatan” pegawai negeri, militer, polisi, dan golongan pemerintah lainnya, adalah beras. Karenanya, PMR juga diberi kewenangan mengatur serta menentukan harga pokok beras yang beredar nasional.

Sayangnya, menurut catatan Pierre van der Eng dalam "Food Supply in Java during War and Decolonisation, 1940-1950", sinergi antara PMR maupun PPBM tak berjalan optimal. Urusan birokrasinya juga dianggap ribet dan menghambat arus distribusi.

“Nilai riil harga pembelian PPBM terus terkikis oleh inflasi. Beras yang dibeli gagal mencapai tujuan [distribusi], karena ketidakmampuan dan persaingan dari otoritas terkait. Pejabat pemerintah daerah menghalangi pengiriman karena mereka ingin memenuhi kebutuhan daerah terlebih dahulu, sebelum mengizinkan beras dikirim ke tempat lain,” tulis van der Eng (hlm. 58).

Di kabinet selanjutnya, Sukarno mendirikan Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) pada 1956. Yayasan inilah yang menjadi cikal bakal Badan Urusan Logistik (BULOG), lembaga penyedia pangan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia.

Namun, referensi lain, Harold Crouch dalam Militer dan Politik Indonesia (1986: 313) menyebut, BULOG adalah lembaga yang bercikal bakal dari Komando Logistik Nasional (Kolognas). Lembaga ini merupakan hasil dari Keputusan Presidium Ampera Nomor 87 Tahun 1966, lembaga perdana yang dibentuk Soeharto di awal periode jabatannya.

Lepas dari itu, dalam buku Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan (2021), Ahmad Arif mengatakan, di ujung tanduk kepemimpinannya, Sang Proklamator mulai menyadari bahwa beras bukanlah “solusi tunggal” urusan pangan. Karenanya, dia sempat mewacanakan agar jagung menjadi komoditas nomor kedua yang dapat menggantikan menu nasi.

Walakin, Sukarno terlambat sadar. Warisan terakhir yang disusun Sukarno sewaktu baru melongok diversifikasi pangan lokal adalah buku resep Mustikarasa yang baru terbit pada 1967. Padahal, Sukarno di tahun tersebut sudah tandas dari singgasana. Sementara itu, menu nasi kembali dipesan ketika rezim selanjutnya, Soeharto, menongkrongi istana.

“Kolognas selama tahun 1966 dapat membeli 640.000 ton beras dari dalam negeri dan 308.500 ton beras dari luar negeri,” tulis Achmad Dzaky Siradj dalam 70 Tahun Achmad Tirtosudiro: Profil Prajurit Pengabdi (1992: 216).

Mencoba Beralih Menu dari Nasi

Sebetulnya saat ditunjuk sebagai PMR pada masa Kabinet Hatta I, Kasimo merangkap jabatan sebagai Menteri Kemakmuran. Kala itu, banyak yang menilai bahwa tak ada pejabat yang lebih kompeten mengurus pangan ketimbang Kasimo.

Oleh karena itu, Subakir, wartawan parlementer Antara, dalam Skets Parlementer (1950), menyebut bahwa Kasimo adalah orang yang benar-benar percaya diri terhadap proyek yang digarapnya.

Kasimo memang bukan anak kemarin sore yang menggeluti dunia pertanian. Dia adalah lulusan Middelbare Landbouwschool (MLS) di Bogor, sekolah pertanian menengah atas yang mendidik tenaga ahli pertanian cum kehutanan. Ia juga kenyang pengalaman, mulai dari kerja paruh waktu di bagian administrasi perkebunan karet, pegawai Landbouwvoorligitingsdienst atau Jawatan Pertanian Rakyat (1922-1943), wakil kepala Jawatan Perekonomian Negara Surakarta (1944-1946), hingga pegawai tinggi Kementerian Kemakmuran (1946-1947).

Lewat tulisan bertajuk “Makanan dan Pakaian” yang dimuat majalah Mimbar Indonesia edisi 17 Agustus 1948, Kasimo sempat mengeluhkan ketergantungan pangan masyarakat terhadap nasi. Dia menganjurkan masyarakat agar berkenan “mengubah menu” makanan sehari-hari. Caranya adalah dengan mengurangi penggunaan beras dan mencampurnya dengan palawija untuk senantiasa mencukupi kebutuhan kalori.

Namun dalam imajinasi masyarakat, sulit membayangkan memakan menu selain nasi. Rasa dan karsa yang melekat kuat dalam budaya sehari-hari membuat sarapan seolah tak lengkap jika tak ada nasi di piring. Serupa keyakinan yang santer terlontar di tengah masyarakat, “Belum makan kalau belum makan nasi."

Hal ini tak lepas dari kebijakan sentral pemerintah yang homogen. Sebab, menu nasi sulit tergantikan dalam setiap olahan makanan.

Ilustrasi Ketahanan Pangan Nasi

Ilustrasi Ketahanan Pangan Nasi. foto/istockphoto

Hayu S. Prabowo, dalam artikel “Mengembangkan Aneka Sumber Pangan Lokal Berbasis Komunitas” yang terbit di Jurnal Prisma, mengatakan bahwa ketergantungan yang selama ini diidap masyarakat adalah buah dari didikan yang sentralistik, termasuk pola konsumsi kolektif yang selalu berlandaskan corak pikir homogen.

“Budaya diversifikasi pangan dapat dikatakan telah hilang dengan pesatnya industrialisasi dan penggalangan impor pangan,” tulisnya.

Meski begitu, tak sedikit komunitas lokal yang menyadari substitusi pangan dari nasi menjadi begitu penting. Misalnya prinsip kedaulatan pangan yang dipegang teguh komunitas adat Cireundeu di Jawa Barat. Mereka lebih memilih mengonsumsi beras singkong (rasi) sebagai pangan pokok ketimbang padi.

Penelitian lapangan Roni Fajar Santoso dan Sriwulan Ferindian Falatehan di sana, yang diekspos di Jurnal Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (Vol. 5, 2021: 256-271), menjelaskan, salah satu strategi Cireundeu adalah dengan mendirikan Koperasi Kampung Adat Cireundeu. Di sana, berbagai macam produk olahan singkong didistribusikan secara kolektif ke masyarakat. Mereka tak menjalin kerja sama dengan pihak mana pun. Karenanya, kontrol harga dan suplai singkong diatur secara mandiri.

Sekalipun mengonsumsi rasi bukanlah kewajiban mutlak, masyarakat Cireundeu tetap punya tanggung jawab melestarikannya sebagai tradisi adiluhung. Mereka tak menolak penyuluhan pertanian variatif yang diselenggarakan pemerintah, tetapi menilai jenis singkong (Garnawis dan Karikil) yang telah dikenal sejak dulu senantiasa menjadi primadona.

Di bentara wilayah seberang, sorgum juga digemari masyarakat di beberapa tempat di Jawa Tengah. Ahmad Arif dalam bukunya, Sorgum, Benih Leluhur untuk Masa Depan (2020), menyatakan bahwa pada 1982, warga Pati mengonsumsi sorgum sebagai pengganti beras kala kekeringan melanda. Namun, fakta tersebut tak serta-merta menobatkan sorgum naik tingkat menjadi pangan pokok.

Di Jawa, sorgum identik dengan makanan kelas dua yang hanya dikonsumsi sewaktu masa paceklik atau gagal panen padi. Di luar waktu tersebut, sorgum hanya berakhir sebagai pakan ternak.

Adapun di wilayah Timur seperti Flores, sorgum justru jadi bintang panggung. Tanaman ini dapat tumbuh subur di segala kondisi, bahkan lahan yang minim air dan kering sekalipun. Ketangguhan sorgum di lahan ekstrem tak perlu diragukan lagi.

Hal serupa berlaku di Papua. Tak ada makanan pokok yang bisa menggantikan sagu. Tanaman ini seakan-akan sudah menjadi ikon khas yang mencirikan adat dan budaya masyarakat Honai. Bahkan, seturut catatan Ahmad Arif dalam buku Sagu Papua untuk Dunia (2019), bagi masyarakat Papua, sagu telah dianggap sebagai “ibu”.

Pemerintah yang Bebal

Walaupun ragam menu selain nasi tampaknya dapat menjadi solusi mengatasi masalah pangan, pemerintah tak pernah benar-benar serius mengembangkan komoditas pangan lokal selain padi.

Soeharto justru makin ugal-ugalan menggalakkan kebijakan swasembada beras di masa 1969-1974. BULOG diberikan kewenangan seluas-luasnya untuk mengimpor beras. Pernyataan yang ditulis oleh Museum Kepresidenan dalam “Presiden Soeharto dan Swasembada Pangan” mengklaim, Indonesia di masa awal Orde Soeharto menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Di sisi lain, produksi beras nasional pada 1969 hanya mencapai 12 juta ton.

Miris melihat nasib negeri agraris, Soeharto menjalankan program Revolusi Hijau pada 1974. Ia memilih menghidupkan kembali Panca Usaha Tani, badan yang didirikan Sukarno pada 1964 tetapi gagal menyelesaikan sengketa pangan. Revolusi Hijau berpayung Panca Usaha Tani menerapkan berbagai terapan kebijakan yang bertujuan “menyelamatkan” pertanian padi: penggunaan bibit unggul, pemupukan kimia, irigasi teratur, proteksi tanaman dari hama dengan pestisida, serta mekanisasi pertanian modern.

Kebijakan Revolusi Hijau di masa Soeharto justru makin meminggirkan komoditas pangan alternatif padi. Masyarakat kian ketagihan terhadap nasi. Laporan yang ditulis Project Multatuliberjudul “Disuapi Dari Bayi Sampai Mati: Dominasi dan Obsesi Pada Nasi” menyebut, pada 1954, konsumsi beras nasional hanya sekitar 53,5 persen, tetapi kemudian naik drastis pada 1981 menjadi 81,1 persen.

Ilustrasi Ketahanan Pangan Nasi

Ilustrasi Ketahanan Pangan Nasi. foto/istockphoto

Peralihan rezim Orde Soeharto ke reformasi juga tak memberikan dampak signifikan. Di masa Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, negara sempat barter dua pesawat PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dengan beras ketan dari Thailand. Alasannya, stok beras di gudang BULOG tak mencapai target akibat musim kemarau panjang.

Di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, kekurangan stok pangan di BULOG juga dijawab lewat impor beras. Kebijakan beras untuk rakyat miskin (raskin) yang sempat diperkenalkan Megawati pada 2003 juga tidak dapat menjadi solusi konkret atas krisis pangan.

Di masa Susilo Bambang Yudhoyono, ambisi pemerintah terhadap nasi makin menggila. Dia membuat program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang dirintis pada 2010. Kebijakan berupa proyek cetak sawah padi itu justru mempertebal ketimpangan di Papua.

Pada 2018, di rezim Joko Widodo, negara mengimpor beras dengan total 2,25 juta ton, terbesar kedua sepanjang 2000-2021. Mirisnya, sebagian hasil impor beras justru berakhir membusuk di gudang BULOG.

Ketika memasuki awal pemerintahan Prabowo Subianto, program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menargetkan nasi sebagai hidangan utama, yang dianggap menjadi bagian pokok dari unsur empat sehat lima sempurna.

Namun, menurut Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, pada 6 Januari 2025, negara tidak akan mengimpor beras untuk program MBG. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi juga mengklaim, suplai beras untuk MBG akan didatangkan dari Cianjur. Adapun pasokan sayurannya, kata dia, diambil dari petani-petani lokal di Bandung.

Baca juga artikel terkait MAKAN BERGIZI GRATIS atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - News
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin