Menuju konten utama

Poorwo Soedarmo: Bapak Gizi Indonesia, Pencipta 4 Sehat 5 Sempurna

Sebelum menekuni ilmu gizi, Poorwo Soedarmo punya karier panjang sebagai dokter. Mengajar dan aktif menulis tentang masalah gizi di majalah.

Poorwo Soedarmo: Bapak Gizi Indonesia, Pencipta 4 Sehat 5 Sempurna
Ilustrasi Poorwo Soedarmo. tirto.id/FOTO/tokoh.id

tirto.id - Dua alis Poorwo Soedarmo bertaut saat membaca publikasi yang diserahkan oleh resepsionis kepadanya. Dia, dokter kapal SS Polydorus yang melayani kargo Jakarta–Amsterdam, semula hanya ingin mencari informasi lanjutan dari sebuah tulisan yang ia baca di surat kabar Colombo Newspaper di Srilanka.

Informasi tersebut adalah teknik baru pencegahan malaria dengan penyemprotan DDT. Teknik itu belum dikenal di tanah airnya. Poorwo kemudian menghubungi London Postgraduate School of Public Health and Nutrition, sumber tulisan yang dia baca di koran. Kemudian setibanya di Eropa, Poorwo memutuskan mampir ke kampus itu.

Resepsionis dari Departemen Ilmu Nutrisikampus itu kemudian mengajak Poorwo menilik publikasi lainnya. Nona resepsionis menyerahkan lagi tiga publikasi ilmiah. Salah satu di antaranya membahas tentang pola konsumsi kalori dan protein di 50 negara pada 1948.

Publikasi itu menarik perhatian Poorwo. Sebab, dia menemukan data terkait jumlah konsumsi kalori dan protein tanah airnya, Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia berada di peringkat paling bawah.

Poorwo lebih tercengang lagi karena ilustrasi pasien malnutrisi dalam laporan itu ialah saudara setanah airnya yang menjadi korban romusha, dengan ciri khas badan kurus dan tulang menonjol, busung lapar, serta memiliki kecerdasan di bawah rata-rata atau indolen.

“Dan yang sangat mengerikan ialah, bahwa indolensi dianggap sifat dasar orang Indonesia,” kisah Poorwo dalam autobiografinya Gizi dan Saya (1995, hlm. 28).

Saat itu juga Poorwo menyadari pentingnya ilmu gizi bagi tanah airnya yang tak lama lagi akan merdeka. Perkembangan ilmu gizi sudah sedemikian maju, tapi kesadaran gizi di tanah airnya masih sangat rendah. Akan sia-sialah perjuangan untuk merdeka, jika makanan rakyat masih bermasalah dan anak-anak masih mengalami gizi buruk.

Poorwo kemudian bertekad memperkenalkan ilmu gizi di Indonesia. Sebelum kembali bertugas di kapal, Poorwo giat mempelajari berkala dan laporan di London Postgraduate School of Public Health and Nutrition, membaca berbagai literatur, dan mengumpulkan bahan-bahan yang dianggapnya penting untuk dibawa pulang.

Perkenalan tidak terduga dengan ilmu gizi ini sekaligus menandai etape baru dalam kehidupan Poorwo, dari seorang dokter pemerintah dengan kiprah cemerlang menjadi pendidik ilmu gizi yang berdedikasi hingga akhir hayatnya.

Dokter Segudang Pengalaman

Poorwo Soedarmo yang tengah kita bicarakan ini adalah dia yang dikenal sebagai Bapak Gizi Indonesia.

Sebelum dikenal sebagai pakar sekaligus pelopor ilmu gizi di Indonesia, Poorwo punya karier panjang sebagai dokter pemerintah yang berpengalaman bekerja di bawah tiga bendera: Hindia Belanda, pemerintah militer Jepang, dan Republik Indonesia.

Poorwo terlahir sebagai putra kedua di keluarga mantri kopi di Malang pada 20 Februari 1904. Ayahnya, Raden Poerwo Soedirdjo, pernah bersekolah di Dokter Djawa School. Sebagai warga kolonial terdidik, sang ayah yakin bahwa penguasaan bahasa Belanda dan ijazah dari sekolah dasar terbaik adalah modal utama karier yang gemilang. Karena itu, dia tidak setengah-setengah dalam urusan pendidikan formal anak-anaknya.

Di usia 6 tahun, Poorwo dan kakak perempuannya Soekarsi “dititipkan” pada keluarga Indo-Eropa. Poerwo Soedirdjo berharap anak-anaknya terbiasa dengan bahasa Belanda dalam komunikasi. Dua tahun kemudian, Poorwo dan Soekarsi dikirim ke Batavia untuk memulai sekolah.

Semula, mereka disekolahkan di Krueger School di Prapatan. Kemudian saat menginjak kelas lima, mereka dipindahkan ke Europeesche Lagere School(ELS) di Pasar Baru Selatan. Poorwo hanya tiga bulan di ELS Batavia karena kemudian dipanggil pulang ke Malang dan disekolahkan ke ELS Malang.

Usai lulus dari ELS, Poorwo memberanikan diri mengikuti jejak paman-pamannya yang menjadi dokter. Masuklah dia ke STOVIA pada 1917. Poorwo mengaku beruntung bisa diterima dan lulus tepat waktu.

“Bayangkan, dari 400 calon, hanya 20 saja yang lulus. Dari 20 siswa ini hanya 4 orang saja [yang] selesai dalam waktu 10 tahun, sedangkan yang lain lulus [sebagai] dokter memerlukan waktu lebih dari 10 tahun,” ungkap Poorwo (hal. 4).

Di STOVIA, Poorwo pun tumbuh sebagai seorang nasionalis. Dia juga turut menyaksikan lahir dan tumbuhnya ide Indonesia Merdeka di paruh pertama dekade 1920-an.

Usai menyabet gelar dokter pada 1927, Poorwo bekerja di bagian penyakit kulit dan kelaminCentrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ). Tidak sampai setahun bekerja di Batavia, Poorwo ditugaskan ke Bangka Tin Winning(kini PT. Timah) yang berlokasi di Toboali.

Di sana, Poorwo tak hanya melayani kebutuhan kesehatan para pekerja tambang timah, melainkan juga penduduk sekitar area tambang. Satu setengah tahun kemudian, dia dipindahtugaskan ke kota kelahirannya, Malang.

Itu bukan terakhir kalinya Poorwo dimutasi. Sepanjang kariernya di masa Kolonial, Poorwo pernah pula bertugas di Cirebon dan kemudian Cianjur.

Di masa Pendudukan Jepang, Poorwo diangkat menjadi Kepala Dinas Kesehatan Banten merangkap dokter karesidenan. Tapi, jabatan itu tidak berarti karena praktik kedokterannya tidak berjalan selagi wabah penyakit dan tewasnya para pekerja romusha dalam jumlah besar setiap hari. Poorwo mengakui, macetnya praktik itu lebih dikarenakan usaha agar tak dicurigai pemerintah Jepang.

“Kita harus berjaga-jaga, jangan sampai membuat sesuatu yang dianggap salah oleh tentara Jepang, karena kesalahan dihukum dengan penganiayaan dan pembunuhan,” kenang Poorwo.

Praktik kedokteran dan perumahsakitan baru benar-benar bangkit saat kemerdekaan diproklamasikan dan revolusi mulai berkobar pada 1945. Kala itu Poorwo berposisi di Serang, Banten. Namun, pelayanan kesehatan lagi-lagi macet kala Belanda merangsek masuk dan merebut Serang sekitar akhir 1948.

Jabatan terakhir Poorwo di Serang ialah Inspektur Kesehatan untuk Provinsi Jawa Barat.

Merintis Jalan Ilmu Gizi

Sesudah mengakhiri pekerjaan sebagai pegawai negeri, Poorwo sempat coba melamar kerja ke perwakilan Departemen Kesehatan di Jakarta. Karena tidak ada penempatan, Poorwo mengambil pekerjaan sebagai dokter di kapal kargo SS Polydorus.

Selepas kerja di kapal, Poorwo ditugaskan untuk mengurus pengambilalihan Instituut voor Volksvoeding(IVV) yang menjadi bawahan Eijkman Instituut. Mulai Januari 1950, IVV berganti nama menjadi Lembaga Makanan Rakjat (LMR).

“Pegawainya cukup lengkap: dua orang dokter, seorang ahli biokimia, dan 3 ahli diet lulusan Dietisten School di Holland. Di samping itu ada pula beberapa pegawai bangsa Indonesia, di antaranya ada yang bekerja sejak sebelum Perang Dunia II,” kisah Poorwo (hal. 37).

Poorwo kemudian ditunjuk menjadi ketua LMR. Seturut majalah Historia (No. 19/Tahun II/2014), LMR punya tugas yang lebih luas dari IVV. Selain melanjutkan riset-riset terkait gizi dan kesehatan yang dulu dilakukan oleh IVV, LMR juga ditugaskan untuk melakukan pelatihan dan pendidikan ilmu gizi.

Karenanya, Poorwo kemudian mendirikan Sekolah Ahli Makanan untuk mendidik ahli-ahli diet. Poorwo menyerahkan manajeman penyelenggaraan pendidikan, kurikulum, hingga kriteria kelulusan kepada ahli-ahli gizi bekas IVV. Biaya operasional disediakan langsung oleh LMR dan tenaga administrasi disediakan Kementerian Kesehatan.

Sekolah Ahli Makanan berhasil meluluskan angkatan pertamanya pada Agustus 1951. Sekolah Ahli Makanan kemudian berkembang menjadi Akademi Pendidikan Nutrisionis dan kemudian Akademi Gizi sejak 1966.

Prioritas lain yang tidak kalah berat bagi Poorwo adalah mendidik pemerintah maupun masyarakat agar mempunyai kesadaran gizi yang baik. Untuk menyelesaikan tugas ini, Poorwo menempuh dua cara: mendidik “juru penerangan makanan” yang akan mengampanyekan sadar gizi ke desa-desa dan menulis sendiri berbagai artikel mengenai ilmu gizi.

Cara pertama mulai terlaksana dengan pembukaan Sekolah Juru Penerangan Makanan di kawasan Pasar Minggu pada 1953. Pada tahun yang sama, Poorwo juga mulai mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesi (FKUI). Di luar kegiatan mengajar, Poorwo rajin menulis dan mengasuh rubrik Ruangan Gizi di majalah Star Weekly.

Tulisan pertama Poorwo diterbitkan dalam Star Weekly no. 393 tahun VIII, 11 Juli 1953. Itu berupa reportase Konferensi Nutrition ke-III yang diselenggarakan oleh WHO dan FAO pada 23 Juni sampai 1 Juli 1953 di Bandung. Sejak itu, tulisan-tulisan Poorwo mengalir setiap dua minggu sekali.

Poorwo mengulas macam-macam hal terkait gizi. Mulai dari pola makan orang gemuk, pengaturan gizi untuk ibu hamil, nilai gizi beras, pentingnya sarapan, diet untuk mengurangi berat badan, cara benar memasak sayuran, pola makan lansia, sampai masalah keracunan tempe bongkrek.

Artikel-artikel gizi yang ditulis Poorwo ternyata digemari banyak pembaca. Karenanya, Star Weekly kemudian menjadikan Poorwo sebagai kontributor tetap.

“Yang penting ialah, karangan-karangan itu memenuhi syarat-syarat: keep it hot, keep it simple, keep it true, keep it up-to-date, dan keep it varied,” ungkapnya dalam autobiografi (hal. 59).

Infografik Poorwo Soedarmo

Infografik Poorwo Soedarmo. tirto.id/Quita

Konsep “4 Sehat 5 Sempurna”

Sumbangsih terbesar Poorwo dalam membangkitkan kesadaran ilmu gizi di Indonesia tak lain adalah kampanye “4 Sehat 5 Sempurna”.

Slogan “4 Sehat 5 Sempurna” adalah penyederhanaan atas konsep pola makan yang mencermati kebutuhan nutrisi lengkap, yaitu karbohidrat, lemak, protein hewani dan nabati, mineral, serta vitamin. Slogan yang pertama kali dicetuskan dalam rapat-rapat LMR sekitar 1952-1953 ini mengadopsi program makanan dasar dengan penyesuaian menu makanan rakyat sehari-hari.

Slogan dan gagasan gizi lengkap itu lantas dipopulerkan ke masyarakat dengan menggandeng Kementerian Penerangan. Slogan “4 Sehat 5 Sempurna” dicetak dalam beragam poster dan kemudian dibagikan ke sekolah-sekolah dan instansi kesehatan.

Agar orang tidak berpatokan pada nasi dan lauk-pauk belaka, Poorwo menyediakan ragam alternatif pengganti nasi dan sumber protein yang lebih murah dan terjangkau di poster 4 Sehat 5 Sempurna.

“Sebutan lima sempurna yakni susu memang baik jika dikonsumsi seluruh masyarakat, tetapi karena belum cukup tersedia, hanya diperuntukkan bagi pemulihan orang sakit,” jelasnya (hal. 90).

Lagi pula, harga susu pada dekade 1950-an terbilang mahal. Masyarakat pun sebelumnya tak punya kebiasaan minum susu. Karena itulah, dalam konsep Poorwo, susu hanya menjadi menu komplementer untuk “menyempurnakan” komposisi “4 sehat” dalam sepiring makanan.

Usai delapan tahun memimpin LMR dan lima tahun menjadi dosen ilmu gizi, Poorwo pun dipromosikan menjadi Guru Besar Ilmu Gizi FKUI. Atas promosi itu, Poorwo mengajukan syarat: Bagian Ilmu Gizi harus berdiri sendiri, terpisah dari bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Dekan FKUI saat itu Profesor Soedjono Poesponegoro menyetujui syarat itu dan Poorwo pun dilantik menjadi guru besar pada 5 Juli 1958.

Dua tahun kemudian, Bagian Ilmu Gizi FKUI dibuka secara resmi. Ia kini bertransformasi menjadi Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Poorwo tentu saja didapuk memimpin departemen baru itu.

Karena tugas-tugas Poorwo di UI semakin padat, kepemimpinan LMR pun diserahkan pada dr. Dradjat Prawiranegara pada 1960.

Pekerjaan dan pengabdian Poorwo tidak sia-sia karena masyarakat perlahan mulai memahami pentingnya ilmu gizi. Kampanye gizi pun makin diperluas cakupannya. Atas dedikasinya itu, Poorwo diganjar pengakuan sebagai Bapak Gizi Indonesia pada 1991.

Seluruh pengabdian Poorwo paripurna ketika dia berpulang dalam usia 99 tahun pada 13 Maret 2003.

Baca juga artikel terkait GIZI atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Chris Wibisana
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi