tirto.id - Setelah melewati badai sepanjang 2022, Indonesia akan memasuki 2023 dalam hitungan hari. Dalam konteks ekonomi, tahun depan akan memasuki fase perfect storm. Perfect storm, suatu kondisi krisis terkait ekonomi dan keuangan secara sekaligus dan belum diketahui secara jelas dampak dan skala yang akan terjadi. Bahkan beberapa negara dihadapkan dengan tantangan resesi ekonomi.
Pada prinsipnya, perfect storm ini berupa tantangan ekonomi terkait dengan 5C, yaitu COVID-19, Conflict, Climate Change, Commodity Price, serta Cost of Living. Kondisi ini tercermin diantaranya: pandemi yang berkepanjangan sejak awal 2020, meninggalkan scaring effect yang masih belum selesai.
Selanjutnya, konflik Rusia dan Ukraina masih menjadi isu sentral yang membuat kondisi geopolitik menghadapi ketidakpastian. Kondisi lain, supply chain global mengalami gangguan, dan mengakibatkan harga komoditas fluktuatif. Bahkan kemudian inflasi yang secara global terjadi dan memberikan sentimen negatif terhadap daya beli masyarakat.
Menariknya kemudian, dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2023 pada 21 Desember 2022, Presiden Jokowi, jajaran menteri ekonomi, Gubernur Bank Indonesia (BI) dan juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seluruhnya membangun optimis dalam menatap 2023.
Bahkan pertumbuhan ekonomi ditargetkan kisaran 4,5 persen-5,3 persen oleh Bank Indonesia. Indikator ini menunjukkan optimisme di sela-sela tantangan global yang dihadapi oleh ekonomi dunia.
"Kalau kita lihat dan potret kondisi di lapangan, ada kondisi yang menjadi tantangan ekonomi dan ada kondisi yang menjadi peluang dan keunggulan bagi perekonomian Indonesia," kata Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Ajib Hamdani, di Jakarta Jumat (30/12/2022).
Dari sisi tantangan ekonomi, menurutnya ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama dari sisi pemerintah dan kedua dari sisi dunia usaha.
Dari sisi pemerintah, ada dua hal yang perlu dimitigasi dengan baik. Pertama adalah kondisi ruang fiskal yang terbatas untuk bisa mengagregasi pertumbuhan ekonomi. Di mana pemerintah sudah tidak bisa menggunakan instrumen Undang-undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Sistem Stabilitas Keuangan Menghadapi Pandemi, sehingga pemerintah harus kembali menyusun struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maksimal defisit 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Pemerintah harus lebih prudent dalam mengalokasikan belanja dan jeli membuat target penerimaan negara," ujarnya.
Kedua, lanjut Ajib pemerintah harus hati-hati mengelola kondisi sosial masyarakat, karena 2023 sudah mulai berjalan agenda politik. Sehingga dibutuhkan stabilitas sosial maupun politik, yang menjadi prasyarat agar investasi bisa mengalir dengan lancar.
"Target investasi tahun 2023 sebesar Rp1.400 triliun adalah target yang cukup menantang ketika Indonesia memasuki tahapan politik menjelang pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres)," ujarnya.
Tantangan sisi kedua adalah sisi dunia usaha dan masyarakat. Paling tidak menurutnya ada empat hal yang perlu dimitigasi dengan baik agar ekonomi bisa berjalan baik di tahun 2023 nanti.
Pertama adanya pelemahan daya beli masyarakat. Sampai dengan Bulan Desember 2022 ini, pemerintah masih bisa mengintervensi dan menjaga daya beli masyarakat melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dialokasikan melalui APBN. Program ini cenderung tidak bisa dilanjutkan oleh pemerintah, sehingga akan membuat konstraksi dalam kemampuan daya beli masyarakat. Padahal daya beli inilah yang menjadi kekuatan konsumsi masyarakat, dan yang menjadi penopang signifikan PDB Indonesia.
"Tantangan kedua adalah potensi inflasi yang naik dibandingkan kondisi tahun 2022. Inflasi ini secara substantif mengurangi kesejahteraan masyarakat," jelasnya.
Tantangan ketiga adalah pengangguran yang jumlahnya akan semakin naik. Sementara keempat adalah kenaikan suku bunga yang cukup tinggi sebagai akibat kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan oleh BI. Dari sisi produksi, akan mengatrol cost of fund yang menjadi bagian penting Harga Pokok Penjualan (HPP). Sedangkan dari sisi masyarakat, akan menambah beban untuk kredit konsumsi.
Selanjutnya Dari sisi potensi ekonomi, paling tidak ada tiga hal yang mendorong optimisme ekonomi menyambut tahun 2023. Pertama, jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar. Data Badan Pusat Statistik(BPS) pada akhir tahun 2021 menunjukkan jumlah 273.879.750. Bahkan diperkirakan sudah melebihi 275 juta pada akhir tahun 2022 ini.
"Dalam sebuah ekosistem ekonomi, jumlah penduduk adalah market atau demand. Dengan demand yang besar, maka konsumsi akan terjaga dengan baik," jelasnya.
Potensi yang kedua adalah melimpahnya sumber daya alam dan komoditas. Dan pemerintah. Menurut Ajib sudah melakukan langkah tepat dengan melakukan program transformasi ekonomi dengan melakukan downstream atau hilirisasi, yang bisa meningkatkan nilai tambah.
Potensi ketiga adalah kekuatan UMKM yang menjadi penyangga utama pertumbuhan ekonomi. UMKM adalah sektor usaha yang mempunyai resiliensi atau daya bangkit yang cepat. Jika pemerintah bisa memberikan daya ungkit maksimal di sektor UMKM ini, maka pertumbuhan ekonomi akan tetap terjaga bahkan bisa terakselerasi dengan lebih cepat.
Dengan membandingkan sisi permasalahan atau tantangan yang ada, dengan sisi potensi ekonominya, Indonesia masih mempunyai banyak keuntungan memasuki 2023. Ketika kondisi global mendapatkan efek negatif pasca pandemi, Indonesia justru bisa bangkit lebih cepat.
"Indonesia mempunyai potensi yang jauh lebih besar daripada tantangan yang ada. Narasi resesi akan terpinggirkan dengan optimisme ekonomi" pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang