Menuju konten utama

Meski Berprospek Cerah, Ekonomi Digital Indonesia Dinilai Rentan

Indonesia berpeluang menjadi Macan Asia di ekonomi digital. Namun ada risiko yang bisa bikin semuanya buyar.

Meski Berprospek Cerah, Ekonomi Digital Indonesia Dinilai Rentan
Warga memilih barang-barang belanjaan yang dijual secara daring di Jakarta, Kamis (18/7/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/hp.

tirto.id - Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) senilai US$1,18 triliun (setara Rp18.408 triliun), Indonesia berpeluang menjadi Macan Asia di ekonomi digital. Namun hati-hati, ada risiko yang bisa bikin buyar.

Akhir tahun ini, ekonomi Indonesia diprediksi menyentuh level US$1,23 miliar (asumsi kurs Rp15.600/US$). Berposisi sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara dengan populasi 276 juta penduduk, Indonesia memiliki kondisi fundamental makroekonomi kuat.

Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III-2022 mencapai 5,72% secara tahunan, dan pada akhir tahun pemerintah memperkirakan pertumbuhan di level 5,4%. Jika ini tercapai, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melampaui rerata kawasan Asia Pasifik.

Badan Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memproyeksikan bahwa Asia Pasifik hanya akan tumbuh 4% secara tahunan, dari tahun lalu yang menyentuh 6,5%. Pemicunya adalah ekonomi China yang diprediksi melambat lebih dari 50%.

Di akhir tahun 2022, laju ekonomi Tiongkok diproyeksi hanya 3,2% dari tahun lalu sebesar 8,1%. Korea Selatan diprediksi melemah ke 2,6% dari 4,1%, Taiwan surut ke 3,3% dari 6,6%, Singapura merosot ke 3% dari 7,6%, sementara Hong Kong anjlok ke -0,8% dari 6,3%.

Di tengah ketidakstabilan geopolitik dunia, laju inflasi yang serempak naik di seluruh negara di dunia dan dibarengi ancaman resesi membuat investor global secara alami ingin menemukan peluang pasar yang stabil dan kuat.

Ibu Pertiwi masih memikat sebagai ladang investasi dengan pertumbuhan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) di atas 50%. Dalam rilisnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi PMA kuartal III/2022 senilai Rp168,9 triliun, atau lompat 54,9%.

Capaian PMA tersebut melebihi perolehan penanaman modal dalam negeri (PMDN) di level Rp138,9 triliun. Alhasil, total investasi kuartal III kemarin mencapai Rp307,8 triliun atau tumbuh 1,9% secacra kuartalan dan 42,1% secara tahunan.

Kepala BKPM Bahlil Lahadalia meyakini bahwa meski kondisi global sedang memburuk, iklim investasi Indonesia akan tetap tumbuh. “Saya ingin menyampaikan bahwa sekalipun kondisi ekonomi global tidak menentu, saya bilang gelap, tapi secercah harapan untuk investasi agak terang,” ujarnya.

Figur di atas menunjukkan fakta manis bahwa penerimaan PMA dalam 3 tahun terakhir terus menunjukkan tren yang positif. Bahkan laju pertumbuhannya berkembang pesat di tahun 2022 dengan tingkat kenaikan di atas 50%.

Salah satu faktor yang mendukung peningkatan tersebut adalah investor global yang mulai mencari potensi pasar yang baru selain China. Pemerintah Negeri Tiongkok berulang kali menerapkan kebijakan karantina yang mengakibatkan aktivitas bisnis terhenti dan memangkas pasokan global sehingga harga barang naik.

“Investor akan terus mendiversifikasi investasi mereka jauh dari China untuk menghindari gangguan pada rantai pasokan yang disebabkan oleh kurangnya karyawan dan pasokan, serta lockdwon yang diperintahkan pemerintah,” ucap Lawrence yeo, CEO AsiaBIZ Strategy, dikutip dari FDIIntelligence.

Lawrence menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang patut dipertimbangkan untuk investasi tahun depan. Pasalnya, Ibu Pertiwi menawarkan sekelompok besar konsumen yang mampu beradaptasi cepat akan teknologi dan barang-barang asing. Tidak hanya itu, infrastruktur dan ekosistem digital yang baik, serta akses pasar yang terbuka juga dimiliki Indonesia.

Peluang Masih Terbuka

Dalam satu dekade terakhir, ekonomi global mulai beralih ke era baru, yakni ekonomi digital. ADB menjabarkan ekonomi digital sebagai kegiatan ekonomi yang menggunakan informasi dan pengetahuan digital sebagai faktor kunci produksi.

Digitalisasi ekonomi menciptakan efisiensi dengan memanfaatkan teknologi digital untuk merampingkan proses rantai pasokan barang dan jasa. Ia pun dinilai menjadi komponen kunci keberhasilan perekonomian Indonesia di tahun-tahun mendatang.

Dalam studi berjudul “eConomy SEA 2022” yang dirilis oleh Google, Temasek, Bain & Company, nilai ekonomi digital di Indonesia tercatat melonjak dari US$41 miliar di tahun 2019 menjadi US$77 miliar atau setara Rp 1.201,2 triliun di akhir tahun ini.

Pesatnya pertumbuhan ekonomi digital diukur dengan mengukur kenaikan gross merchandise value (GMV) yang melacak nilai total barang dagangan yang dijual dengan basis digital selama periode waktu tertentu. Laporan tersebut menyebutkan ada empat pemicu pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.

Pertama, populasi muda yang melek digital telah menjadi signifikan. Kedua, penetrasi seluler yang relatif tinggi memfasilitasi seringnya penggunaan situs e-commerce dan media sosial untuk membeli dan menjual produk dan layanan.

Ketiga, semakin populernya pembayaran digital yang berkorelasi dengan peningkatan konsumsi online. Keempat, kebijakan yang kondusif untuk mendorong ekonomi digital, disertai dengan perbaikan infrastruktur digital.

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2022, tingkat penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 77% atau setara 210 juta penduduk. Lebih dari 70% pengguna internet memanfaatkannya untuk transaksi online, akses layanan keuangan, dan transportasi online.

Uniknya, kebangkitan ekonomi digital di Indonesia terjadi selama pandemi. Melansir laporan eConomy SEA 2022, 88% pengguna internet terdorong mengadopsi e-commerce, terutama pemilik UMKM, karena Covid-19. Sekitar 28% pedagang di Indonesia percaya bahwa mereka tidak akan selamat dari pandemi jika tidak beralih ke platform digital.

Hal ini menarik, karena UMKM merupakan fondasi pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang menyumbang sekitar 60% dari PDB dan membuka lapangan kerja bagi 80% penduduk. Migrasi ke ranah digital mempercerah prospek ekonomi digital di Tanah Air.

Lebih lanjut, tren penting lainnya adalah peningkatan adopsi pada fintech. Pertumbuhan yang pesat ini didorong oleh sebagian besar penduduk yang tidak memiliki akses perbankan dan golongan berpendapatan rendah di daerah perkotaan.

“Konsumen di Indonesia dan Vietnam menunjukkan peningkatan afinitas yang signifikan terhadap digibanks dibanding pasar regional lainnya,” ujar salah satu investor dalam laporan eConomy SEA 2022.

Laporan itu selaras dengan temuan Bank Indonesia (BI). Dalam Buku Kajian Stabilitas Keuangan edisi September 2022, akselerasi ekonomi digital disebut terjadi berkat peningkatan transaksi ekonomi dan keuangan digital yang meluas ke berbagai lapisan masyarakat dan membentuk kebiasaan baru.

Transaksi uang elektronik tumbuh 40,5% secara tahunan mencapai Rp 185,7 triliun sementara nilai transaksi layanan perbankan digital meningkat 40,2% ke level Rp25.104 triliun. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas ekonomi Tanah Air perlahan terdigitalisasi.

Buruknya Kesiapan Indonesia

Perusahaan konsultasi manajemen global Kearney menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal stagnan tanpa revitalisasi digital. Indonesia perlu mentransformasi ekosistem ekonomi digital untuk mencapai visi menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-5 di tahun 2045.

Dalam studinya, Kearney memaparkan fakta pahit bahwa mayoritas portofolio industri Indonesia saat ini masih tradisional, sementara industri berteknologi tinggi dan digital masih terbatas. Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa adopsi teknologi digital seperti otomatisasi relatif lambat.

Alhasil, daya saing Indonesia dalam pertarungan digital di pasar global terpuruk. Merujuk Indeks Daya Saing Digital Dunia (IMD), Indonesia berada di peringkat 51 dari total 63 negara, dan hanya di posisi ke-18 di antara 27 negara Asia Pasifik.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa tugas rumah terbesar yang menghambat kemajuan ekonomi digital di Tanah Air ada di faktor pengetahuan. Pengetahuan teknologi dan digital di Tanah Air hanya ada di urutan ke-60 atau ke-4 dari bawah.

IMD berargumen bahwa buruknya faktor pengetahuan Indonesia ini terkait dengan fakta rendahnya jumlah hak paten atas teknologi digital (60), dibarengi minimnya lulusan pendidikan tinggi (59), serta rendahnya anggaran pendidikan (56) dan penelitian (57).

Situasi ini sungguh ironis, mengingat dalam laporan yang sama IMD menyebut Indonesia memiliki produktivitas tinggi dari sisi publikasi di bidang riset teknologi (4). Tingginya publikasi tersebut tidak dibarengi dengan capaian di dunia nyata.

Infografik Ekonomi Digital di Indonesia

Infografik Ekonomi Digital di Indonesia. tirto.id/Fuad

Kearney juga berpendapat serupa.

Industri digital Indonesia dinilai masih prematur karena rendahnya investasi pada sektor teknologi digital, minimnya investasi di bidang penelitian dan pengembangan, serta terbatasnya tenaga kerja asing tanpa aturan transfer teknologi yang efektif.

Terkait kesiapan, yang menjadi penghambat adalah rendahnya sistem keamanan siber pemerintah (58), perlindungan hukum (57), dan pembajakan perangkat lunak (61). Padahal Indonesia memiliki wirausaha yang berani (3) dan adaptif (18).

Jadi sebelum berharap Indonesia bakal menjadi Macan Asia dalam ekonomi digital, ada baiknya pemerintah membenahi ekosistem penelitian dan inovasi digital baik yang diinisiasi swasta maupun yang dikontrol Badan Riset dan Inovasi Indonesia (BRIN).

Baca juga artikel terkait EKONOMI DIGITAL atau tulisan lainnya dari Dwi Ayuningtyas

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dwi Ayuningtyas
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono