tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan uji formil dan materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tidak dapat diterima.
"Mengadili: Dalam pokok permohonan: 1. Menyatakan permohonan Pemohon V dan Pemohon VI tidak dapat diterima. 2. Menolak permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon IV untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (17/9/2025).
Diketahui, pemohon dalam uji formil perkara ini terdiri dari tiga organisasi terkait advokasi HAM dan demokrasi, yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Selain itu, terdapat tiga pemohon perorangan yakni, Inayah Wahid, Fatia Maulidiyanty, dan Eva Nurcahyani.
Dalam putusannya, MK menilai UU 34/2004 tentang TNI telah terdaftar dan tercantum berulang kali dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan setidaknya telah dua kali terdaftar dalam Prolegnas Prioritas.
“Selain telah beberapa kali terdaftar dan tercantum dalam Prolegnas Jangka Menengah maupun Proglenas Prioritas, kebutuhan akan pembaruan UU 34/2004 juga lahir yang salah satunya melalui Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021 yang memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melaksanakan perubahan UU 34/2004,” kata hakim MK, Daniel Yusmic P Foekh, saat membacakan putusan Nomor 81/PUU-XXIII/2025.
Hakim konstitusi lainnya, Guntur Hamzah, menilai kebijakan DPR yang melakukan carry over proses pembuatan UU TNI sudah sesuai dengan prosedur. Guntur menyebut kebijakan DPR untuk carry over proses pembahasan RUU TNI agar tidak terkatung-katung atau menyebabkan adanya pengulangan proses yang dilakukan dari awal ataupun dilakukan tidak dari awal sepanjang hal tersebut masih dalam konteks pemenuhan kepastian hukum.
“Menurut Mahkamah, dalil para Pemohon mengenai revisi UU TNI bukan carry over, maka tidak seharusnya melangkahi tahap perencanaan dan tahap penyusunan pembentukan undang-undang sehingga menurut para Pemohon hal tersebut melanggar Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945, UU P3, dan Tatib DPR 1/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata Guntur.
Dalam proses uji materi tersebut, terdapat empat hakim konstitusi yang berbeda pendapat atau menyatakan dissenting opinion. Keempat hakim itu adalah Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani.
Suhartoyo menilai proses proses pembentukan UU TNI terlampau singkat, tertutup dan tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat.
"Bahwa para Pemohon mendalilkan proses penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dilakukan dalam waktu singkat dan tertutup sehingga tidak transparan dan akuntabel. Di samping itu, para Pemohon juga mendalilkan bahwa Presiden dan DPR tidak membuka akses publik terhadap dokumen rancangan beserta informasi mengenai RUU TNI. Oleh karenanya, proses pembentukan UU 3/2025 telah melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yaitu asas keterbukaan dan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan serta melanggar tiga prasyarat partisipasi publik," kata Suhartoyo.
"Berkenaan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah telah melakukan periksa silang atas bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak sehingga diperoleh keyakinan bahwa fakta tersebut benar telah terjadi dan dalam batas penalaran yang wajar dapat dibuktikan ada atau tidaknya pelanggaran dalam pembentukan undang-undang berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, setelah pula mempertimbangan fakta hukum lain yang terungkap dalam persidangan," imbuh Suhartoyo.
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih memiliki pendapat berbeda mengenai putusan mayoritas hakim yang menolak kedudukan hukum para pemohon karena tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Berkenaan dengan Putusan a quo, saya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagaimana diuraikan pada sub-paragraf berikut," ujar Enny.
Sementara itu, Saldi Isra dan Arsul Sani berpendapat bahwa pembentukan UU TNI tidak ditempuh dengan prosedur dan tata cara perubahan Prolegnas Prioritas Tahun 2025.
Menurutnya, setiap rancangan undang-undang yang belum dimasukkan dalam Prolegnas, maka tidak bisa dibahas dan disahkan menjadikan undang-undang.
"Akan tetapi secara faktual, prosedur demikian tidak ditempuh oleh pembentuk undang-undang," ujarnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Bayu Septianto
Masuk tirto.id


































