tirto.id - Potensi masyarakat sipil dikriminalisasi bakal makin marak oleh TNI bilamana uji formal UU TNI ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti kewenangan TNI yang tidak seharusnya di ranah sipil dan siber.
Kewenangan berlebih TNI dalam dua aspek itu diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Revisi UU TNI).
Beleid tersebut digugat secara uji formal di Mahkamah Konstitusi. Hari ini, hakim MK bakal memutus perkara tersebut.
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, mengatakan revisi UU TNI berpotensi besar menjadi legitimasi bagi TNI melakukan kriminalisasi. Hal itu merujuk pada kasus percobaan kriminalisasi terhadap Ferry Irwandi.
Percobaan kriminalisasi terhadap Ferry bermula saat menyuarakan kritik soal aparat TNI terlibat kerusuhan demo Agustus. Pegiat media sosial ini sempat mengaku mengalami doxing, sebelum akhirnya diadukan ke kepolisian oleh TNI. Belakangan, kasus itu tak berlanjut.
"Dalam kasus Fery Irwandi, TNI memaknai secara lentur dan keliru pertahanan siber yang diartikan juga soal penegakan hukum dan kewenangan patroli siber mereka terhadap pendapat dan ekspresi warga negara," kata Arif saat dihubungi Tirto, Rabu (17/9/2025).
Padahal, jelas dia, semestinya kewenangan TNI terkait pertahanan siber berkaitan dengan ancaman dari luar atau eksternal yang menyangkut kedaulatan negara.
Sedangkan konteks TNI ikut masuk ranah sipil bisa dilihat dari bagaimana pengerahan ribuan tentara di Jakarta pasca huru-hara demonstrasi akhir Agustus lalu. Kata Arif, ini bagian dari revisi UU TNI yang juga memuat pelibatan militer dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Arif menegaskan perluasan pelibatan TNI di ranah siber dan sipil sejurus dengan revisi UU TNI dalam Pasal 7 Ayat (2), yang berisi tugas pokok TNI. Lagi-lagi, putusan MK hari ini akan menjadi penentu secara hukum.
"Apakah Mahkamah bersedia berdiri bersama rakyat dalam menolak kembalinya militerisme ke ruang sipil atau justru membiarkan konstitusi dibengkokkan demi melanggengkan kekuasaan," kata dia.
Arif menekankan hakim MK dalam putusannya sepatutnya melihat rangkaian proses revisi UU TNI termasuk muatan hukumnya sebagai suatu yang tidak benar. Mulai dari pembahasan revisi di ranah DPR dan pemerintah yang serba tertutup, alih-alih melibatkan masyarakat sipil. Akses untuk memperoleh draf revisi juga begitu sulit.
"Putusan (yang akan diambil MK) ini tidak dapat dipandang sebagai agenda dalam perkara hukum biasa. Ia adalah ujian sesungguhnya atas integritas dan komitmen MK untuk menegakkan konstitusi, mendukung agenda reformasi sektor keamanan, dan melindungi demokrasi dari ancaman militerisme yang kian menguat," ujar Arif.
Panglima TNI, Jenderal Agus Subianto sempat merespons polemik revisi UU TNI ini. Kata dia, UU TNI yang terbaru memperhatikan kedaulatan sipil.
"Revisi ini tetap berpegang pada prinsip supremasi sipil dan disusun berdasarkan prinsip demokrasi serta hukum yang berlaku dan juga memberikan kejelasan batasan kewenangan prajurit," kata dia, dikutip dalam keterangan pers, April 2025.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama
Masuk tirto.id


































