Menuju konten utama

Mimpi Siang Bolong Kepala BKPM Bahlil: EoDB RI Naik ke Peringkat 60

Kepala BKPM Bahlil Lahadalia memasang target peringkat EoDB Indonesia bisa naik ke posisi 60 pada 2020. Mungkinkah?

Mimpi Siang Bolong Kepala BKPM Bahlil: EoDB RI Naik ke Peringkat 60
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengikuti rapat kerja bersama Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020).ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/nz

tirto.id - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memasang target peringkat kemudahan Indonesia atau Ease of Doing Business (EoDB) naik ke posisi 60 pada 2020. Bahlil sebut target itu harus dicapai agar Indonesia mencapai peringkat 40 dalam 3 tahun mendatang.

“Oktober besok, Bank Dunia akan umumkan peringkat EoDB [edisi] 2021, insya Allah tahun ini (2020) kita perkirakan di urutan sekitar 60,” ucap Bahlil seperti dikutip Antara, Selasa (8/9/2020).

Bahlil bilang peringkat Indonesia sebenarnya sudah lebih baik dari tahun 2014 yang masih di kisaran 120. Per 2017 peringkat Indonesia sudah menyentuh 72, lalu stagnan di angka 73 selama 2018-2019.

Soal hambatan kenaikan peringkat ini, pemerintah sudah mengkaji dan memetakan wilayah apa saja yang perlu diperbaiki. Misalnya peraturan yang menjadi rujukan Bank Dunia sampai ego sektoral. Saat ini bahkan sedang disiapkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Namun, kata Bahlil, Indonesia lamban berbenah saat banyak negara juga berusaha memperbaiki indikator mereka. “Akhirnya urutan kita tidak berubah,” ucap Bahlil.

Tentu target peringkat ke 60 akan sangat menantang. Proses perbaikan indikator EoDB Indonesia berjalan lambat sejak 3 tahun terakhir.

Data Bank Dunia menunjukkan skor EoDB Indonesia sebenarnya mengalami kenaikan dari 66,47 (2017), 67,96 (2018), dan 69,6 (2019). Namun, peringkat Indonesia tetap di kisaran 72-73 karena negara lain memperbaiki diri lebih cepat.

Saat peringkat Vietnam turun dari 68 (2017) menjadi 69 (2018), Indonesia pun tetap tak bisa mengejar. Pada 2019, peringkat Vietnam sebenarnya turun lagi menjadi 70, tetapi Indonesia belum juga bisa mengejar.

Sebaliknya, muncul negara yang bisa lebih lekas berbenah diri. India misal dari peringkat 100 (2017) naik menjadi 77 (2018) dan menjadi 63 (2019), menyalip Indonesia di 2019 yang peringkatnya tetap 73 selama 2 tahun berturut-turut. Hal itu tercermin dari kenaikan skor India dari 2017 ke 2019 berturut-turut 60, 76 ke 67, 23 ke 71 poin.

Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai peningkatan EoDB dari 73 ke angka 60 masih cukup sulit, sama halnya sampai 2021 nanti.

Ia bilang selama 2 tahun terakhir, Indonesia sudah banyak menggelontorkan paket kebijakan ekonomi, khususnya deregulasi tetapi terhambat karena koordinasi pusat dan daerah yang terus bermasalah. Alhasil meski perbaikan di tingkat pusat sudah terjadi, tapi di lapangan investor bakal menemui persoalan teknis seperti perda sampai pungutan di lapangan.

Faktor lainnya, kata Yusuf, berkaitan dengan masih tingginya ongkos logistik di Indonesia. Misalnya indikator trading across border Indonesia masih di peringkat 116. Peringkat ini memburuk dari tahun 2015 yang waktu itu masih peringkat 105.

Di sisi lain, selama 2020 ini, perhatian pemerintah terpecah pada penanganan pandemi COVID-19 yang sejak awal juga tak berjalan baik. Hingga hari ini penambahan kasus baru konsisten di atas 3.000-an orang per hari sejak awal September lalu.

“Memang di tengah proses pemulihan ekonomi menaikkan posisi EoDB bukanlah sesuatu yang mudah,” ucap Yusuf saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (9/9/2020).

Ekonom dari Institute for Development Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai selama ini Indonesia belum mampu berbenah pada komponen utama EoDB, yaitu memulai usaha. Pada 2017 komponen ini sempat memiliki peringkat 144 dan membaik menjadi 134 di 2018, tetapi pada 2019 malah kembali turun ke 140, padahal ia bilang ini adalah komponen utama.

Sejak EoDB Indonesia turun dari peringkat 100 ke 73 selama 5 tahun terakhir, penurunan lebih banyak terjadi di komponen pendukung. Misalnya mendorong insentif pajak sampai infrastruktur ketenagalistrikan.

Ia bilang jika memulai usaha di Indonesia sulit, maka investor tidak akan masuk. Berbagai insentif, fasilitas seperti perbaikan kemudahan membayar pajak dan perdagangan internasional sampai infrastruktur yang dibangun pemerintah pun akhirnya tak akan dirasakan investor.

“140 itu gila. Insentif itu kalau sudah masuk. Memulai usaha itu pintu masuknya. Kalau di atas 140 percuma punya ranking 60,” ucap Enny.

Menanggapi hal itu, Plt Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal (PIPM) Yuliot menyatakan target peringkat 60 itu tetap realistis. Alasannya, BKPM telah melakukan sejumlah perbaikan sejak Q4 2019 sehingga peningkatan tetap bisa terjadi meski ada perlambatan ekonomi 2020.

Selama Q4 2019-Q1 2020 saja, BKPM dan Kementerian/Lembaga lain telah menerbitkan 27 peraturan di 10 indikator. Meski peringkat EODB Indonesia tidak naik selama 3 tahun terakhir, BKPM berkilah sebenarnya skor Indonesia tetap naik. Hanya saja tentu tidak mudah bersaing dengan 190 negara lainnya.

“BKPM optimistis bila seluruh perbaikan yang telah dilakukan dicatat oleh World Bank, maka target peringkat ke-60 akan tercapai di tahun ini,” ucap Yuliot dalam keterangan tertulis, Kamis (10/9/2020).

Baca juga artikel terkait INVESTASI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz