tirto.id - Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memberi peringatan terhadap utang PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang semakin mengkhawatirkan. Per akhir 2019, utang perusahaan pelat merah itu sudah menyentuh angka Rp496,37 triliun atau hampir Rp500 triliun.
Dalam laporan berjudul “Never Waste a Crisis - Indonesia’s PLN Needs A Coherent Strategy to Ride Out the COVID-19 Pandemic,” peneliti IEEFA Elrika Hamdi menyatakan dalam 5 tahun terakhir utang PLN bertambah Rp100 triliun per tahun. Penyebabnya berasal dari ambisi pemerintah membangun pembangkit listrik 35.000 MW (35 GW) yang harus dipikul PLN tanpa ketersediaan pendanaan yang cukup sehingga harus mencari pinjaman.
Kekhawatiran pun semakin menjadi-jadi sebab PLN harus membawa tumpukan utang itu melalui buruknya kondisi ekonomi tahun 2020 yang dilanda COVID-19.
Pada 2020, laba bersih PLN turun 96,3 persen seiring turunnya konsumsi listrik karena PSBB dan rugi kurs Rp7,8 triliun. Utang pemerintah ke PLN Rp45 triliun untuk kompensasi tarif listrik tidak naik sejak 2018 saja belum semua dilunasi.
“Harus ada kemauan untuk mengajukan pertanyaan sulit ketika angka-angka pada laporan keuangan PLN sudah menunjukkan tanda bahaya,” ucap peneliti IEEFA Elrika Hamdi dalam keterangan tertulis, Kamis (3/9/2020).
Saat rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Kamis (25/6/2020), Direktur Utama PT PLN Zulkifli Zaini tak menampik bila utang perusahaan setrum itu mengkhawatirkan. Zulkifli, yang pernah menjabat Direktur Utama Mandiri, mengatakan setiap tahunnya PLN membutuhkan ratusan triliun untuk pembangkit dan transmisi, tetapi PLN tak memiliki kemampuan investasi dan ekuitas internal.
“Sebagai banker, saya paham ini enggak sehat. Kalau ada debitur datang ke bank, mau investasi Rp100 triliun saya tanya dana sendiri berapa, saya minta 30 persen. Tapi ini PLN dana sendiri nol persen, pinjaman 100 persen. Ini kondisinya,” ucap Zulkifli dalam rapat.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan lonjakan utang PLN tidak terhindarkan. Sebelum 2015, PLN hanya mampu menyediakan belanja modal atau capital expenditure Rp30-40 triliun per tahun alias tak sampai 50 persen kebutuhan biaya proyek 35.000 MW.
Sementara untuk proyek listrik 35.000 MW, diperlukan setidaknya Rp80-90 triliun per tahun, bahkan menurut PLN sendiri kebutuhannya adalah Rp160 triliun per tahun. Praktis, utang jadi solusi.
Kondisi diperburuk usai pemerintah menambah beban lagi pada 2017. Waktu itu, pemerintah tak memutuskan PLN tidak bisa menyesuaikan formula tarif sesuai fluktuasi harga komoditas dunia atau tariff adjustment.
Margin 8 persen per tahun pun tinggal kenangan. Kebutuhan cashflow semakin sulit terpenuhi apalagi membiayai investasi. Praktis, PLN harus menaikkan pinjaman meski hanya untuk cashflow.
“Kalau PLN ingin sehat mau tidak mau tarif listrik harus 10 persen lebih tinggi dari sekarang,” ucap Fabby saat dihubungi, Senin (7/9/2020).
Masalah keuangan PLN semakin menjadi lantaran ongkos pembelian listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) terus naik. Menurut IEEFA, angkanya naik dari di bawah Rp10 triliun pada 2013 menjadi hampir Rp90 triliun di 2019.
Pada 2020, PLN juga semakin terbebani dengan diskon listrik 450VA dan 900VA bersubsidi. Meski ditanggung pemerintah, kompensasi sudah biasa terlambat bahkan berjarak beberapa bulan hingga tahunan.
Praktis, tidak hanya Rp500 triliun, per Juni 2020 utang PLN sudah membengkak menjadi Rp694,79 triliun.
Dari sisi indikator kemampuan bayar atau solvabilitas, PLN masih aman. Debt to asset ratio hanya 41,37 persen dan debt to equity ratio 70,55 persen. Meski demikian, IEEFA menyatakan rasa aman itu disebabkan karena revaluasi aset pada 2015 sehingga nilainya meningkat dari Rp603,7 triliun menjadi Rp1.314,37 triliun. Tanpa revaluasi, debt to equity PLN per 2019 bisa mencapai 170 persen--yang berarti berbahaya.
Menurut IEEFA, saat ini utang PLN bisa dikatakan aman karena investor menganggap pemerintah menanggung seluruh risikonya. Rating utang PLN mengikuti rating pemerintah yang saat ini masuk investment grade.
Meski demikian, Fabby mengingatkan profil risiko PLN saat ini trennya meningkat. Per 2021 nanti misalnya ada lonjakan jumlah pembangkit listrik yang beroperasi sesuai program 35.000 MW, sehingga biaya operasional PLN membengkak di samping lonjakan ongkos IPP. Belum lagi beban utang per tahunnya.
Situasi ini patut diwaspadai karena pertumbuhan ekonomi sejak 2020 terganggu dan belum tentu pulih cepat karena COVID-19 masih belum terselesaikan. Situasi ini ia khawatirkan bakal memperburuk kemampuan bayar PLN.
Pemburukan ekonomi di 2020 dan seterusnya dikhawatirkan bakal memengaruhi rating utang pemerintah. Jika tak hati-hati, hal itu bakal memengaruhi kepercayaan investor yang membeli surat utang PLN.
“Kalau turun berimbas pada rating utang PLN,” ucap Fabby.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz