Menuju konten utama

Di Balik Amarah Jokowi Soal Proyek 35.000MW

Realisasi proyek listrik 35.000 MW hingga 2016 masih jauh dari harapan. Presiden Jokowi pun mengungkit proyek pembangkit listrik yang mangkrak selama 7 hingga 8 tahun dan mengancam membawanya ke KPK. Ia tak ingin hal yang sama terjadi pada proyek listrik 35.000 MW.

Di Balik Amarah Jokowi Soal Proyek 35.000MW
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wapres Jusuf Kalla (kedua kiri), Mensesneg Pratikno (kedua kanan) dan Seskab Pramono Anung (kanan) memimpin rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa (1/11). Rapat tersebut membahas soal perkembangan pembangunan proyek listrik 35.000 MW. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf.

tirto.id - Senyum bahagia tersungging di wajah Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 silam. Siang itu, ia menekan tombol sebagai tanda peresmian peluncuran program pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) di Pantai Samas, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Presiden Jokowi optimistis proyek ini akan tercapai selama lima tahun kepemimpinannya guna mewujudkan kemandirian energi di Tanah Air. Pemerintah menilai proyek listrik 35.000 MW ini sangat strategis dan mendesak direalisasikan untuk menutupi target kebutuhan listrik yang tiap tahun selalu meningkat.

Merujuk pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025, realisasi jumlah pelanggan selama tahun 2010 – 2014 mengalami peningkatan, dari 42,2 juta menjadi 57,2 juta atau bertambah rata-rata 3,5 juta tiap tahunnya.

Penambahan pelanggan terbesar masih terjadi pada sektor rumah tangga, yaitu rata-rata 3,2 juta per tahun, diikuti sektor bisnis dengan rata-rata 140 ribu pelanggan per tahun, sektor publik rata-rata 82 ribu pelanggan per tahun, dan terakhir sektor industri rata-rata 2 ribu pelanggan per tahun.

Sementara kapasitas listrik kurang memadai, sehingga pemadaman listrik hampir dialami oleh setiap daerah karena kekurangan pasokan listrik. Apabila hal ini tidak mendapat perhatian khusus dan upaya terobosan luar biasa, maka krisis listrik bisa terjadi dalam beberapa tahun ke depan.

Jika hal ini terjadi, maka tidak hanya kurang mendukung aktivitas masyarakat, tetapi juga dapat menurunkan daya saing industri dan menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Karena cadangan listrik yang terbatas adalah cermin dari ketidakmampuan pasokan dalam mengimbangi pertumbuhan kebutuhan.

Menurut catatan PLN, penyebabnya adalah tertinggalnya pembangunan pembangkit sebesar 6,5 persen dibanding pertumbuhan permintaan listrik sebesar 8,5 persen dalam lima tahun terakhir. Ketertinggalan ini akibat terkendala berbagai permasalahan, seperti pembebasan lahan, regulasi dan perizinan, pendanaan, hingga negosiasi harga jual listrik antara pihak swasta dengan PLN.

Sampai 2015, kapasitas terpasang pembangkit PLN dan Independent Power Producer (IPP) di Indonesia adalah 48.065 MW. Apabila memperhitungkan pembangkit sewa sebesar 3.703 MW, maka kapasitas terpasang pembangkit listrik menjadi 51.348 MW.

Dengan memperhitungkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 6-7 persen setahun, dalam lima tahun ke depan dibutuhkan tambahan kapasitas listrik sebesar 35.000 MW atau 7.000 MW per tahun. Oleh karena itu, pemerintah tidak memiliki pilihan lain kecuali harus menambah kapasitas listrik sebesar 35.000 MW. Program kelistrikan ini menjadi program strategis nasional yang dikukuhkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.

Untuk mewujudkan program ini dibutuhkan dana investasi yang sangat besar. PLN tidak akan mampu mengerjakannya sendiri sehingga harus melibatkan swasta. Karena itu, PLN akan membangun pembangkit sebesar 10.000 MW, sedangkan sisanya 25.000 MW akan ditawarkan ke pihak swasta atau IPP.

Pada awal program ini dicanangkan, tak sedikit yang meragukan proyek ini tercapai dalam lima tahun kepemimpinan Presiden Jokowi. Karena membangun pembangkit listrik membutuhkan waktu, apalagi saat dihadapkan pada kendala di lapangan seperti pembebasan lahan, negosiasi harga jual listrik antara pengembang dengan PLN, serta perizinan yang selama ini berbelit-belit.

Namun, hal tersebut tidak membuat Presiden Jokowi ciut. Pria kelahiran Surakarta itu menepis suara-suara sumbang yang meragukan proyek prestisius dengan nilai investasi sekitar Rp110 triliun ini selesai dalam waktu yang relatif singkat.

“Kalau kita lihat selama 70 tahun Indonesia merdeka baru 50.000 MW yang dibangun pemerintah. Oleh sebab itu banyak yang menyanksikan dalam lima tahun akan bangun 35.000 MW. Ini apakah tidak ambisius? Saya sampaikan tidak!" tegas Jokowi saat itu.

Rasa optimisme Presiden Jokowi bukan tanpa alasan. Ia mempersiapkan segala sesuatunya dengan cukup matang, termasuk masalah klasik seperti pembebasan lahan dan regulasi yang dinilai menghambat.

“Program ini detail dan di-back up regulasi yang disederhanakan meskipun belum selesai. Saya terus pantau, kalau ada masalah saya selesaikan di lapangan,” ujarnya saat itu.

Misalnya, untuk mempermudah pembebasan lahan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Regulasi ini dikeluarkan pemerintah mengingat pembebasan lahan, baik untuk pembangkit listrik maupun pengembangan transmisi listrik selalu menjadi penghambat.

Realisasi Listrik 35.000 MW

Sayangnya, keinginan kuat pemerintah untuk mewujudkan pembangkit listrik 35.000 MW tidak sebanding dengan capaian di lapangan. Saat rapat perkembangan pembangunan proyek listrik 35.000 MW, di Istana Negara, pada Selasa (1/11/2016), Presiden Jokowi mengakui kalau capaian program ini masih jauh dari harapan.

Realisasi pembangunan proyek listrik 35.000 MW baru mencapai 36 persen dari target akumulatif tahun 2016. Sedangkan realisasi pembangkit Commercial Operation Date (COD) Fast Track Program (FTP) 1 dan FTP 2, serta regular yang merupakan bagian program 7.000 MW mencapai 83 persen dari target akumulatif sampai 2016 atau 53 persen dari target keseluruhan.

Dengan demikian, menurut Jokowi, realisasi COD pembangkit listrik secara keseluruhan sampai 24 Oktober 2016 masih sebesar 29,4 persen dari target. Padahal para investor antre untuk terlibat dalam proyek listrik 35.000 MW ini.

Karena itu, kendala proyek listrik 35.000 MW dan program 7.000 MW harus segera dicarikan jalan keluarnya. Dalam konteks ini, Jokowi ingin mengetahui secara pasti kendala di lapangan yang terjadi. Apakah investornya, apakah perizinannya yang masih berbelit-belit, apakah di pembebasan lahan, apakah di PPA-nya, atau di financial close-nya.

“Data yang disampaikan ke saya, 71 proyek dari 109 proyek baru pada tahapan perencanaan dan pengadaan,” ujarnya seperti dilansir setkab.go.id. Ia juga menyebut terdapat 52 proyek FTP yang telah memperoleh TPA tapi belum mencapai financial closing atau ketepatan memenuhi jadwal pembiayaan, sehingga belum bisa memasuki tahapan konstruksi.

Infografik Merealisasikan Program Listrik

Tak hanya itu, Jokowi juga menyinggung soal 34 proyek pembangkit listrik yang mangkrak selama 7 sampai 8 tahun. Ia meminta Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memberikan penjelasan mengenai penyelesaian proyek-proyek mangkrak ini. Jika tidak ada kepastian penyelesaian, Jokowi mengancam akan membawa masalah ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Karena dana yang dikeluarkan juga sangat besar sekali. Saya tolong nanti diberitahukan ke saya, totalnya berapa, karena ini sudah menyangkut angka yang triliunan, dan ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus,” ujarnya.

Dalam pengamatan Presiden Jokowi yang melihat langsung proyek tersebut di lapangan, 1-2 proyek kelihatannya tidak bisa diteruskan karena memang sudah hancur, sudah karatan semuanya. Karena itu, ia meminta ada kepastian.

Presiden mengaku, dirinya belum mendapatkan kepastian mengenai proyek-proyek yang mangkrak itu. Oleh sebab itu, Presiden meminta yang baru ini betul-betul hati-hati semuanya. Sebagai informasi, proyek mangkrak yang dimaksud Jokowi bukan proyek 35.000 MW yang dicanangkan pemerintahannya, melainkan proyek FTP 1 dan 2 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Strategi Pemerintah

Dalam konteks ini, Kementerian ESDM telah membuat delapan langkah terobosan yang diyakini mampu menjadi strategi ampuh merampungkan pembangunan pembangkit 35.000 MW dalam kurun waktu lima tahun. Strategi ini merupakan hasil evaluasi atas kegagalan FTP I dan II.

Pertama, soal penyediaan lahan. Untuk mempercepat ketersediaan lahan, baik pembangunan pembangkit maupun transmisi, maka PLN akan menerapkan UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pembebasan Lahan. Kedua, soal negosiasi harga. Dalam hal ini, PLN menyediakan prosesnya dengan menetapkan harga patokan tertinggi untuk swasta dan excess power mengacu pada Permen ESDM No. 3 tahun 2015.

Ketiga, proses penunjukan dan pemilihan IPP. Solusinya adalah mempercepat prosesnya dengan mengacu pada Permen ESDM No. 3 tahun 2012 dengan alternatif penunjukan langsung atau pemilihan langsung untuk energi baru terbarukan (EBT) , mulut tambang, gas marjinal, ekspansi, dan excess power.

Keempat, perizinan. Untuk mempercepat dan menyederhanakan proses perizinan ini, pemerintah telah membuat pelayanan terpadu satu pintu ( PTSP). Kelima, pengembang dan kontraktor dengan cara melakukan due dilligence. Keenam, manajemen proyek. Solusinya membentuk Project Management Office (PMO) dan menunjuk independent curement agent.

Ketujuh, koordinasi lintas sektor. Dalam hal ini, pemerintah membentuk tim nasional lintas kementerian disatukan dengan Komite Percepatan Pembangunan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Kedelapan, permasalahan hukum. Dalam konteks ini, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

Kalau pun strategi dan terobosan pemerintah Joko Widodo – Jusuf Kalla dinilai lebih baik, dan persiapan proyek listrik 35.000 MW matang dibandingkan dengan FTP 1 dan 2, namun praktik di lapangan ternyata masih banyak kendala. Tak berlebihan jika Presiden Jokowi menegaskan perlunya kerja lebih keras lagi untuk mewujudkan proyek listrik 35.000 MW ini.

Baca juga artikel terkait PLN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti