tirto.id - PT PLN (Persero) dan Pertamina (Persero) mengencangkan sabuk pengaman di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sebabnya, utang dua perusahaan pelat merah itu masih didominasi valuta asing (valas).
Porsi utang valas PLN, misalnya, mencapai 70 persen karena tingginya kebutuhan pendanaan perusahaan setrum tersebut ketimbang Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) perbankan domestik yang hanya berada di angka Rp140 triliun.
Direktur Utama PT PLN Zulkifli Zaini mengatakan, tiap kali rupiah melemah Rp1.000 per dolar AS, beban utang perusahaan bisa membengkak hingga Rp9 triliun. Adapun posisi utang PT PLN per September 2019 berada di angka Rp615,107 triliun.
Meski demikian, Zulkifli menyatakan perusahaan plat merah itu sudah berupaya meminimalisir dampak itu dengan melakukan transaksi lindung nilai atau hedging melalui bank domestik.
Lesunya rupiah di hadapan dolar juga berimbas besar pada Pertamina. Meski tertolong dengan harga minyak mentah dunia yang sedang murah yang rata-rata di angka 27 dolar AS per barel, Pertamina berpotensi merugi karena menurunnya pendapatan dari penjualan crude di ladang minyak mereka di beberapa negara.
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati juga menyampaikan, bunga utang mereka yang haru mereka bayar akan menjadi kian mahal.
“Hampir semua pinjaman kami bond dalam bentuk dolar AS. Jadi dari hasil treatment shock kami, dampaknya luar biasa,” ucap Nicke dalam Rapat Dengat Pendapat (RDP) virtual bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (16/4/2020).
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai situasi yang dialami Pertamina dan PLN ini memang sudah menjadi konsekuensi karena kebutuhan belanja modal atau capital expenditure mereka tergolong besar.
Toto mencontohkan PLN harus mengerjakan proyek 35 ribu MW sementara Pertamina dalam beberapa tahun terakhir cukup agresif dalam melakukan eksplorasi termasuk mengakuisisi ladang-ladang minyak luar dan dalam negeri.
Beban yang ditanggung dua BUMN energi ini kian berat lantaran menurunnya volume penjualan BBM dan listrik selama pandemi COVID-19. Alhasil, pendapatan mereka yang diperoleh dalam bentuk rupiah makin tak berdaya menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah dan tingginya kebutuhan dolar AS.
“Ya kondisi ini pasti merepotkan. Maka situasi ini benar-benar bisa memukul cashflow perusahaan,” ucap Toto saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (17/4/2020).
Langkah penyelamatan selanjutnya bergantung pada seberapa serius keduanya melakukan transaksi lindung nilai serta efisiensi atas pengeluaran biaya yang masih bisa dikontrol sehingga bisa berhemat secara besar-besaran. Kalau perlu, kata Toto, sejumlah rencana investasi harus ditunda hingga masa-masa sulit ini berakhir.
Kendati demikian, ia juga meminta pemerintah tak lepas tangan. Ia bilang pemerintah harus mempercepat pembayaran penggantian subsidi kepada keduanya.
“Saya kira apabila pemerintah bisa mempercepat pembayaran biaya subsidi kepada 2 BUMN tadi, diharapkan bisa membantu posisi cashflow keduanya,” ucap Toto.
Ia juga menyarankan pemerintah membantu keduanya melakukan renegosiasi dengan kreditur di tengah kondisi kahar akibat bencana kesehatan masyarakat COVID-19.
Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Ajib Hamdani menilai utang keduanya memang tak terhindarkan.
PLN dan Pertamina katanya memang terbatas untuk mencari sumber uang, tetapi mereka juga kerap kesulitan cashflow karena kurangnya pemasukan terutama dari piutang subsidi yang baru diganti pemerintah setahun setelah produksi listrik maupun BBM.
“Peningkatan utang karena kenaikan valas ini menjadikan struktur keuangan tidak ideal,” ucap Ajib saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (17/4/2020).
Meski demikian, Ajib menilai utang kedua perusahaan relatif berbeda dengan BUMN lainnya yang bergerak di bidang infrastruktur.
Ia bilang utang Pertamina dan PLN relatif lebih produktif untuk investasi jangka panjang seperti pembangunan IPP (Independent Power Producer). Peluang mereka untuk selamat juga cukup besar mengingat keduanya memonopoli pasar.
“Kalau dari ukuran jangka panjang, rasio utang PLN dan Pertamina masih aman, karena secara fundamental BUMN ini sangat kuat dan menguasai pasar konsumen yang begitu besar di Indonesia,” ucap Ajib.
Menteri BUMN Erick Thohir dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI, Jumat (3/4/2020), mengaku telah menyadari risiko ini dan memastikan akan mengantisipasi dampaknya pada cashflow kedua perusahaan.
"Cashflow Pertamina dan PLN akan terganggu karena kurs rupiah. Pertamina juga impor [minyak] yang dibeli pakai dolar dan dijual dalam rupiah. Kita rapat direksi Pertamina untuk memastikan cashflow mereka lancar dan tidak terganggu," klaim Erick.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana