tirto.id - PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (persero) menghadapi tantangan baru berupa beban utang valuasi asing (valas), akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dua BUMN tersebut diketahui memiliki utang dalam valas yang cukup besar.
Direktur Utama PT PLN Zulkifli Zaini menyatakan sebagian besar utang PLN saat ini berbentuk valas sehingga pelemahan rupiah yang terjadi sepanjang pandemi bakal menambah beban perusahaan setrum itu.
“70 persen dari utang PLN itu dalam valas. Sudah barang tentu rupiah melemah maka utang kami dalam rupiah akan meningkat,” ucap Zulkifli dalam Rapat Dengat Pendapat (RDP) virtual bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (16/4/2020).
Zulkifli besarnya utang dalam bentuk valas ini juga memang tak terhindarkan. Hal ini disebabkan kendala Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) perbankan domestik yang hanya berada di angka Rp140 triliun.
“Kebutuhan PLN itu jauh lebih besar dari itu. Kami jadi harus meminjam dari bank di luar domestik,” ucap Zulfikli.
Zulkifli sudah menghitung seberapa parah dampak pelemahan rupiah pada utang PLN. Ia menyebutkan setiap pelemahan senilai Rp1.000 per dolar AS, maka biaya yang ditanggung PLN bisa meningkat Rp9 triliun.
Sebagai antisipasi, PLN katanya sudah berupaya meminimalisir dampak pelemahan kurs itu. Salah satunya melalui mekanisme hedging dari bank domestik.
“Kalau melemah Rp2.000 per dolar AS, kami terkena Rp18 triliun, peningkatan biaya utang kami,” ucap Zulkifli.
Tidak hanya PT PLN, Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati juga tengah mengantisipasi peningkatan beban utang perusahaan plat merah yang ia pimpin. Sama dengan PLN, Nicke mengaku utang Pertamina cukup banyak yang berbentuk dolar AS sehingga pelemahan rupiah pasti berpengaruh.
“Semua pinjaman kami bond dalam bentuk dolar AS. Jadi dari hasil treatment shock kami, dampaknya luar biasa,” ucap Nicke dalam Rapat Dengat Pendapat (RDP) virtual bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (16/4/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti