tirto.id - Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memperingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam membebani keuangan PLN. Riset IEEFA mencatat setiap tahunnya PLN harus menambah utang Rp100 triliun selama 5 tahun terakhir.
IEEFA mencatat utang PLN telah melonjak hingga 34 miliar dolar AS atau Rp500 triliun per akhir 2019. Per 2021 nanti, PLN memiliki utang jatuh tempo senilai Rp15,1 triliun dan perlu mendapat refinancing segera.
Di sisi lain, PLN harus menanggung dampak pandemi COVID-19 yang tidak direncanakan. Salah satu efek yang terasa adalah turunnya penjualan listrik hingga 20 persen yang memengaruhi pendapatan PLN.
“Harus ada kemauan untuk mengajukan pertanyaan sulit ketika angka-angka pada laporan keuangan PLN sudah menunjukkan tanda bahaya,” ucap peneliti IEEFA Elrika Hamdi dalam keterangan tertulis, Kamis (3/9/2020).
Elrika menulis laporan bertajuk “Never Waste a Crisis - Indonesia’s PLN Needs A Coherent Strategy to Ride Out the COVID-19 Pandemic” yang dipublikasikan, Rabu (2/9/2020). Hasilnya, ia mendapati utang PLN semakin mengkhawatirkan terlebih setelah kinerja keuangan terpukul pandemi COVID-19.
Menurut Elrika persoalan utang PLN bermula jauh dari guncangan COVID-19. Ia menunjuk pada program 35 GW yang merupakan janji politik Presiden Joko Widodo di periode pertama pemerintahannya tak didukung dengan rencana dan realisasi yang berkelanjutan. Sebaliknya, pemerintah terus melanjutkan ambisi ini tanpa memperhatikan dampaknya pada keuangan PLN.
PLN yang kondisi keuangannya tak terlalu baik pun harus mencari opsi pendanaan hingga berujung pada tambahan utang Rp100 triliun per tahun. Kondisi diperburuk dengan perencanaan dan tata kelola manajemen yang dinilai masih mempertahankan model bisnis sejak tahun 2010 alih-alih beradaptasi dengan realitas pasar yang baru. Salah satu contohnya mempertahankan model pembangkit listrik berbasis fosil.
Elrika mencatat PLN saat ini bergantung pada seberapa baik peringkat utang pemerintah Indonesia dan seberapa besar dukungan pemerintah untuk meyakinkan para debiturnya. Jika tak berhati-hati, situasi yang dialami PLN dapat memengaruhi kredibilitas keuangan Indonesia.
Menurut Elrika, PLN perlu meninjau ulang kerangka perencanaan kelistrikan ini agar fokus pada investasi sistem jaringan yang lebih kuat dan hemat biaya. Di sisi lain, pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan pada dukungan yang diberikan baik itu subsidi, kompensasi, suntikan modal, perlakuan akuntansi khusus, dan jaminan pemerintah.
“Dengan hampir tidak adanya sistem checks and balances yang kuat, PLN telah terdorong ke tepi jurang dan para pembayar pajak yang akan menanggung akibatnya,” ucap Elrika.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri