Menuju konten utama

Kenapa Kemudahan Berbisnis Turun Jelang Akhir Pemerintahan Jokowi?

Peringkat Indonesia dalam Ease of Doing Business turun 1 peringkat menjadi 73 dari sebelumnya di 72 jelang berakhirnya pemerintahan Presiden Jokowi 2014-2019.

Kenapa Kemudahan Berbisnis Turun Jelang Akhir Pemerintahan Jokowi?
Presiden RI Joko Widodo berbicara pada sesi pleno Forum Ekonomi Dunia ASEAN di Convention Center, di Hanoi, Vietnam, Selasa (12/9/2018). ANTARA FOTO.REUTERS/Kham

tirto.id - “… Tahun depan paling tidak 50, tahun depannya lagi paling tidak sampai di target yang saya sampaikan tadi (peringkat) 40. Artinya harus ada pembenahan total, harus ada reform total dari urusan perizinan, urusan listrik, urusan properti, urusan semuanya harus semakin baik,” kata Presiden Joko Widodo pada 2 November 2017.

Bank Dunia langganan memberikan proyeksi mengenai tingkat kemudahan berbisnis tahun berikutnya menjelang tutup tahun. Kali ini, Bank Dunia memproyeksikan kemudahan berbisnis di Indonesia berada di posisi 73 dari 190 negara untuk Ease of Doing Business 2019.

Peringkat ini turun tipis dari sebelumnya di peringkat ke-72 pada proyeksi 2018. Proyeksi Bank Dunia ini ibarat jauh panggang dari api karena Jokowi menargetkan peringkat kemudahan berbisnis pada 2019 sudah bisa mencapai peringkat ke-40.

Laporan setebal 311 halaman yang dirilis Bank Dunia (PDF) itu memaparkan peringkat kemudahan berbisnis, skor Indonesia mengalami peningkatan mengenai kemudahan berusaha. Indonesia tercatat mendapatkan angka 67,96 untuk Ease of Doing Business (EoDB). Angka itu naik 1,42 persen jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang tercatat sebesar 66,54. Namun, pada 2018 lalu, penambahan skor EoDB Indonesia justru lebih besar yaitu 2,25 persen.

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Rodrigo A. Chaves menjelaskan, meski ada perbaikan iklim usaha di Indonesia tapi pertumbuhannya tidak sebesar beberapa negara lain.

Saat ini, Indonesia harus terus meningkatkan iklim usaha dan berupaya mengurangi kesenjangan terhadap praktik global terkait regulasi usaha kecil dan menengah (UKM) dalam negeri. “Indonesia juga dapat mengambil manfaat dari peningkatan keterbukaan terhadap investor global, keterampilan dan teknologi agar bisa lebih bersaing di pasar global,” ujar Chaves pada Kamis (1/10).

Kenaikan di Tiga Indikator

Indonesia memang mengalami degradasi peringkat EoDB, tapi Bank Dunia dalam laporan bertajuk Training for Reform (PDF) mencatat Indonesia mengalami kemajuan di enam dari 10 indikator yang dinilai. Indikator pertama, Indonesia mempermudah memulai usaha. Di kategori ini, peringkat Indonesia naik dari 144 menjadi 134. Ini bisa terjadi lantaran Indonesia menggabungkan pendaftaran beberapa jaminan sosial yang berbeda. Selain itu juga mengurangi biaya notaris di Jakarta dan Surabaya–dua kota yang menjadi sampel ukuran untuk laporan ini.

Bank Dunia juga menilai Indonesia menggabungkan pendaftaran perizinan berbeda dalam layanan terpadu. Waktu untuk memulai usaha menjadi lebih singkat menjadi 20 hari pun menjadi penilaian Bank Dunia. Biaya pun menurun menjadi 6,1 persen pendapatan per kapita atau setara 10,9 persen.

Indikator kedua, adalah mendapatkan pinjaman usaha. Peringkat ini membaik dari 55 menjadi 44. Penilaian di kriteria ini membaik seiring meningkatnya akses kredit bagi pengusaha dan perusahaan kecil, suku bunga yang sempat rendah dan juga berkurangnya ketimpangan informasi mengenai pinjaman. Bank Dunia juga menilai tingkat kedisiplinan para peminjam atau debitur dinilai baik sejalan dengan dukungan pemantauan risiko kredit dan pengawasan bank.

Indikator ketiga yaitu pendaftaran properti atau registering property. Peringkat kriteria ini naik menjadi 100 dari sebelumnya di posisi 106. Bank Dunia menilai pendaftaran properti di Indonesia menjadi lebih mudah karena waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sengketa tanah menjadi lebih singkat. Bank Dunia menilai, transparansi pencatatan tanah di Jakarta dan Surabaya–-dua kota yang dinilai dalam laporan ini--juga mengalami perbaikan.

Menurut Bank Dunia, ketiga indikator di atas merupakan tiga reformasi indikator yang menyumbang kenaikan peringkat bagi Indonesia. Tiga indikator lain yang juga cukup baik adalah mendapatkan listrik, pembayaran pajak dan penyelesaian pailit. Jika dirinci satu per satu, akses mendapatkan listrik naik dari peringkat 38 menjadi 33. Sedangkan pembayaran pajak naik menjadi 112 dari sebelumnya 114.

Terakhir, penyelesaian pailit naik dari 38 menjadi 33. Dalam hal penyelesaian pailit, Bank Dunia menilai tingkat pemulihan di Indonesia senilai 65 sen per dolar AS. Angka itu masih nyaris dua kali lipat dibanding rata-rata regional yang sebesar 35,5 sen.

infografik tingkat kemudahan berbisnis di indonesia

Empat Indikator yang Menurun

Sementara itu, yang menjadi pemberat Indonesia dalam mencapai kenaikan peringkat kemudahan berbisnis ada empat indikator. Bank Dunia menilai Indonesia mengalami penurunan pada urusan perizinan konstruksi. Posisinya dari 108 menjadi 112. Selanjutnya Indonesia juga mengalami penurunan dalam hal perlindungan investor minoritas. Skornya menjadi 51 dari 43. Sementara perdagangan lintas batas mengalami penurunan dari 112 menjadi 116 dan penegakan kontrak juga berkurang dari 145 menjadi 146.

Secara keseluruhan, nilai EoDB Indonesia yang naik 1,42 poin itu masih berada di atas rata-rata global. Namun, peringkat Indonesia ini berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya. Sebut saja Vietnam yang mengalami kenaikan peringkat menjadi 68 dengan skor 67,93. Brunei Darussalam juga berada di atas Indonesia dengan skor 70,6. Thailand dan Malaysia tercatat masing-masing berada di peringkat 27 dan 15 dengan skor 77,44 dan 78,43 poin.

Singapura masih memimpin reformasi kemudahan berbisnis di kawasan Asia Tenggara dengan skor 84,57 dan berada di peringkat ke-2 dunia. Catatan Bank Dunia menyebutkan, Selandia Baru (PDF) masih berada di urutan pertama sebagai negara dengan kemudahan berbisnis paling tinggi di dunia.

Di antara negara-negara di kawasan ASEAN, peringkat Indonesia hanya lebih baik dari Filipina yang memiliki skor 58,74; Kamboja dengan nilai 54,47; Laos dengan skor 53,01 poin, dan Myanmar dengan nilai 44,21 poin. Dengan skor tersebut, Kamboja menghuni peringkat ke-138. Sedangkan Laos dan Myanmar masing-masing berada di posisi 154 dan 171.

“Indonesia harus meningkatkan best practice untuk meningkatkan peringkatnya di dunia,” ujar Arvind Jain, Ekonom Senior Bank Dunia melansir Kompas.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution beralibi peringkat EoDB Indonesia mengalami penurunan lantaran masing-masing negara lain juga melakukan reformasi di bidangnya dengan lebih cepat. Oleh karena itu, fokus pemerintah saat ini tidak bisa lagi hanya sekadar ‘mengotak-atik’ prosedur dalam hal reformasi birokrasi. Tetapi, harus melakukan perombakan proses bisnis.

“Persaingan antarnegara semakin sengit. Sehingga Indonesia butuh perbaikan yang bersifat sistemik untuk kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan. Reformasi harus dilakukan secara lebih radikal dengan mengubah proses bisnis secara mendasar,” kata Darmin dalam jumpa pers di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, pada Kamis (1/10).

Selain merencanakan perubahan yang lebih radikal, pemerintah juga akan melakukan evaluasi kembali berbagai aturan dan proses bisnis. Serta memastikan implementasi di lapangan. Evaluasi dan introspeksi juga diperlukan untuk bisa meningkatkan kembali kemudahan berbisnis di Indonesia.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengatakan, jika ingin peringkat Indonesia melonjak ke posisi ke-50 besar dunia, maka reformasi harus dimulai dari akarnya.

“Harus ada konsistensi keseluruhan dari pemerintah termasuk pola kerja, pola penilaian kinerja dan prestasi birokrasi yang membelit prosedur. Orientasi pembenahan harus dari syarat-syarat dan bukti-bukti peraturan, bukan hanya orientasi pada hasil,” ucap Thomas.

Thomas menuturkan, apabila reformasi birokrasi yang identik dengan investasi tidak segera dibenahi, maka akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi nasional. Sebabnya, peranan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 32 persen terhadap PDB. “Kalau investasi melambat, maka berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” ungkap Thomas.

Baca juga artikel terkait BANK DUNIA atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra